Pemberitaan Firman yang Murni

Tanda dari gereja yang sejati ada dua: pemberitaan firman yang murni dan pelaksanaan sakramen yang benar. Demikian dikatakan artikel 29 dari Pengakuan Iman Belanda (Belgic Confession) (Dennison, 2008, 442). Artinya, jika di dalam suatu perkumpulan tidak ada pemberitaan firman yang murni, perkumpulan tersebut bukanlah gereja. Mereka dapat memasang label “gereja”, tetapi sesungguhnya bukanlah gereja di mata Tuhan. Sebaliknya, jika di suatu gereja ada pemberitaan firman Allah yang murni, Allah sungguh-sungguh hadir dan berbicara kepada umat-Nya di sana.

Firman yang murni adalah firman yang diterima dari Tuhan dan diberitakan dengan setia tanpa tercampur kebohongan manusia. Ketika William Farel membahas firman yang murni, ia mengutip Yeremia 23:28 (Dennison, 2010, 89). Dalam perikop itu ayat 25-28, TUHAN membandingkan dua macam nabi. Nabi macam yang pertama adalah nabi yang bernubuat palsu demi nama TUHAN. Mereka memberitakan tipu rekaan hatinya sendiri. Mereka menceritakan mimpi-mimpi mereka. Mereka tidak mendapatkan nubuat mereka dari TUHAN. Nabi macam yang kedua adalah nabi yang mendapatkan nubuatnya dari TUHAN. Mereka menerima firman dari TUHAN dan menyampaikan firman-Nya dengan setia. TUHAN memberikan pertanyaan retorik, “Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum?” Dengan kata lain, bagaimana mungkin firman TUHAN bersatu dengan kebohongan manusia? Di sini TUHAN mengingatkan nabi-Nya supaya menjaga kemurnian firman yang diberikan-Nya.

Bagi Paulus, firman yang tidak murni adalah ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran Tuhan Yesus Kristus, tidak selaras dengan kesalehan, dan membawa pendengarnya kepada spekulasi kosong dan pertengkaran (1Tim. 1:3-4; 6:3-4; 2Tim. 2:23). Selain itu, menurut Paulus di dalam 1 Korintus 3:10-15, firman yang tidak murni adalah ajaran-ajaran yang berisi hikmat manusia yang bertentangan dengan fondasi Yesus Kristus.

Dalam konteks Surat 1 Korintus, hikmat Allah dipertentangkan dengan hikmat manusia. Hikmat Allah diperlihatkan Allah kepada manusia di atas salib Yesus Kristus, sedangkan hikmat manusia adalah hikmat yang dihasilkan dari pencarian rasional manusia. Hikmat Allah bersifat dari atas ke bawah: Allah menyatakan hikmat-Nya kepada manusia. Hikmat manusia, bersifat dari bawah ke atas: manusia, dengan kekuatan akal budinya, berusaha meninggikan diri, menjadikan diri lebih superior daripada orang lain (Ciampa & Rosner, 2010, 99). Dalam bahasa theologis, manusia sebenarnya membutuhkan pernyataan (wahyu) khusus dari Allah karena wahyu umum dari ciptaan saja tidaklah cukup untuk mendekat kepada Allah. Malahan, refleksi manusia berdosa akan wahyu umum membuat kita menjadi tinggi hati dan merasa “bijaksana”. Wahyu khusus datang kepada manusia melalui firman kepada nabi dan rasul dan akhirnya di dalam diri Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Puncaknya adalah di atas kayu salib ketika Yesus menderita dan mati. Bagi manusia yang “bijaksana”, mereka bertanya, “Mengapakah kekristenan meninggikan penderitaan dan kematian?” Bagi kita yang “bijaksana”, salib Kristus tidak tampak kebijaksanaannya.

Salah satu contoh hikmat manusia adalah filsafat. Filsafat sebenarnya adalah teori-teori manusia. Manusia membuat teori ini setelah mengamati dan memikirkan wahyu Allah di dalam ciptaan. Kemudian manusia memakai teori-teori ini untuk melihat realitas hidup ini, bahkan terkadang menyentuh hal-hal rohani (mis. keberadaan Allah). Filsafat adalah disiplin yang sah karena Allah menyatakan kebenaran-Nya melalui alam dan manusia diberikan kemampuan untuk menelitinya. Namun, filsafat tidak mungkin dapat memahami hal rohani, karena filsafat berasal dari pengamatan akan ciptaan (Bray, 2012, 84-85). Ciptaan hanyalah gambaran yang kabur akan Allah, sedangkan untuk mendekat kepada Allah kita membutuhkan gambaran yang jelas akan Allah. Hanya melalui wahyu khusus-Nya kita memperoleh kejelasan itu. Oleh karena itu, dengan filsafat kita tidak akan pernah dapat memahami nilai dan tujuan hidup manusia serta Injil Yesus Kristus.

