“Yesus kita adalah Yesus yang hebat! Dia selalu menopang kita, Dia pasti menolong kita ketika kita berada dalam kesulitan, Dia tidak mungkin membiarkan anak-anak-Nya menderita dalam kesusahan. Percayalah pada Yesus, sakit penyakit juga pasti disembuhkan oleh-Nya.” Cuplikan kalimat yang seperti ini mungkin sering kita jumpai di dalam kebaktian-kebaktian pada saat ini. Kalimat yang diucapkan dengan penuh keyakinan kepada yang mereka sebut “Yesus”, yang mereka anggap sebagai Yesus yang Alkitab ceritakan? Tetapi benarkah Yesus yang diyakini sama dengan Yesus di dalam Alkitab? Apa yang salah pada pengertian ini? Bukankah Alkitab juga mengatakan bahwa Yesus adalah Allah yang perkasa? Alkitab juga mengatakan bahwa Yesus berdoa dan menopang kita? Lalu apa yang aneh mengenai perkataan tersebut?
Mari kita telusuri beberapa cara pandang mengenai Kristus yang dapat kita jumpai pada zaman ini:
1. Kristus yang Mahakasih tetapi tidak ada keadilan
Tema mengenai kasih menjadi tema yang dengan giat didengungkan dalam mimbar-mimbar gereja pada saat ini. Penekanan akan kasih yang berlebihan pun muncul dalam pengajaran gereja. Salah satu yang berkembang belakangan ini adalah ajaran ‘Hyper grace’ yang mengajarkan bahwa seseorang yang sudah menerima anugerah keselamatan tidak perlu lagi meminta ampun untuk dosa-dosa yang dilakukannya setelahnya. Pengajaran ini hanya menekankan sisi kasih Allah tanpa melihat keadilan Allah. Tanpa sisi keadilan Allah, manusia akan semakin berani berdosa dan menganggap bahwa dosa mereka akan diampuni tanpa adanya konsekuensi. Alkitab memang mengatakan dengan jelas bahwa Allah mengasihi orang-orang berdosa, tetapi Alkitab juga dengan jelas mengajarkan bahwa orang yang berdosa ini tidak akan Tuhan biarkan tetap berdosa, tetapi Ia akan menghajar dan membentuk orang-orang ini untuk hidup dalam kekudusan dan segala kejahatan maupun keberdosaan akan Tuhan hakimi dengan adil.
2. Kristus yang menjadi jawaban untuk permasalahan yang tidak jelas
“Try Jesus, the winning way”, itulah kalimat yang terpampang di sebuah gereja di negara Barat. Yesus dijadikan seperti barang dagangan yang dengan seenaknya ditawarkan dan dipromosikan demi menarik orang banyak datang ke dalam gereja. Fokus pelayanan tergeser kepada menjawab permasalahan yang dirasakan setiap manusia. Yesus dinyatakan sesuai dengan situasi yang dihadapi. Kalau situasinya adalah orang yang kesulitan secara ekonomi, maka Yesus digambarkan sebagai Allah yang begitu bermurah hati; bila menghadapi seseorang yang broken home, Yesus digambarkan sebagai seorang bapa yang mengasihinya. “Apa pun masalahnya, Yesuslah jawabannya.” Sungguh pengajaran yang begitu merusak dan berbahaya. Karena dengan pengajaran yang seperti ini, Allah dijadikan sebagai Allah yang bergantung dan hanya berespons kepada kondisi kebutuhan manusia.
Alkitab sangat memfokuskan pengajarannya kepada salib Kristus. Pengenalan akan Allah yang benar harus dilihat, dimengerti, dihidupi melalui salib Kristus. Kekristenan tidak bisa lepas dari Salib itu. Tanpa pengertian Salib yang benar, hidup kita tidak mungkin Kristen adanya. Pemulihan hidup hanya mungkin didapatkan di tempat yang dianggap orang paling hina tersebut. Di sanalah kita mendapatkan pemulihan relasi dengan Bapa melalui Sang Anak. Bukan hanya pemulihan relasi, Yesus sendiri juga mengalahkan maut dengan kebangkitan-Nya. Di sinilah kita diberikan suatu gambaran yang begitu indah, Dia merupakan raja dari sorga dan juga raja dari kerajaan yang akan dibangkitkan kelak, namun ketika Dia turun ke dalam kerajaan maut, Dia juga menjadi raja atas maut tersebut. Pernyataan kepenuhan kekuatan kuasa-Nya yang total sehingga kita dapat bersandar kepada-Nya sepenuhnya, kita dapat bergantung kepada-Nya sepenuhnya. Kristus yang paradoks inilah yang diberitakan Alkitab kepada kita.
