Salah satu pengalaman paling mengerikan (paling tidak buat saya) adalah, dalam istilah zaman sekarang ini, jatuh cinta. Integritas Kristiani menuntut bahwa hal tersebut dilakukan dalam iman yang sesungguh-sungguhnya, namun sejujurnya pada saat yang demikian kepala seperti berasap dan tidur saja menjadi tugas yang mustahil. Karena itu mungkin tulisan ini penting di waktu kita merasa dungu dan agak sinting, tapi ingin melakukan ‘the right thing’ meski toh tidak tahu harus mulai dari mana. Yah, marilah kita mulai di awal, dengan Adam dan Hawa.
Bagaimana keadaan mereka sebelum jatuh dalam dosa, saya tidak akan coba telusuri. Kita langsung mempelajari ayat di mana perubahan drastis itu terjadi. Alkitab bahasa Indonesia mencatat dalam Kejadian 3:16, “… dengan kesakitan … melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Dalam bahasa aslinya, kata ini berarti ‘desire’ atau keinginan yang intensif, yang memang bisa digunakan untuk nafsu seks, namun tidak terbatas hanya itu saja. Dalam konteks yang sempit, orang bisa menghubungkan kata ini dengan kelahiran menyakitkan yang mendahului pernyataan ini, namun dalam Alkitab bahasa Indonesia dan Jerman (Genfer Studienbibel) saya, tema ‘kelahiran’ dan ‘desire terhadap suami’ dipisahkan dengan tanda titik koma (;) yang mungkin menunjukkan hubungan yang tidak terlalu erat. NIV Topical Study Bible bahkan memisahkan dengan titik. Jadi apa artinya?
Kita mendapat kejelasan dari pernyataan berikutnya, “… dan ia akan berkuasa atasmu.” Petunjuk untuk memecahkan arti kata misterius ini lebih kita temukan dalam ‘kuasa laki-laki atas perempuan’ ketimbang ‘kelahiran yang menyakitkan’. Di dalam ciptaan yang baik adanya, manusia laki-laki dan perempuan dipanggil untuk berkuasa atas alam dan menaklukkan bumi. Di dalam dosa, laki-laki melihat perempuan sebagai salah satu sasaran untuk ditaklukkan[i] dan dikuasai, dan perempuan tidak bisa melepaskan diri dari hal ini, bukan karena perempuan kurang pintar atau kurang kuat, tetapi karena ada desire yang kuat untuk menjadikan laki-laki sebagai pusat hidupnya ketimbang Allah. Sebetulnya setiap manusia yang berdosa pasti membuat ilah-ilahnya sendiri, namun dalam konteks perempuan, godaan dan bahaya paling besar adalah menjadikan seorang laki-laki sebagai ilah barunya. Sebagian kaum perempuan akan berteriak-teriak marah waktu membaca ini, merasa direndahkan (“Laki-laki sebagai pusat hidup! Huh! Maaf ya! Tak sudi!”). Saya harus jujur mengakui bahwa saya mungkin yang berteriak paling keras di antara srikandi-srikandi yang marah, jika saja saya tidak ingat bagaimana jika sedang, lagi-lagi menggunakan istilah zaman sekarang ini, jatuh cinta.
Istilah jatuh cinta sebetulnya ungkapan yang saya tidak cintai, karena, mengutip James Dobson dan pengkhotbah lainnya, memberikan kesan orang yang tiba-tiba terperosok ke dalam got karena kisi-kisi penahannya patah, orang yang keseleo sewaktu menuruni gunung hingga kemudian menggelinding turun menabrak batu-batu dan bergesekkan dengan tanah yang kotor, pasir, debu, ulat, cacing, dan serangga lainnya… Anda mengerti maksud saya. Bagaimana mungkin si korban kecelakaan di atas bisa mengatakan, dengan rela saya akan menjalani keadaan sedemikian ini seumur hidupku? Tapi kecelakaan-kecelakaan ini terjadi. Apakah itu cinta? Belum tentu. Saya lebih memilih kata ‘infatuation’, yang didefinisikan sebagai ‘ketertarikan yang tidak didukung oleh akal sehat, atau yang sementara saja’. Tidaklah baik menyebut ‘infatuation’ itu ‘cinta’.