Paulus mengerti hal ini. Oleh karena itu, pemberitaan Paulus sendiri bukanlah berisikan hikmat manusia, melainkan hikmat yang berasal dari Allah dan diberikan melalui Roh-Nya (1Kor. 2:1-16). Dari 2 Timotius 3:15 kita mengetahui bahwa hikmat ini terdapat di dalam Kitab Suci. 

Paulus mendorong Timotius di dalam 2 Timotius 2:15 untuk berjuang menjadi pekerja yang layak di hadapan Allah dengan berterus terang memberitakan perkataan kebenaran. Frasa “berterus terang memberitakan” sebenarnya memiliki arti harfiah “memotong lurus” (to cut straight). Frasa ini merupakan sebuah metafora. Dan metafora ini dipakai dalam konteks “perkataan kebenaran”. Perkataan kebenaran dalam konteks Surat Timotius memiliki arti kabar baik (Injil) mengenai Yesus Kristus yang diberitakan para rasul. Bagi Paulus, Injil Yesus Kristus tidak tereduksi menjadi empat hukum rohani. Injil memiliki arti yang luas yang meliputi Kitab Suci Perjanjian Lama (2Tim. 3:15), pengajaran Yesus Kristus (1Tim. 6:13) dan para rasul (1Tim. 2:7). Singkatnya, perkataan kebenaran ini adalah keseluruhan firman Allah. Hari ini kita memiliki firman Allah ini di dalam Alkitab (2Tim. 3:16). Jadi, “memotong lurus” firman Allah berarti mengajarkan Kitab Suci sesuai dengan tujuan dan maksudnya dan menyampaikan maknanya dengan benar. Hanya dengan demikian Timotius menjadi pekerja yang layak di hadapan Allah. Hal ini dikontraskan dengan mereka yang memelintir Kitab Suci menurut kehendak mereka sendiri (Köstenberger, 2006, 580). Seorang pekerja yang layak di hadapan Allah adalah ia yang terlebih dahulu membenamkan dirinya di dalam Alkitab sebelum memberitakannya kepada orang lain (1Tim. 4:13-16; bdk. Yer. 23:28).

Lalu, bagaimanakah seorang pengkhotbah mengajarkan Alkitab sesuai dengan maksudnya dan menyampaikan maknanya dengan benar? Sebelum masuk ke cara, kita perlu terlebih dahulu menyadari natur Alkitab: Allah mewahyukan diri-Nya secara khusus kepada manusia dengan perkataan (firman) melalui perantaraan para nabi, para rasul, dan Tuhan Yesus. Kemudian perkataan ini dijadikan tulisan oleh manusia. Artinya, pesan dan maksud Allah kepada manusia dikandung di dalam bahasa manusia dalam bentuk tulisan. Jadi, bahasa manusia adalah sarana komunikasi Allah kepada manusia. Akibatnya, kita dapat mengetahui pesan dan maksud Allah tersebut dengan membaca Alkitab menurut kaidah tata bahasa manusia dan konteks penulisannya. Pembacaan yang demikian biasa disebut eksegesis. Eksegesis dimungkinkan karena teks Alkitab memiliki makna yang tunggal dan genap (Pengakuan Iman Westminster, I.ix). Makna yang tunggal dan genap tersebut adalah pesan dan maksud Allah. Teks Alkitab bukanlah benda mati yang dapat kita artikan semau kita. Ada pribadi yang hidup yang berdiri di belakang teks Alkitab. Dialah yang menentukan maksud dari setiap perkataan-Nya (Yes. 55:11), dan maksud Dialah yang perlu kita temukan di dalam teks Alkitab dengan metode eksegesis. Eksegesis Alkitab yang benar dan pertolongan Roh Kudus akan membawa kita bertemu dengan Sang Firman, Yesus Kristus (Luk. 24:44; 2Tim. 3:14-15).

