Di dalam sebuah organisasi pada umumnya, kedudukan penasihat tentu tidak seberkuasa atasan. Penasihat biasanya adalah orang yang banyak pengalaman dan perkataannya dijadikan pertimbangan, tetapi tidak selalu akan berakhir jadi kebijakan. Dalam kehidupan pribadi pun, nasihat – apakah itu dari orang tua, guru, pendeta, dan lain-lain – sering kali bersifat pilihan, tidak semendesak perintah atasan, tuntutan hukum, atau undang-undang untuk dijalankan. Sebenarnya, bagaimana seharusnya kita berespons terhadap nasihat yang bijak? Apakah nasihat yang bijak mempunyai derajat yang lebih rendah daripada perintah?
Jika kita menganggap nasihat yang berhikmat lebih rendah derajatnya daripada perintah, dan karena itu kurang mendesak untuk dilakukan, tentunya kita akan menganggap Kitab Amsal lebih rendah derajatnya dibandingkan Taurat, karena Amsal dituliskan “untuk mengetahui hikmat dan didikan” (1:1). Ayat ketujuh dari pasal pertama adalah salah satu yang paling terkenal:
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,
Tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.
Baris pertama dan kedua adalah pengontrasan antara orang berhikmat dengan orang bodoh. Salomo dengan jelas menunjukkan hubungan antara hikmat dengan takut akan Allah. Orang yang berpengetahuan adalah orang yang takut akan Allah, sedangkan orang yang menghina hikmat dan didikan adalah orang yang bodoh.
Dengan demikian, nasihat yang bijaksana tidak dapat kita setarakan dengan usul atau masukan, ataupun saran. Nasihat yang benar-benar berhikmat mempunyai otoritas ilahi karena sumber dari segala kebijaksanaan adalah Tuhan sendiri. Menentukan pilihan yang bijak berarti mengejar keputusan seturut dengan kehendak Tuhan.
Jadi, apa artinya jika kita menolak nasihat yang sungguh-sungguh bijak? Kita menempatkan diri pada barisan orang yang tidak takut akan Tuhan, dan menempatkan diri kita di jajaran orang bodoh yang menghina hikmat dan didikan.