Saya teringat sewaktu kecil saya suka menonton film silat dari Tiongkok, Taiwan, maupun
Hongkong yang berlatar Tiongkok kuno. Latar film seperti ini biasanya tidak terlepas dari
lingkungan kerajaan atau kekaisaran, apalagi film yang tidak sekadar memperlihatkan
kungfu, tetapi juga intrik politik di lingkungan istana. Salah satu hal yang masih segar
dalam ingatan saya adalah tentang pembacaan titah kaisar. Dalam banyak film, adegannya
mempunyai kesamaan meskipun film dan sutradara berbeda. Seorang pembesar tiba di
suatu tempat (biasanya rumah seseorang) dengan membawa secarik kertas dan diiringi
selegiun prajurit bersenjata. Tuan rumah biasanya keluar menyongsong pembesar tersebut.
Setelah turun dari kuda, pembesar berseru: “Titah Kaisar!” Tuan rumah dan seisi rumahnya
langsung bersujud (biasanya gemetar), berteriak: “Panjang umur, puluhan ribu usia!” lalu
mendengarkan dengan saksama. Pembesar membuka gulungan titah Kaisar dan membaca isi
titah yang menentukan hidup/mati, baik/buruk nasib tuan rumah tersebut.
Memori ini sangat mengagetkan ketika kita sandingkan dengan sikap orang Kristen membaca
Alkitab hari ini. Kita dapat membayangkan seorang remaja atau pemuda di kamarnya, yang
membuka Alkitab dan membaca satu pasal karena diharuskan. Postur tubuhnya setengah
tiduran, dan Alkitab didirikan di atas perutnya, sedang kakinya yang kanan dinaikkan dengan
tumit tersangga di atas lutut kaki kirinya yang ditegakkan. Dia menguap, bergumam, dan
mengeluh dalam hati karena pasal hari ini kebetulan panjang bukan main. Sambil membalik-
balikkan halaman Alkitab, tangannya yang multi-tasking dapat sekaligus membalas pesan
singkat dari teman sekolah atau rekan kerja.
Sikap hati penerima titah sudah hilang dalam banyak orang Kristen setelah pengadopsian
kita menjadi anak Allah. Padahal, hak kita sebagai anak tidak menghilangkan hormat sembah
kita kepada Allah, meskipun dengan hak itu kita telah ‘aman’ dari hukuman kekal. Anugerah
adopsi membuat banyak orang Kristen terlalu santai dan kehilangan keseriusan. Ini tidak
berarti kita harus membaca Alkitab dalam keadaan berlutut, meskipun juga tidak dilarang
demikian. Akan tetapi, di manakah sikap hati penerima titah pada diri kita, dan di manakah
bahasa tubuh yang menyatakan siap menjalankan titah itu? Atau, lupakah kita bahwa Bapa
kita di Sorga adalah Raja segenap alam?