Suatu hari seorang ibu berbincang-bincang dengan saya tentang di mana terdapat fakultas kedokteran (FK) yang bagus. Anaknya mau kuliah kedokteran. Bukankah hal itu wajar, ibu mana yang mau anaknya masuk sekolah terjelek, mutu terjelek. Singkat cerita, ketika hendak berpisah, ibu itu memohon kepada saya agar mendoakan anaknya supaya bisa masuk di FK yang terbaik, supaya tidak salah pilih, supaya Tuhan menolong, dan sebagainya.
Dari peristiwa itu saya kemudian berpikir. Kita baru serius ingat Tuhan ketika kita sudah buntu atau ketika harus berhadapan dengan pengambilan keputusan yang penting bagi hidup kita atau masa depan kita. Daripada salah ambil keputusan, lebih baik lempar ke Tuhan karena Tuhan lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita.
Gara-gara peristiwa ini saya lalu berpikir. Ehmm… sesungguhnya kita ini mengerti makna dari ‘mengaku Dia Tuhan’ tidak ya? Yaaa… kita akan mengatakan, “Jelas kita mengerti.” Kita mengaku Dia Tuhan, Allah kita. Makanya kita datang kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, memohon kepada-Nya. Tapi benarkah kita benar-benar mengaku Dia adalah Tuhan kita? Yang tidak pernah salah memimpin hidup kita? Yang pasti selalu memberikan yang terbaik buat kita? Yang tahu kapan kita harus mengalami ini itu dan kapan yang lain? Yang mempunyai kehendak atas seluruh hidup kita? Yang berhak penuh atas hidup kita? Faktanya tidak demikian. Betul, Dia adalah Tuhan kita, Tuhan sebatas pengakuan yang keluar dari mulut kita. Tetapi tidak keluar dalam kehidupan kita. Tuhan ini lebih sering kita simpan baik-baik dalam kotak dan baru kita keluarkan kalau kita sudah buntu, perlu pertolongan dari yang lebih berkuasa dari kita. Dan ironisnya kita merasa kita tetap mengingat Dia, menyembah Dia, dan melakukan kehendak-Nya, karena ketika makan kita berdoa, ketika tidur dan bangun tidur kita berdoa dan tidak pernah absen ikut Persekutan Doa pagi, PA, ibadah minggu, dan bahkan aktif dalam kepanitiaan sana sini. Tapi dalam seluruh aspek hidup kita, sesungguhnya kita tidak melibatkan Allah di dalamnya.
Mari kita lihat dua peristiwa di atas. Apa ya salahnya mendoakan anaknya masuk FK atau sekolah yang terbaik? Bukankah itu wajar? Mana ada sih minta didoakan untuk masuk FK atau sekolah apa saja, pokoknya masuk? Pasti kita akan keluar komentar, yaa.. kalau bisa ya dikasih yang terbaik toh…. Jadi permasalahannya di mana? Permasalahannya adalah kita hanya mau Allah sebagai Penolong kita. Tetapi, kita adalah tuhan Dia, karena kita yang mengatur Dia harus bagaimana sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Bagian kehidupan yang lain? Tergantung… kalau masih bisa diatasi sendiri ya jalan sendiri. Kalau sudah buntu… ya datang lagi kepada Allah itu. Bukankah itu potret kehidupan kita sehari-hari? Kita mengaku Dia Allah kita tetapi sesungguhnya kita adalah tuhan. Kita yang menentukan arah jalan hidup kita, cita-cita kita, keinginan kita, ambisi kita. Lalu kita bungkus dengan kalimat “kiranya kehendak Tuhan yang jadi (seperti apa yang aku mau).” Namun doa “kiranya kehendak Tuhan yang jadi” terus membawa kekhawatiran kita karena jangan-jangan yang diberikan kepada kita tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Maka kita mulai khusuk berdoa. Doa yang tadinya sekelebat lewat sekarang sungguh-sungguh diutarakan. Bukan untuk membawa diri tunduk dan takluk kepada kehendak-Nya tapi bagaimana supaya kesungguhan doa ini membuat Allah “tunduk dan takluk” untuk memenuhi apa yang kita inginkan. Dia Allah kita, dan kita Tuhan-Nya.
Ketika menulis ini saya jadi teringat perkataan Pdt. Stephen Tong dalam rapat hamba Tuhan di suatu Sabtu. Beliau mengatakan beliau hampir tidak pernah berdoa untuk keselamatan dirinya dalam segala kegiatan atau pelayanannya di manapun berada. Lah kok? Apakah itu menunjukkan pak Tong begitu sombongnya? Apakah beliau merasa tidak perlu Tuhan? Justru sebaliknya… Seluruh keberadaan hidup beliau diserahkan kepada Tuhan. Mati hidup di tangan Tuhan. Kalau toh harus berdoa maka bukan doa minta keselamatan diri tapi minta kepekaan akan pimpinan Tuhan dalam pelayanan apa yang harus dikerjakan. Berdoa bagaimana melalui diri ini Allah menggenapkan rencana-Nya. Soal keselamatan? Itu adalah kedaulatan Allah. Itu juga bagian dari rencana-Nya, baik hidup maupun mati.