Eksegesis merupakan hal yang mudah sekaligus susah. Setiap hari tanpa sadar kita melakukan eksegesis ketika berkomunikasi dengan orang lain. Namun, kita kesulitan membaca Alkitab karena Alkitab dituliskan pada waktu dan tempat yang jauh berbeda dari kita. Oleh karena itu, ada banyak buku mengenai eksegesis Alkitab yang sudah ditulis. Dua di antaranya adalah How to Understand and Apply the Old Testament: Twelve Steps from Exegesis to Theology dari Jason Shane DeRouchie dan Eksegesis Perjanjian Baru dari Gordon D. Fee. Di samping itu, ada banyak contoh khotbah yang memiliki eksegesis yang baik yang boleh mendapat perhatian kita. Misalnya, Duncan and Carson | From Exegesis to Exposition: Help in Sermon Preparation (YouTube, dirilis 6 April 2019) dan KU Umum MRII HI – Vik. Kenny Ruben | ‘Ibadah yang Sia-sia’ (YouTube, dirilis 10 Januari 2021).

Satu catatan penting perlu kita perhatikan di sini. Eksegesis tidaklah sama dengan khotbah ekspositori. Khotbah ekspositori adalah bentuk khotbah, sedangkan eksegesis adalah metode pembacaan Alkitab. Khotbah ekspositori tidak tentu memiliki eksegesis yang setia. Sebaliknya, pembacaan Alkitab yang setia dapat disampaikan dalam rupa khotbah tematik. Apa pun khotbahnya, eksegesisnya harus benar.

Seorang pemberita firman yang setia adalah mereka yang memberitakan “demikianlah firman Tuhan” (thus says the Lord), bukan imajinasi mereka (Yeh. 13:3). Ia akan menyampaikan firman Tuhan dari Alkitab, bukan memakai Alkitab untuk mendukung opininya.

Tanggung jawab pemberitaan firman Tuhan merupakan hal yang serius, tetapi kenyataan berkata lain. Di banyak gereja hari ini, khotbah tidaklah lebih dari 15-20 menit perenungan moral, nasihat self-help, stand-up comedy, atau opini terhadap masalah sosial. Khotbah gagal menjadi pemberitaan firman Allah karena tercampur dengan pemikiran dan pendapat manusia. Berikut ini, kita akan membahas beberapa contoh penyimpangan supaya kita dapat membedakan khotbah yang baik dan yang buruk. Beberapa contoh saya ambil dari tafsiran Hughes dan Chapell (Chapell & Hughes, 2000, 209-210).

Pertama, mencomot dan mencopot ayat dari konteksnya untuk mendukung ajaran pengkhotbah. Misalnya, teks Markus 1:16-20 yang menyinggung pekerjaan para murid dipakai untuk mengkhotbahkan signifikansi dari pekerjaan sekuler. Kemudian, Maleakhi 3:10 dipakai untuk mendorong orang memberikan perpuluhan dan membuai mereka dengan janji kemakmuran.

Kedua, sebagian pengkhotbah dengan sengaja menggunakan perspektif psikologi, gender, politik, filsafat, teori kritis, atau lain sebagainya sebagai kacamata untuk membaca teks Alkitab. Pembacaan seperti ini bukanlah sebuah eksegesis karena tidak mengutamakan pembacaan teks menurut konteks literer dan sejarahnya. Contohnya, Kejadian 2:18 dibaca dari sudut pandang psikologi dan mengartikan “seorang diri” sebagai kesepian (loneliness); atau kisah Abraham mengorbankan anaknya dibaca dari sudut pandang Kierkegaard mengenai kesadaran (consciousness). Setiap pembaca memang memiliki bias. Hal ini tidak dapat terhindarkan. Namun yang disinggung di sini adalah bias yang disengaja (conscious bias).

Ketiga, khotbah moralistis. Khotbah ini hanya mengajak pendengar untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus, hidup menurut perintah Tuhan tanpa membawa pendengarnya menyadari kebangkrutan rohani mereka di hadapan Allah, lalu melihat Kristus, dan kemudian bersandar kepada Roh Kudus untuk hidup taat. Contohnya, ketika membahas buah Roh Kudus, pengkhotbah hanya mengajak dan menasihati pendengarnya supaya hidup menyatakan buah Roh.

Keempat, khotbah tanpa dasar Alkitab. Khotbah berisi spekulasi mengenai hal yang tidak dicatat di dalam Alkitab. Misalnya, seorang pengkhotbah berspekulasi mengenai apa yang terjadi jika Adam tidak pernah berdosa; atau pengkhotbah menyatakan secara spesifik siapa jodoh seseorang, padahal hal itu tidak pernah disingkapkan Allah.