The Paradox of Christ
Paradoks menyimpan unsur keindahan di dalam konsepnya. Kita sering menjumpai paradoks dalam kehidupan kita namun kita tidak sadar betapa indahnya. Waktu menyanyi “Hallelujah Chorus”, setiap suara bernyanyi masing-masing. Bass menyanyikan bagiannya, tenor konsentrasi pada not-not tenor, alto melantunkan bagiannya, dan sopran melantunkan melodi sopran. Tapi mengapa terdengar indah? Karena setiap bagian menyanyikan notnya sendiri pada waktu yang tepat dengan nada yang tepat. Begitu juga dengan orkestra, yang masing-masing alat musik di dalamnya memiliki bagiannya sendiri. Ketika dipadukan, harmoninya seperti cicipan kemuliaan sorgawi. Kalau begitu, di mana kita dapat menjumpai paradoks yang terindah? Pertanyaan lebih tepatnya, di dalam diri siapa ada paradoks terindah? John Piper mengatakan dalam bukunya “Melihat dan Menikmati Yesus Kristus”, dengan mengutip perkataan Jonathan Edwards, bahwa yang membuat Kristus begitu mulia dan unggul adalah the admirable conjunction of diverse excellencies in Christ Jesus. Kita memperingati Dia yang lahir ke dalam dunia sebagai seorang bayi kecil sekaligus sebagai Allah yang perkasa. Tujuan hidup-Nya adalah untuk mati di atas kayu salib sekaligus menyatakan betapa besar dan mulianya Bapa di sorga. Di dalam pribadi-Nya berdiam keilahian yang sempurna dan kemanusiaan yang sempurna. Yesus adalah Sang Singa dan Sang Anak Domba, Allah dan manusia, Raja dan hamba.
Mari melihat lebih lanjut, perpaduan apa saja yang ada dalam diri Kristus yang membuat kita bisa menikmati dan mengagumi Dia. Jonathan Edwards dalam khotbahnya tentang “Excellency of Jesus Christ”, dia mendeskripsikan enam sifat paradoks Kristus yang mengagumkan.
Kemuliaan vs. Perendahan diri
(There do meet in Jesus Christ infinite highness and infinite condescension.)
Ini kalimat yang dipakai Edwards untuk menggambarkan betapa tak terbatas kemuliaan Kristus, namun Ia pula yang memiliki sikap merendahkan diri paling nyata. Kristus Raja segala raja, Tuan segala tuan. Ia lebih mulia dari para malaikat, lebih mulia dari seluruh ciptaan di bumi. Begitu mulianya hingga seluruh ciptaan hanya seperti debu di hadapan-Nya dan bangsa-bangsa hanya tumpuan kaki-Nya. Kristus mulia sebagai Allah pencipta dan pemilik alam semesta. Ia Allah yang berkuasa, melakukan segala sesuatu sesuai keinginan-Nya. Pengetahuan-Nya tidak kenal batas, kebijaksanaan-Nya sempurna, kekayaan-Nya melimpah-limpah. Sungguh pun demikian, Ia adalah pribadi yang merendahkan diri-Nya. Di dunia, tidak ada orang yang terlalu hina yang Kristus tidak bisa sentuh. Kristus merendahkan diri hingga sama seperti manusia yang lemah, dan bukan untuk raja-raja dan penguasa saja, tapi untuk orang kusta, lumpuh, buta, dan tuli. Pada dunia yang miskin Ia datang. Kristus cukup rendah untuk orang-orang berdosa yang tidak mempunyai apa-apa. Kristus cukup rendah untuk jadi teman manusia, bersekutu dengan mereka, dan mempersatukan mereka yang tercerai-berai. Terlebih lagi, Kristus cukup rendah untuk dihina, dikhianati, dilecehkan, hingga disalibkan di bukit Golgota. Perpaduan kemuliaan yang tiada tara dengan sikap merendahkan diri hingga titik paling rendah ini tidak ada lagi selain di dalam Yesus.
