Melalui pernyataan Injil Lukas kita mengetahui bahwa Yesus lahir di masa pemerintahan kaisar Romawi, Agustus. Siapa Agustus? Agustus yang berarti mulia atau megah, memiliki nama asli, Gaius Oktavius, ia adalah anak dari kemenakan Julius Caesar yang diangkat menjadi anak sekaligus dijadikan penerusnya. Berbeda dengan ayah angkatnya sekaligus pamannya Julius Caesar – panglima perang yang piawai – Agustus bukanlah jenderal yang hebat. Tetapi ia merupakan salah satu administrator terbaik dunia.
Senat menghormatinya, militer mendukungnya, dan rakyat menyukainya. Di puncak kekuasaannya, ia memilih untuk dipanggil sebagai “Caesar”, nama sang ayah angkat yang juga menjadi namanya. Karena sang ayah, Julius Caesar, dideifikasikan oleh Senat, ia pun menyebut dirinya sebagai divi filius, son of God. Ia menjadi pemimpin Romawi pertama yang memiliki gelar tersebut, meski menghindar untuk disembah seperti kasus para penguasa dunia Timur pada waktu itu.
Selain gelar divi filius, Senat juga memberinya beberapa gelar yaitu Agustus yang berarti mulia dan princeps (first citizen) warga negara nomor satu. Setelah kematian Lepidus, sekutu triumvirate-nya bersama Mark Antony, ia mengambil alih posisi Lepidus sebagai pontifex maximus alias imam besar.
Di bawah kepemimpinannya, Agustus membawa Romawi memasuki era baru. Tidak sekadar menjadi kekaisaran, tetapi yang lebih penting, menghentikan perang saudara, menciptakan sebuah perdamaian Romawi yang baru (pax romana) dan membawa Romawi pada kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di bawah bayang-bayang Kaisar Agustus yang mulia, yang mendominasi seluruh wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi, lahir Raja semesta alam yang malah memilih menjadi hamba. Anda tentu tahu kisah Natal yang diceritakan oleh Injil Lukas dan Matius, bukan? Pernahkah Anda berpikir kenapa Tuhan semesta alam memilih lahir saat ada kaisar agung berkuasa atas ‘seluruh’ dunia? Demikianlah Agustus yang mulia dan kekaisaran Romawi yang mentereng hanya menjadi latar belakang lahirnya Anak Manusia.
Satu hal yang menggelitik hati dan pikiran adalah kondisi umat pilihan Tuhan pada masa itu. Jika Anda membaca sejarah Romawi, Anda akan menemukan warga Roma yang menikmati ketenteraman, kebebasan, dan kemakmuran yang dibangun Agustus. Tapi hal itu tentu saja terbatas untuk kaum elit dan warga negara Roma umumnya. Kisahnya berbeda untuk rakyat jajahan apalagi rakyat Yudea. Penulis Injil menyebut mereka sebagai orang banyak yang tidak memiliki gembala. Lho, di mana para pemuka agama dan aktivis rohani? Kebanyakan sibuk dengan urusan mereka sendiri, mempertahankan kekuasaan dan mengisi tabungan.
Pernahkah Anda memikirkan tentang kesulitan menjadi umat pilihan pada masa pendudukan Romawi di Yudea? Ada perdamaian dunia saat itu yang membuat bebas berniaga, sehingga kemakmuran bisa tiba. Bahkan ada kebebasan beragama di seantero wilayah kekuasaan Roma. Namun apa yang dialami umat pilihan adalah penderitaan dan Tuhan seolah diam.
Pada waktu itu, jika Anda mendengar tentang Agustus, mungkin Anda berharap menjadi warga Roma. Tetapi jika Anda menatap lebih lekat sampai melampui apa yang terlihat, maka Anda seharusnya menginginkan Agustus yang sesungguhnya, princeps yang sejati, imperator satu-satunya, pontifex maximus yang asli.
Di tengah konteks dunia sekarang ini – harapan saya Anda berusaha untuk memahaminya – apa yang Anda lihat? Keagungan Agustus dan kekaisaran Romawi ataukah Hamba yang menderita dan Kerajaan Allah?
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin