Terkadang doa kita membuktikan betapa jauhnya jarak hati kita dari hati Tuhan. Doa
seyogianya adalah “kehendak-Mu yang terjadi”, alih-alih menjadi sarana menggolkan
kehendakku yang harus jadi. Tuhan harus menjadikan whatever it takes! Ahh itu
mah doanya orang kafir kali – yang memaksa dan memanipulasi dewa-dewinya dan marah-marah
ketika doanya tidak dikabulkan. Hmmm… betulkan demikian? kalau begitu, bagaimana
dengan doa Nabi Yunus?
berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku
masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu,
bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah
kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi
sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.”
(Yun. 4:2-3)
Kita bisa kira-kira menilai hati seseorang dari emosi yang ditampilkannya karena emosi
adalah luapan yang mengalir keluar dari kedalaman hati. Yunus sangat bersukacita karena
pohon jarak yang ditumbuhkan Tuhan untuk menaungi kepalanya dari terik matahari. Namun
ketika Tuhan mengirimkan ulat untuk menggerek pohon jarak itu sampai layu, maka layu
jugalah sukacita Yunus dan dia berkata kepada Tuhan, “Lebih baiklah aku mati daripada
hidup.” Kedua kali permohonan mati Yunus ditanggapi Tuhan dengan pertanyaan yang sama
“Layakkah engkau marah?” dan well well well Yunus berani dengan seketika menjawab,
“Selayaknyalah aku marah sampai mati.”
Tuhan tidak mengabulkan doa Yunus tersebut. Secara implisit masih ada dua lagi keinginan
hati Yunus: pohon jarak tidak layu dan orang-orang Niniwe yang seharusnya dimakan ulat
sampai layu atau ditelan ikan lalu dikunyah pelan-pelan. Doa Yunus kerap kali sama seperti
doa-doa kita lebih menginginkan Tuhan untuk mengubah situasi di luar dibanding mengubah
hati kita di dalam. Sebenarnya mengubah situasi di luar jauh mudah untuk Tuhan kabulkan.
Untuk membuat Yunus gembira… gampang! Tuhan tinggal berikan 10 pohon jarak yang
rimbun menghibur hatinya.
Tetapi itu seperti memberi tolak angin kepada pasien kanker stadium 4. Bisa meredakan
kembungnya mungkin. Gejalanya beres, tetapi akar masalah kankernya tidak selesai. Tuhan
bukan dokter gampangan, Ia memilih untuk operasi sampai ke akarnya. Dan itu berarti
menebang pohon jarak satu-satunya itu. Hanya dengan cara itulah, Tuhan memperlihatkan
betapa jauh jarak hati Yunus dari hati Tuhan. “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang
untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang
tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan
sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh
ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan
ternaknya yang banyak?” Kitab Yunus diakhiri dengan sebuah pertanyaan. Artikel ini tidak
bermaksud untuk mengakhirinya dengan cara lain juga.