Keagungan vs. Kelemahlembutan
(In the person of Christ do meet together infinite majesty and transcendent meekness.)
Kristus yang agung adalah Dia yang ditakuti oleh musuh-musuh-Nya. Kristus yang agung adalah Ia yang memerintahkan ribuan pasukan setan (legion) untuk masuk ke babi-babi. Ia juga yang memerintahkan Lazarus untuk bangkit dan keluar dari kuburnya. Kristus ini yang memerintahkan angin ribut untuk diam. Kristus adalah yang berkuasa mengampuni dosa, yang mengatakan kepada orang berdosa, “Dosamu sudah diampuni, pergilah, imanmu menyelamatkan engkau.” Kristus berkuasa atas dosa, kematian, setan, dan alam ciptaan-Nya. Namun begitu, Ia adalah yang paling lemah lembut. Kristus mengatakan dalam Alkitab, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Ini sesuai dengan nubuat yang dikatakan tentang Kristus di Perjanjian Lama, Zakharia 9:9, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” Ia tidak mencerca yang berdosa dan membuang yang sakit hati, tapi membalut luka mereka dan mengampuni dosa mereka. Tidak pernah ada sebelumnya dan sesudahnya manusia seperti Kristus yang tetap lembut di bawah cemoohan dan siksaan dari musuh-musuh-Nya. Ia tidak membalas cercaan dengan cercaan, atau pukulan dengan pukulan. Dia mengampuni para prajurit yang merendahkan Dia, Yesus berdoa bagi musuk-musuh-Nya. Seperti domba yang dibawa ke pembantaian, Kristus sebagai Anak Domba Allah dibawa menuju bukit Golgota untuk disalibkan. Bukan saja memberikan diri-Nya untuk disalibkan, Dia juga memberikan diri-Nya menjadi penebusan bagi dosa orang yang menyalibkan-Nya, yakni Saudara dan saya. Siapa manusia lebih agung dari Kristus? Siapa lebih lemah lembut dari Yesus? Ketika dua sifat ini bersatu dalam diri Kristus, kita melihat keindahan Kristus.
Kesamaan dengan Allah vs.Penghormatan akan Allah
(There meet in the person of Christ the deepest reverence towards God and equality with God.)
Kristus pribadi kedua Allah Tritunggal. Ia adalah Allah yang mencipta dari tidak ada menjadi ada. Kristus adalah Allah dari kekekalan hingga kekekalan. Namun dalam wujud manusia-Nya di bumi, Ia sedemikan menghormati Bapa. Kristus berdoa dengan postur berlutut dan memohon. Kristus memiliki kesempurnaan sama seperti Bapa, kuasa sama dengan Bapa, kesucian yang setara, kemuliaan yang sebanding dengan Allah Bapa. Tapi, Kristus memiliki penghormatan, spirit ketaatan pada Bapa di sorga, dan Dia pula yang mengajarkan manusia bagaimana menghormati Bapa yang di sorga. Dua sifat yang ini bertemu dalam Kristus, menjadikan Dia pribadi yang dikagumi orang yang mengerti mengenai Kristus.
Kelayakan akan yang baik vs. Kerelaan menderita
(There are conjoined in the person of Christ infinite worthiness of good, and the greatest patience under sufferings of evil.)
