Daud sering memanggil Allah sebagai seh’-lah, yang di dalam terjemahan bahasa
Indonesia sering muncul sebagai “bukit batuku” dan “gunung batuku” (bahasa Inggris umumnya
hanya “my rock”). Tentunya ini bukanlah metafora yang secara acak dibuat. Namun, hanya
jika pembaca Mazmur Daud mengalami pengalaman yang mirip-mirip dengan pengalaman Daud,
barulah mereka dapat memahami arti dari metafora tersebut.
Leksikon Strong mendefinisikan seh’-lah sebagai “a craggy rock” yang, karena
bentuknya, bisa mempunyai arti benteng pertahanan baik secara harfiah maupun kiasan. Dengan
demikian, tidaklah meleset jika di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai bukit atau
gunung batu, meskipun tebing batu barangkali akan lebih mengungkapkan makna aslinya.
Tebing batu (crag) umum ditemukan di pinggir laut. Kita dapat menyaksikan betapa
keras dan tahannya tebing batu menghadapi gempuran ombak-ombak besar yang pagi sampai
malam, setiap hari, dan tiada henti menghantamnya. Bisa dikatakan bahwa tebing batu itu
keras kepala. Apa pun yang terjadi, dia menolak untuk hancur dan berubah. Dia konsisten,
menolak kalah dari situasi di luar yang menggempurnya.
Mengapa Daud banyak kali memanggil Allah sebagai gunung batunya? Lihatlah kisah hidup
Daud dan bacalah keluhan-keluhannya. Hidupnya tidak ada henti-hentinya dilanda oleh
masalah, kesulitan, dan bahaya. Namun, baginya Allah tidak berubah. Meskipun dia dikejar-
kejar musuh, nyawanya terancam, keluarganya hancur berantakan, hatinya remuk, dia tidak
pernah menyalahkan Tuhan. Allah tetap baik, tetap adalah Allah yang mengasihinya. Daud
begitu keras kepala. Dia tidak mau terbujuk untuk membenci Allah. Hal ini juga
mengingatkan kita akan Ayub yang, meskipun satu berita buruk demi berita buruk, derita
demi derita silih bertubi-tubi mendatanginya, tidak pernah mengutuki Allah. Ayub juga
adalah orang yang berkepala batu. Akan tetapi, sifat keras kepala ataupun kepala batu hanya
dapat menjadi sifat yang baik jika itu adalah tentang persepsi kita kepada kebaikan Tuhan.
Apa pun yang terjadi, Allah adalah kasih. Allah baik terhadapku.
Mazmur 42 adalah kesaksian akan kekeraskepalaan Daud. Jika kita membaca Mazmur
tersebut, dari awal hingga akhir, Daud mengeluhkan betapa tertekannya jiwanya. Bahkan,
tidak diceritakan sama sekali bahwa Tuhan sudah melepaskan Daud dari masalahnya, sampai
keluarlah baris-baris yang ironis ini:
     Aku berkata kepada Allah, gunung batuku:
     “Mengapa Engkau melupakan aku?” (ay. 10)
Walaupun tampaknya tidak ada jawaban dan pertolongan dari Allah, Daud memanggil Allah
sebagai gunung batunya. Daud tidak kehilangan harapan, karena puisi tersebut nantinya akan
ditutup dengan ajakan untuk berharap kepada Allah. Apa pun yang terjadi dan meskipun
pertolongan belum datang,
     Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya,
     Penolongku dan Allahku!
Apakah kita dilanda kesulitan demi kesulitan, yang datangnya seperti tidak selesai-selesai?
Meskipun demikian, bisakah kita belajar seperti Daud, yang bersaksi bahwa Allah adalah
penolong kita yang baik dan berkata, “Allah, Engkau gunung batuku.”