Mengalami Lapisan-Lapisan Realitas

Di dalam banyak fiksi fantasi, dikisahkan bahwa di balik realitas kehidupan sehari-hari ada
realitas lain yang ajaib. Pembaca novel Harry Potter, misalnya, diajak untuk
berpetualangan di realitas para penyihir yang tidak dapat diakses oleh manusia biasa. Kita tahu
bahwa itu adalah cerita fiktif dan hanya anak-anak yang memercayainya. Namun, reaksi sebagian
orang justru jatuh pada ekstrem lainnya, yaitu hanya memercayai realitas natural yang bisa
dialami dengan pancaindra. Pandangan semesta yang naturalistik seperti ini bukanlah yang
dimiliki oleh murid-murid Yesus yang menyaksikan pekerjaan-Nya dari dekat.

Pada pasal ke delapan di dalam Injil Markus, Petrus mengakui bahwa Yesus adalah Mesias
setelah mendengar pengajaran-Nya dan melihat sendiri kuasa-Nya. Pada pasal berikutnya,
Petrus dan dua murid lainnya diajak Yesus naik ke atas gunung, tempat Dia bertransfigurasi
di tengah-tengah Musa dan Elia. Allah Bapa pun memberikan kesaksian yang mengonfirmasi
keterangan Petrus bahwa Yesus lebih dari sekadar nabi, “Inilah Anak yang Kukasihi,
dengarkanlah Dia” (Mrk. 9:7). Petrus, Yakobus, dan Yohanes mendapatkan hak istimewa
untuk melihat langsung penyibakan realitas sorgawi di tengah-tengah realitas natural yang
selama ini mereka kenal sebagai nelayan.

Namun, apa yang terjadi ketika mereka turun dari gunung juga penting untuk direnungkan.
Markus mengisahkan bahwa begitu mereka turun gunung, mereka diperhadapkan dengan
kasus kerasukan yang sulit. Murid-murid yang menunggu di bawah tidak dapat mengusir
setan yang merasuki seorang anak. Ini menjadi menarik jika kita menempatkan diri di dalam
sudut pandang ketiga murid yang menyaksikan transfigurasi Yesus Kristus di atas gunung.
Baru saja iman mereka dikuatkan dengan pemandangan di atas gunung, mereka harus diuji
dengan tingkat yang lebih tinggi di bawah gunung. Baru saja realitas sorgawi semakin jelas
bagi mereka, realitas dunia kegelapan juga semakin menampakkan diri.

Sering kali, sebagai orang yang terjun ke dalam pelayanan, orang-orang Kristen melihat
penyertaan dan pekerjaan Tuhan yang nyata. Namun, bisa saja terjadi bahwa fenomena
sorgawi bukan satu-satunya yang menampakkan dirinya. Setelah orang Kristen dikuatkan
imannya, ia perlu bersiap-siap untuk menghadapi realitas lain, kuasa kegelapan yang semakin
menyatakan dirinya untuk berkompetisi untuk mengatasi realitas sorgawi. Tujuannya
tentunya adalah untuk membuat orang Kristen kembali ragu setelah semua konfirmasi yang
mereka dapatkan dari Allah, dan supaya nama Allah tidak dipermuliakan. Semakin murid-
murid Yesus melihat kehadiran Allah, semakin mereka merasakan gangguan si jahat.

Orang Kristen mungkin akan berseru seperti ayah dari anak yang kerasukan, “Aku percaya.
Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:24). Iman di tengah-tengah pergumulan
membuat ayah tersebut dapat melihat Yesus mengusir roh jahat yang kuat itu keluar dari
anaknya, bahwa kuasa Allah lebih besar daripada kuasa iblis.

Jika ditanya, orang Kristen umumnya akan mengakui bahwa mereka memercayai adanya realitas
spiritualitas dan peperangan rohani yang sedang berlangsung di dalamnya, tetapi yang kita
hidupi sejujurnya adalah pandangan naturalistik. Jika kehidupan kita adem ayem saja,
dan realitas yang kita alami hanya realitas fisik yang ada pada permukaan, kita perlu bertanya
kepada diri sendiri: apakah kita sudah cukup mendekatkan diri kita kepada Kerajaan Allah
dan pekerjaan-Nya? Sampai sejauh mana kita terlibat di dalam realitas spiritual? Sudah
siapkah kita menghadapi peperangan rohani yang terjadi di balik fenomena alami di
permukaan kehidupan ini?