Kristus sempurna tanpa cacat cela. Ia tidak berdosa. Dia tidak berhak atas penderitaan, atas hukuman Tuhan, atau apa pun hal buruk dari manusia. Kristus adalah Anak Allah sejati yang satu-satunya, di mana semua milik Bapa adalah milik Kristus. Kristus berhak menerima pujian tertinggi dan sembah dari semua ciptaan dan para malaikat, sebagai Allah Anak dan Tuhan pencipta semesta. Tapi tidak hanya itu, di dalam dunia, Kristus Yesus sabar menderita dalam segala sesuatu. Ia berhak lahir di keluarga kaya, di tempat paling mewah, dengan dikelilingi para malaikat yang memuji-muji Dia. Namun Kristus lahir di tempat makan hewan, di keluarga tukang kayu, ditemani hewan di kandang. Kristus menanggung malu dan hukuman siksaan yang seharusnya jatuh pada kita. Kepala kita yang penuh pikiran jahat namun kepala Kristus yang dimahkotai duri, tubuh kita yang berdosa namun tubuh Kristus yang dicambuk, tangan dan kaki kita yang melawan Tuhan namun tangan dan kaki-Nya yang dipaku di kayu salib. Kristus bisa disalibkan karena Ia rela menderita. Semua kuasa untuk memusnahkan manusia fana dan kuasa memanggil pasukan malaikat di sorga tidak Ia pakai. Kristus memilih penderitaan, demi kita. Tidak ada perpaduan kelayakan akan hal baik dan kerelaan menjalani penderitaan yang lebih besar dari yang ada dalam diri Kristus Yesus.
Kuasa atas langit dan bumi vs. Spirit ketaatan
(In the person of Christ are conjoined an exceeding spirit of obedience, with supreme dominion over heaven and earth.)
Kristus berkuasa atas semesta karena Ia adalah mediator manusia dan Allah, atau duta dari Allah yang diutus dan dimandatkan kuasa atas langit dan bumi. Tapi Dia juga yang secara natur memang memiliki kuasa atas semesta karena natur-Nya ialah Allah. Akan tetapi, di dalam pribadi yang sama pula dijumpai ketaatan total. Kristus tidak membiarkan kehendak-Nya yang jadi tapi kehendak Bapa. Kristus yang menghendaki persatuan dengan Bapa-Nya, mengesampingkan kehendak itu demi melakukan kehendak Bapa yaitu menyelamatkan umat berdosa dengan terpisah dari Allah Bapa, di atas kayu salib. Kristus taat perintah Bapa-Nya dalam hal mudah maupun sulit, mulai dari awal hidup-Nya hingga kematian-Nya. Seperti yang Kristus katakan dalam Yohanes 10:18, Ia menerima tugas ini (memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya) dari Bapa-Nya. Waktu kita melihat betapa berkuasa Kristus di dunia dan betapa taat Ia pada perintah Bapa-Nya, tidakkah kita kagum akan paradoks sifat ini dalam pribadi Yesus?
Kecukupan pada diri-Nya vs. Kebergantungan pada Allah
(In the person of Christ are conjoined absolute sovereignty and perfect resignation.)
Kristus cukup pada diri-Nya sendiri, tidak butuh ciptaan. Sebagai Allah, Kristus pemilik segala sesuatu dan tidak ada kecacatan atau kekurangan pada diri-Nya. Semua ciptaan bergantung pada Dia, Dia sendiri tidak bergantung pada siapa pun. Ia penopang ciptaan-Nya. Namun demikian, Kristus menaruh harapan-Nya pada Bapa. Matius 27:43 menyatakan hal ini, yaitu ketika Yesus dicemoooh oleh orang-orang yang menyalibkan Dia, mereka mengatakan bahwa Yesus menaruh harapan-Nya pada Allah, maka biarlah Allah menyelamatkan Dia, jika memang Allah berkenan. Yesus yang mengajarkan para murid untuk berdoa seperti Dia, yaitu berdoa dengan meminta kecukupan makanan untuk hari ini. Yesus yang menjadi teladan dalam hal berserah pada Allah dalam pelayanan-Nya di bumi. Dua sifat ini yang bergabung dalam diri Kristus menjadikan-Nya figur yang indah bagi manusia yang melihat hal ini.