Ketika Allah memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian, Allah mendeklarasikan bahwa: “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir.” (Keluaran 6:7) Allah adalah Allah bangsa Israel, Allah yang memimpin mereka karena mereka umat Allah. Seluruh kehidupan dan masa depan mereka ada dalam tangan Allah. Allah adalah jaminan keselamatan mereka. Allah juga adalah Tuhan mereka yang memiliki otoritas atas seluruh kehidupan mereka, yang melindungi mereka, dan mengarahkan hidup mereka, yang tidak pernah merencanakan yang jahat dalam kehidupan mereka, yang kepada-Nya mereka harus tunduk dan mempersembahkan seluruh hidup mereka bila mereka ingin hidup yang selamat. Tetapi sayangnya di tengah-tengah perjalanan mereka menuju tanah perjanjian, bangsa Israel justru mengabaikan janji Allah ini. Mereka mengalihkan penyembahan mereka dari Allah Pencipta mereka kepada allah yang mereka buat (lembu emas) (Kel. 32:33-34; Im. 26:12; Yer. 7:23; Yer. 11:4; Yeh. 36:28) dan mereka menentukan sendiri apa yang mereka mau dan menuntut Allah harus memberikannya. Apa yang kemudian mereka alami? Bukannya kebahagiaan dan keselamatan yang mereka dapat melainkan dukacita dan kecelakaan yang mereka terima.
Bukankah dalam kehidupan kita sehari-hari kita pun cenderung bersikap seperti bangsa Israel tersebut? Dengan mulut kita, kita mengakui bahwa kita percaya kepada Allah. Namun sesungguhnya dalam keseharian kita, kitalah yang menjadi penentu kehidupan kita dan menuntut Allah mengabulkan permintaan kita. Hal-hal yang tidak bisa kita lakukan karena kita hanyalah ciptaan, kita lalu menuntut Sang Pencipta itu untuk mengerjakan apa yang kita inginkan. Dia adalah Allah sesuai setting-nya kita dan kitalah tuan-Nya. Betapa ironisnya….
Sesungguhnya bagaimanakah seharusnya kita hidup di hadapan-Nya? Dengan percaya dan takluk kepada-Nya. Dia mempunyai rencana kekekalan bagi kehidupan kita. Bagian kita bukan lagi memikirkan apa yang harus kita dapat, apa yang perlu kita cari, apa yang perlu kita minta bagi diri, apa yang kita mau atas hidup kita, tetapi adalah menggumulkan dan mencari tahu apa rencana-Nya bagi kita, apa panggilan kita, apa yang harus kita kerjakan dalam hidup kita sesuai panggilan tersebut. Hidup kita bukan hanya dilihat secara fragmen-fragmen lalu meminta Tuhan mengerjakan seperti yang kita mau. Tetapi hidup kita harus utuh dan sinkron dengan rencana dan kehendak-Nya. Seluruh hidup kita harus dipersembahkan kembali kepada-Nya dan membiarkan Dia yang memimpin hidup kita, mengarahkan hidup kita menuju kepada penggenapan kehendak-Nya. Bagian kita hanyalah menaklukkan diri dan tunduk kepada-Nya. Buanglah segala keraguan dan kekhawatiran bahwa Dia akan salah memimpin. Dia tidak pernah salah memimpin. Dia tidak pernah salah karena Dialah Pencipta kita. Dialah penentu goal atas hidup kita. Dialah yang akan menjadi Hakim atas hidup kita. Yang sering terjadi adalah kita tidak berani menghadapi proses pembentukan Tuhan dalam hidup kita yang membawa kita kepada kehendak-Nya. Itulah yang membuat kita cenderung ingin menyetir Allah agar seolah kita bisa terhindar dari “penderitaan-penderitaan” karena proses pembentukan tersebut. Semakin kita menghindar dari proses tersebut sebenarnya kita justru semakin menaruh diri kita dalam jeratan kebinasaan diri sendiri. Sama seperti yang dikatakan Yesus dalam Matius 10:39: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”
Lalu, dari mana kita memulainya agar mampu hidup menjadikan Dia Allah dan Tuhan kita? Mulailah dengan percaya sepenuhnya kepada-Nya. Percaya bahwa Dia adalah Pencipta kita yang tidak pernah salah mencipta dan tidak pernah salah bertindak. Dia tahu untuk apa kita dicipta. Dia tahu ke mana kita harus pergi. Dia tahu tujuan yang harus kita capai. Dia adalah Allah dan Tuhan kita yang menuntun kita menuju tujuan kekal-Nya. Mari kita dengan penuh kepercayaan mengubah You are my God, I am Your lord menjadi You are my God and my Lord, I am Your people setiap saat di dalam kehidupan kita.
Diana Samara
Pembina FIRES