Bro, sudah “like” postingan foto terbaru gw belum? Bayangkan kalau orang ini
menghubungi semua temannya satu per satu dan minta mereka untuk like foto dia.
Kira-kira apa ya komentar teman-temannya terhadap dia? “Bro come on… gak usah senarsis
itu kalee!” Narsis banget, semua orang harus like, puji-puji foto dia.
Dasar narsis.
Tetapi, bagaimana kalau Tuhan yang minta pujian dari setiap umat-Nya? Apakah lantas kita
berkata Tuhan narsis? Ssttt!! Lancang sekali mulut itu! Ada seorang petobat baru di Inggris,
sebelumnya dia seorang atheis yang rupanya tidak terlalu peka terhadap garis batas lancang
tersebut. Ia kesulitan mendengar orang-orang beragama yang dituntut untuk terus memuji
Tuhan. Terlebih lagi ketika ia membuka lembaran-lembaran Alkitab, Ia mendapati Tuhan
juga menuntut hal yang sama. Ia bernama C.S. Lewis, seorang yang tak puas dengan jawaban
“Ssstt! pokoknya terima aja, dah dari sononya begitu – Tuhan yah boleh ngapain aja.”
Lewis terganggu karena kekristenan berbeda dengan konsep ibadah pagan yang
transaksional. Umat memuji-muji ilah dan memberikan sesajen agar mendapatkan sesuatu
yang mereka inginkan: panen, jodoh, atau anak misalnya. Sedangkan Allah orang Kristen
berkata, “Aku tidak perlu persembahan kambing dombamu, karena Aku-lah pemilik semua
kambing domba di dunia.” Dia melanjutkan investigasinya dengan lanjut bertanya, kalau
begitu mengapa kita menyembah Tuhan yang tidak membutuhkan apa-apa? Kita memuji
Tuhan dan tidak menambah satu bit kemuliaan kepada-Nya karena kemuliaan Tuhan sudah
sempurna. Lalu mengapa pula Tuhan memerintahkan kita untuk menaikkan puji-pujian bagi-
Nya?
Jawabannya mulai terkuak, ketika Lewis mundur satu langkah lagi dengan bertanya,
mengapa kita memuji in the first place? Memuji Tuhan atau memuji apa pun itu, karena
itu suatu kesenangan! Semua kesenangan secara spontan akan meluap menjadi pujian. Ternyata
dunia ini penuh dengan pujian. Pemuda yang baru pacaran tidak henti-hentinya memuji
kecantikan pacarnya, emak-emak memamerkan baju designer branded yang dibelinya dengan
50% diskon, anak remaja rekomen game online baru rilis yang keren banget ke teman-teman
sekelasnya. “Lu harus coba nasi campur ini bro… lu percuma hidup kalau gak sempet
nyobain ini, gua jamin lu bakal nambah!!” Itu salah satu contoh kalimat-kalimat lebai
yang kita ucapkan ketika kita masuk ke dalam suatu pengalaman ekstasi.
Lewis kemudian mengambil kesimpulan, “Saya pikir kita senang memuji apa yang kita
nikmati karena pujian itu tidak hanya mengekspresikan tetapi melengkapi kenikmatan; itu
adalah penyempurnaan yang ditunjuk. It is its appointed consummation.” Kita bisa
mengangguk-angguk 100% setuju! Karena kita pernah mengalami suatu pengalaman yang
frustating kalau kita mendengar candaan yang lucu banget dan tidak ada teman yang
sama-sama menikmati, atau baca buku yang bagus banget dan tidak bisa share sama
sekali. Atau yah makan nasi campur itu sendirian saja, dan kirim WA ke teman dengan
teks “nemu nasi campur terenak sejagad, tetapi gak ada lu di sini, kurang nikmat jadinya
nih.”
Kalau nasi campur saja membuat kita merasa hidup ini lebih berarti dan kita memujinya
setinggi langit, maka Tuhan mungkin sedikit mengernyitkan alis terheran karena betapa
masih banyak hal-hal baik lainya yang Ia ingin kita masuk ke dalam kenikmatan dan
keindahan yang lebih lagi. Tetapi apa yang terbaik yang Tuhan bisa berikan kepada kita?
Lamborghini? Masakan dari chef dengan Michelin 4-star? Ataukah diri-Nya sendiri?
Kesenangan kita tidak bisa dipisahkan dari pujian yang kita keluarkan. Demikian juga kalau
kita kurang bisa memuji Tuhan, jangan-jangan kita memang tidak menikmati Dia. Kalau kita
benar bersuka di dalam Tuhan, maka kita juga suka memuji Tuhan.
Jadi yang tadinya Lewis pikir bahwa Allah itu narsis dan fokus kepada diri-Nya sendiri
karena menuntut kita memuji nama-Nya, tetapi justru sesungguhnya Allah sedang menyuruh
kita memuji-muji Dia karena kenikmatan tertinggi di dalam enjoying God itu baru
komplit setelah kita memuliakan dan memuji Dia. Mari kita memuji Dia dengan benar!