Kembali ke perempuan yang sedang infatuated. Ia harus mengerti bahwa di dalam dosa, ia akan “otomatis” menjadikan laki-laki itu sebagai pusat hidupnya melebihi Tuhan. Apalagi di dalam zaman yang mengagung-agungkan kenyamanan orang, baik emotional atau physical. Saya bukan berbicara sekedar mengenai orang yang menyeleweng dalam pernikahan, melakukan pre-marital sex, atau mempraktekkan homosexuality; setiap orang yang mau melakukan kehendak Tuhan akan tahu jelas bagaimana Tuhan menyebut hal-hal itu sebagai d-o-s-a. Tidak, saya sedang berbicara mengenai ‘Romeo and Juliet’[ii] dari Shakespeare, ‘Die Leiden des jungen Werthers’[iii] dari Goethe, film ‘Titanic[iv]’, dan dari kelas literatur yang berbeda, macam-macam novel dan manga mengenai the so-called cinta[v]. Sekali lagi, ini bukan masalah hubungan intim sebelum pernikahan atau pacaran dengan orang beda agama.
Mengagungkan seorang laki-laki, atau channel ‘cinta’ kita, perasaan kita, emosi kita, di atas segala-galanya jelas adalah bagian dalam keberdosaan kita. Tidak bisa berhenti memikirkan dia, mengkhayal tentang masa depan bersama dia, tidak perduli akan tanggung jawab yang lain, berdoa dengan rajin untuk mendapatkan dia, depresi karena dia, benci perempuan lain karena dia, tidak bisa bersyukur karena tidak ada dia… Jangan kita pernah mengatakan ini dan itu boleh semata-mata karena kita tidak (BELUM!) bisa (MAU!) berubah; karena seluruh dunia mengerjakan hal yang sama; karena kita memang suka naik roller-coaster emosi. Suatu penipuan besar-besaran! Terjadi setiap detik, di setiap bagian dunia, tapi tidak pernah ada koran yang melaporkannya. Saya bisa bersaksi dengan jujur, betapa mengerikannya menjadi korban penipuan ini. Dengan rela hati kita berdiam di dalam kesedihan, kemarahan, keputusasaan, kerendahdirian, karena buat kita itulah ‘cinta’.
Kita sudah ditebus dari keberdosaan kita. Sering kita perlu merasakan betapa kuatnya yang jahat itu untuk kita sadar betapa lemahnya kita dan betapa besarnya anugerah itu. Dalam infatuation kita begitu mudah ditipu oleh keinginan kita untuk dicintai di atas segala-galanya. Betapa bodohnya kita yang berusaha mencari segala petunjuk dan konfirmasi akan ‘cinta’-nya kepada kita, sementara kita tidak mau susah sedikit pun mendengarkan, merenungkan, dan mengalami cinta sesungguhnya, cinta yang dalam arti sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya dari Ia yang mengenal kita sepenuhnya! Manusia begitu rusak dalam keberdosaannya, hingga menolak cinta yang begitu indah dan besar. Kita begitu sombong dan tolol, merasa Tuhan tidak cukup baik untuk kita. Seperti John Piper mengutip C. S. Lewis, “Kita seperti anak bodoh yang memilih main lumpur di jalan daripada pergi berlibur ke pantai, hanya karena kita tidak tahu seperti apakah pantai itu. Kita lebih suka tenggelam dalam sentimentalitas sementara daripada mengalami hal-hal agung yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.”
Seorang ibu yang aktif melayani, yang anak-anaknya sudah dewasa, menyesali bahwa ia dulu tidak tahu harus menikah dengan orang Kristen. Ia merasa generasi saya begitu beruntung mendapatkan banyak nasehat dan bimbingan. Dalam hati saya bertanya-tanya berapa banyak orang Kristen yang mendengarkan dan menaati suara Tuhan yang lembut itu? Sesudah kita berbuat salah, kita menyalahkan orang lain karena tidak memberitahu. Kalau waktu itu dia sudah memberitahu, kita menyalahkan dia karena tidak memaksa. Sampai kapan kita akan melempar tanggung jawab atas kesalahan kita kepada orang lain, dan sampai kapan kita merasa kita yang paling tahu dan paling bisa mengatur hidup kita sendiri? Ya, dari pengalaman saya sendiri, jawabannya adalah sampai kapok. Waktu hal itu terjadi, berbahagialah orang yang dengan rendah hati mengakui kesalahannya dan datang kepada Tuhan dengan apa adanya, karena meski Ia mencerai-beraikan orang congkak, namun tidak memutuskan buluh yang patah terkulai dan tidak memadamkan sumbu yang pudar nyalanya. Kiranya Tuhan menolong kita!