Kelima, khotbah yang membesarkan diri dan bukan Kristus. Ada pengkhotbah yang berkhotbah memamerkan pengalamannya bertemu Tuhan Yesus, naik ke sorga, dan turun ke neraka. Ada pula yang menceritakan kesuksesannya membangun gedung gereja yang besar. Khotbah seperti ini kontras dengan teladan Yohanes Pembaptis: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Membesarkan diri adalah sebuah kebodohan (2Kor. 11:17, 21). Sebaliknya, Kristus dimuliakan ketika kita bermegah atas kelemahan kita (2Kor. 11:30; 12:5, 9, 10).

Keenam, khotbah tanpa Alkitab. Ironis. Jika khotbah adalah pemberitaan firman Tuhan, tetapi tidak ada firman Tuhan (Alkitab), apakah yang sebenarnya sedang diberitakan? Kebiasaan ini berlawanan dengan teladan Tuhan Yesus sendiri. Lihatlah betapa sering Ia mengutip Kitab Suci Perjanjian Lama ketika mengajar: Matius 12:3, 5; 19:4; 21:16, 42; 22:31; Markus 2:25; 12:10, 26; Lukas 4:17-21; 6:3; 24:27, 32, 45; Yohanes 7:38, 42; 13:18. Di bagian lain, Tuhan Yesus memang juga mengajar tanpa mengutip Perjanjian Lama. Hal itu wajar karena Tuhan Yesus memiliki otoritas untuk mengajar. Setiap perkataan-Nya adalah firman hidup (Mrk. 1:22, 27; Yoh. 5:24; 6:68). Namun, siapakah pengkhotbah? Pengkhotbah hanya memiliki otoritas dari Allah selama yang ia sampaikan adalah firman Allah.

Ketujuh, khotbah yang tidak seimbang dan gagal mengkhotbahkan keseluruhan firman Allah (Kis. 20:27). Misalnya, seorang pengkhotbah sudah tiga puluh tahun terus-menerus hanya mengkhotbahkan kitab-kitab Perjanjian Baru. Bagaimana mungkin kita dapat mengerti Perjanjian Baru tanpa Perjanjian Lama? Contoh lain, seorang pendeta yang setiap minggu membicarakan kedaulatan Allah tetapi jarang membahas tanggung jawab manusia.

Ketujuh contoh ini mengilustrasikan kegagalan pengkhotbah menjelaskan Alkitab sesuai dengan pesan dan maksud Allah. Hal ini terjadi karena pengkhotbah gagal mendengar Allah yang berdiri di belakang teks Alkitab. Selain itu, ia gagal menundukkan diri di bawah firman Allah. Ia sudah memiliki agenda pribadi dan sekadar memakai ayat Alkitab sebagai dukungan.

Seorang pengkhotbah yang setia ialah orang yang duduk diam mendengarkan firman Allah dengan saksama. Ia mempelajari suatu teks Alkitab dengan sungguh-sungguh dan dengan tuntunan Roh Kudus. Hal ini ia lakukan karena ia sadar akan keseriusan tanggung jawab menyampaikan firman (2Tim. 4:1). Ia gentar di hadapan Allah yang hidup. Ia sadar bahwa pemberitaan firman Tuhan adalah suatu tanggung jawab yang menyangkut hidup dan mati (Yeh. 3:16-27). Dengan Kitab Suci, ia memiliki tanggung jawab untuk membawa pendengar kepada Yesus Kristus. Dengan Kitab Suci, ia harus mengajar, menegur, serta menyatakan kesalahan mereka. Dengan Kitab Suci, ia harus mendidik mereka di dalam kebenaran (2Tim. 3:14-17).

Bagaimanakah kita berespons sebagai pendengar? Kita tentu memiliki kerinduan supaya ada firman Tuhan yang murni yang diberitakan dari mimbar (Yoh. 10:3-4). Kita ingin supaya Tuhan hadir di tengah-tengah kebaktian dan berbicara kepada kita. Oleh karena itu, kita perlu dapat membedakan mana pemberitaan firman yang murni dan yang tidak (bdk. Kis. 17:11; 1Yoh. 4:1).

