Di Dalam Rencana-Nya

Satu bulan terakhir ini adalah masa-masa yang mencekam di Jakarta. Bukan hanya statistik
jumlah yang terpapar COVID-19 maupun yang meninggal terus memecahkan rekor namun
juga kita melihat orang-orang yang kita kenal dekat satu per satu ikutan menjadi bagian dari
statistik tersebut. Varian delta ini memang lebih cepat dan meluas, termasuk anak-anak yang
sebelumnya cukup aman, juga ikutan menjadi kelompok yang rentan terpapar.

Ada seorang rekan yang bertanya kepada rekan-rekannya, “Ini sekarang siapa saja bisa
‘lewat’ loh, kalian sudah pada siap belum?” Beberapa jawaban yang terdengar:
* “Yah terserah Tuhan-lah kapan, siap gak siap kan tetap ‘lewat’ toh” dengan nada pasrah.
* “Jujur yah, kalo bisa jangan sekarang lah, masih belum nikah nih bro!” dengan setengah
tertawa.
* “Gua sih siap-siap aja, tapi keluarga besar yang jadi tanggungan yang gak siap kalo gua
yang lewat duluan, siapa yang akan nanggung mereka nanti?”
dengan helaaan napas
panjang dan berat.
* Satu rekan tidak menjawab, dan dia masih tertunduk dalam perenungan.

Pertanyaan yang singkat namun memerlukan waktu perenungan yang tidak singkat jika kita
ingin benar-benar serius menanggapi pertanyaan tersebut. Paulus memberikan nasihat di
Efesus 5:15-16, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup,
janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif.” Be careful how you live!

Kita tentunya setuju kalau orang yang bebal menurut Paulus bukanlah orang yang IQ-nya
jongkok atau tidak lulus sekolah, namun orang yang menghambur-hamburkan segala sesuatu
dalam hidupnya hanya untuk kepuasan diri, orang yang tidak takut akan Tuhan, hanya takut
ketika kenikmatannya berkurang. Sedangkan orang arif adalah orang yang tahu
mempergunakan hidup dan waktunya untuk Tuhan dan kerajaan-Nya. Ia hidup untuk sesuatu
yang jauh lebih besar dan agung dari sekadar pemenuhan dan kenikmatan diri pribadi.
Mengapa? Karena konteks dari kalimat nasihat Paulus tersebut adalah di dalam kerangka
pengajaran bahwa orang-orang Kristen harus hidup sebagai anak-anak terang. Salah satu
aplikasi hidup bercahaya sebagai anak-anak terang adalah hidup yang membakar diri
berkorban bagi orang lain, yang saya percaya lebih diwakilkan oleh jawaban rekan keempat,
yang sekarang tidak lagi tertunduk tetapi dengan wajah menghadap atas dan menjawab lirih,
“Saya belum siap karena hidup saya belum maksimal dipersembahkan untuk pekerjaan
Tuhan, Tuhan kuatkan saya dalam waktu tersisa ini supaya Tuhan rela dan berkenan
memakainya menjadi cahaya kemuliaan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.”

Apakah kita melewati hari-hari kita dengan sia-sia? Ataukah kita mempersiapkan diri agar
ketika zaman ini lewat, apa yang Tuhan telah kerjakan dengan hidup kita tidak lewat ditelan
waktu namun bertahan di dalam rencana-Nya?