Enam pasangan paradoks sifat Kristus yang bagi manusia bertolak belakang, di dalam Kristus dipersatukan dan menjadi indah. Semua sifat ini tidak hanya dipilih oleh Kristus tapi dijalankan satu per satu. Paradoks yang kaya dan unggul ditunjukkan melalui pribadi Yesus di dunia. Yesus, menurut John Piper, adalah Singa yang seperti Anak Domba sekaligus Anak Domba yang seperti Singa. Inilah yang dimaksud dengan “The Admirable Conjunction of Diverse Excellencies in Christ Jesus”.
Sebagai pemuda Kristen kita harus memiliki semangat dan komitmen yang sungguh-sungguh dalam mengikuti Kristus. Kita seharusnya bersyukur jika kita sudah mengenal siapakah Yesus Kristus yang sesuai dengan apa yang dikatakan Alkitab. Masa muda merupakan kesempatan di mana kita menuntut diri dan membentuk diri sebagai generasi yang akan meneruskan kekristenan. Jika pada masa muda sebagai pemuda Kristen hanya ingin untuk bersenang-senang saja tidak mau menuntut diri lebih, siapa yang akan meneruskan tongkat estafet di masa yang akan datang sebagai teladan iman. Mirisnya, banyak pemuda Kristen pada zaman sekarang lebih tertarik dengan apa yang dunia tawarkan. Kita dapat melihat ibadah-ibadah yang sering kali menawarkan kesenangan semata. Emosi yang dapat mereka luapkan ketika mereka memuji Tuhan, mereka seakan-akan mendapatkan damai namun damai yang palsu. Kalau memang kita benar-benar mengenal Tuhan kita, seharusnya kita memaksa diri untuk mau menyangkal diri, mau mengejar kemuliaan Tuhan dan bukan kesenangan diri.
Selain mengejar kesenangan diri, zaman serba cepat sekarang seakan-akan membuat para pemuda juga ingin sesuatu yang praktis saja, bahkan untuk penggalian akan firman Tuhan. Tidak perlu belajar dalam-dalam namun cukup dengan apa yang sudah dibukakan dan akhirnya mengerti. Budaya ini yang membuat kita sulit untuk bertekun dalam pengenalan akan Tuhan. Pemuda menjadi sulit untuk duduk tenang dalam waktu yang cukup lama untuk mendengarkan khotbah. Pengenalan akan pribadi Kristus yang salah dapat menyebabkan hal ini terjadi. Jika kita salah mengenal dan mengerti Kristus, maka kita akan memiliki cara hidup yang sesuai dengan apa yang kita sembah tersebut. Jika pemuda Kristen demikian adanya, bagaimanakah kekristenan di masa yang akan datang? Iman dan pengertian seperti apakah yang dapat diturunkan kepada generasi setelah mereka? Teladan seperti apa yang dapat dilihat dari kehidupan mereka oleh keturunan mereka?
Yesus telah datang dalam daging dengan kerelaan-Nya, menyatakan diri-Nya dalam keterbatasan dan hidup sebagai manusia. Hal ini merupakan hal yang seharusnya menggentarkan kita dan membuat kita bersyukur. Rasa kagum akan karya Kristus ini seharusnya dapat menuntut kita untuk hidup suci di hadapan Tuhan. Tidak mungkin kita akan hidup dengan seenaknya dan tidak menunjukkan rasa hormat kepada Sang Pencipta. Alkitab banyak memberikan teladan dalam kehidupan Kristus. Marilah kita tidak menyia-nyiakan apa yang telah Tuhan berikan dalam hidup kita, terutama penebusan-Nya melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Kita harus sadar bahwa kebutuhan utama kita sebagai manusia berdosa adalah Kristus sendiri. Tidak ada hal yang lebih indah lagi dibandingkan dengan keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita. Mari kita tuntut diri kita untuk mau belajar dan mengenal dengan lebih lagi mengenai pribadi yang agung ini, agar hidup kita dapat menjadi kesaksian yang nyata bagi kemuliaan Allah dan dipakai-Nya untuk berbagian dalam meneruskan Gereja-Nya di zaman ini dan akan datang.
Bobbie Timothea Christian dan Tjioe Marvin Christian
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
Jonathan Edwards, The Excellency of Christ
John Piper, Melihat dan Menikmati Yesus Kristus, 2013, Momentum
John Stott, Kristus Tiada Tara