Tirza Juvina Rachmadi
Pemudi GRII Karawaci
[i] Ditaklukkan tidak sama dengan menundukkan diri. Menundukkan diri menuntut kerelaan untuk taat (pertama-tama dan di atas segala-galanya, kepada Kristus, kemudian dalam konteks tertentu – yaitu tidak melawan Allah – kepada suami), kelemahlembutan, kerendahhatian, kebijaksanaan (karena sering para pria itu kurang praktis dalam mengejar prinsip, sehingga mereka mungkin tidak bisa memberitahu istri-istri bagaimana persisnya suatu hal harus dicapai), telinga yang mampu mendengarkan, kesabaran, dengan kata lain, sebetulnya simply latihan menjadi murid Kristus, istri atau bukan. Di lain pihak, seorang perempuan yang tidak menaklukkan diri (sekali lagi, pertama-tama dan di atas segala-galanya kepada Kristus, kemudian baru kepada suami) adalah seorang yang ditaklukkan, mungkin oleh kekuatirannya terlihat lemah, atau sifat mau menang sendiri, fokusnya kepada segala emosi yang muncul dari hubungan romantisnya, atau masa lalunya, dan yang paling parah, oleh penipuan bahwa ‘ia memiliki kuasa penuh atas hidupnya (atau hidup suaminya)’. Untuk lebih jelas mengenai menaklukkan diri, saya merekomendasikan bab ‘Marriage’ dari buku John Piper “Desiring God“.
[ii] Saya sama sekali tidak pernah (dan mudah-mudahan tidak akan pernah) mengerti bagaimana mati konyol ala Shakespeare ini sesuatu yang indah. Mungkin dalam konteks emosi tertentu sehubungan dengan cinta romantis, apalagi jika patah hati, orang mudah tergoda untuk bunuh diri, tetapi itu tetap harus dilihat sebagai pembunuhan, bukan sesuatu yang mulia. Dalam perang atau pembelaan diri, bisa terjadi orang membunuh, tetapi sangatlah salah jika hal tersebut diceritakan dengan satu kebanggaan atau dilihat dengan kekaguman!
[iii] Sebuah novel penuh perasaan mengenai seorang pemuda, Werther, yang ‘cinta’ kepada istri orang lain, dan kemungkinan besar diambil dari pengalaman Goethe sendiri.
[iv] Adakah perempuan yang sesudah menonton film ini tetap menghela nafas panjang, “Betapa indahnya cinta mereka… so romantic!” jika peran Leonardo DiCaprio diganti oleh Rowan Atkinson (Mr. Bean, Johnny English)?
[v] Jika Anda ingin membaca dongeng yang mengandung cinta yang cukup reasonable, saya merekomendasikan Phantastes dari George MacDonald (C. S. Lewis menceritakan bagaimana imajinasinya dipertobatkan ketika membaca karya tokoh ini) dan Till We Have Faces dari Lewis. Serial Little Women (terutama buku ke-2 dan ke-4, Good Wives dan Jo’s Boys) dari Louisa May Alcott lebih sentimental (bergantian sedih, menegangkan, dan lucu), tetapi ia menampilkan keseluruhan aspek-aspek yang membentuk kompleksitas hubungan laki-laki dengan perempuan. Suatu true story yang sangat menyentuh hati tanpa mengkompromikan kebenaran ada di Shadow of the Almighty karya Elisabeth Elliot. Selain itu “The Road Best Traveled” oleh Ray Pritchard (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) membahas salah satu kisah cinta paling awal di sejarah dunia dalam bab ‘pernikahan’, yaitu Ishak dan Ribka. Last but not least, kiranya Anda merelakan kisah cinta Anda sendiri ditulis oleh pengarang terbesar dalam sejarah, Allah sendiri yang kita kenal melalui Yesus Kristus! Maka itu akan menjadi kisah cinta paling indah yang pernah Anda ketahui.