Tiga pertanyaan dapat kita tanyakan setelah kita mendengar khotbah. Pertama, apakah kita dapat memahami hubungan isi khotbah dengan teks Alkitab yang dibaca? Kedua, apakah penjelasan teks Alkitab sesuai dengan konteksnya? Ketiga, apakah kita menjadi sadar akan kesalahan kita, sadar akan perlunya bertobat, dan bagaimana kita harus bertobat? Jika sebagai pendengar kita menjawab “tidak” untuk salah satu dari pertanyaan ini, kita belum mendengar firman Tuhan. Tentu, kesalahan menjawab mungkin sekali ada pada kita. Namun, jika memang jawabannya adalah “tidak”, kita perlu dengan rendah hati dan dengan kasih memohon penjelasan yang tuntas dari pengkhotbah. Tujuan kita bukanlah untuk melawan otoritas, melainkan supaya suara Tuhan boleh terus terdengar dari atas mimbar, supaya gereja boleh dibangun dalam kebenaran dan kasih sehingga Tuhan dimuliakan di dalam gereja-Nya (Ef. 3:23). Jika ternyata kesalahan ada pada pengkhotbah dan ia mau mengakui kesalahannya, bertobat, dan berusaha untuk sungguh-sungguh menyampaikan firman Tuhan dari Kitab Suci, marilah kita bersyukur dan memuliakan Allah karena Yesus Kristus masih hadir dan memimpin gereja tersebut. Di sepanjang sejarah gereja, kita tidak pernah sekali pun menemukan seorang pendeta yang sempurna dalam memberitakan firman. Namun kita dapat menemukan pendeta-pendeta yang setia, yang berjuang memberitakan firman yang murni.

Kehadiran Allah di suatu gereja ditandai oleh adanya pemberitaan firman yang murni. Jika kita rindu akan kehadiran dan suara Tuhan, marilah kita tinggalkan “gereja” yang senantiasa tidak memiliki pemberitaan firman yang murni dan bergabung dengan gereja yang sejati. Marilah kita terus mendoakan para gembala di sana, supaya mereka boleh dengan setia terus menyampaikan firman Tuhan yang murni dari atas mimbar (bdk. 1Tim. 4:16). Jika kita menganggap sepi firman Tuhan, masa kekeringan firman Tuhan akan tiba pada kita (bdk. Ams. 8:11-12). 

“Bagaimanakah kita akan mengajarkan keunikan kekristenan jika … khotbah kita membahas hal-hal yang dapat dipelajari oleh mereka yang duduk di bangku gereja dari psikolog, sosiolog, dan stasiun televisi lokal?” tanya Marva Dawn (Dawn, 1995, 46). Oleh sebab itu, marilah kita terus mengingat dan meneruskan perjuangan Pdt. Dr. Stephen Tong. Beliau mendirikan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) “untuk memperjuangkan suatu mimbar yang setia kepada firman Tuhan”. GRII “berusaha agar mimbar sungguh-sungguh menjadi tempat pemberitaan firman yang bertanggung jawab, yang didasarkan pada eksposisi firman Tuhan secara cermat”. (Tentang Kami | GRII PONDOK INDAH, n.d.)

Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Amanat Agung Tuhan Yesus, Mat. 28:20)

Hans Tunggajaya

Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional

Referensi:

1. Bray, G. (2012). God Is Love: A Biblical and Systematic Theology. Crossway.

2. Chapell, B., & Hughes, R. K. (2000). 1 & 2 Timothy and Titus: To Guard the Deposit. Crossway Books.

3. Ciampa, R. E., & Rosner, B. S. (2010). The First Letter to the Corinthians. Eerdmans Publishing Company.

4. Dawn, M. J. (1995). Reaching Out without Dumbing Down: A Theology of Worship for This Urgent Time. Eerdmans Publishing Company.

5. Dennison, J. T. (Ed.). (2008). Reformed Confessions of the 16th and 17th Centuries in English Translation (Vol. 1). Reformation Heritage Books.

6. Dennison, J. T. (Ed.). (2010). Reformed Confessions of the 16th and 17th Centuries in English Translation: 1552-1566 (Vol. 2). Reformation Heritage Books.

7. Köstenberger, A. (2006). The Expositor’s Bible Commentary: Ephesians-Philemon (T. Longman & D. E. Garland, Eds.). Zondervan.

8. Pengakuan Iman Westminster (1647). (n.d.). e-Reformed. Retrieved February 19, 2022, from https://reformed.sabda.org/pengakuan_iman_westminster_1647.

9. Tentang Kami | GRII PONDOK INDAH. (n.d.). GRII Pondok Indah. Retrieved February 18, 2022, from https://griipondokindah.org/tentang-kami.