Berlawanan dengan ekspektasi umum bahwa jika seseorang hidup rukun di tengah-tengah
masyarakat dia akan berakhir dengan baik-baik saja, Yesus yang adalah manusia tanpa cela
berakhir di pengadilan agama (diadili oleh Kayafas) maupun pengadilan negeri (diadili oleh
Pilatus). Meskipun di Injil Yohanes, Pilatus mengatakan bahwa dia tidak dapat menemukan
kesalahan apa pun pada Yesus, dia akhirnya menyerah kepada kemauan massa untuk
menyalibkan Yesus.
Mengapa Yesus disalibkan? Bukan karena kesalahan-Nya, melainkan karena ketaatan-Nya
menjalankan mandat dari Bapa untuk datang ke dunia, memberitakan tentang Kerajaan Allah,
yang di dalamnya Dia sendiri adalah Rajanya. Proklamasi inilah, baik dengan perkataan
maupun tindakan, yang membuat-Nya harus disingkirkan oleh para pemimpin agama dan
politik pada masa itu. Namun, di luar dugaan mereka, justru penyaliban-Nya adalah
penggenapan terhadap tujuan Raja itu datang, yaitu Dia akan mengalahkan musuh utama
umat manusia melalui kematian dan kebangkitan-Nya, yakni dosa dan maut.
Apa artinya pengadilan Kristus bagi orang Kristen masa kini? Kita diwajibkan untuk hidup
rukun dengan semua orang. Paulus menulis kepada jemaat di Roma, “Sedapat-dapatnya,
kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Rm.
12:18). Akan tetapi, jika orang Kristen setia dengan menjadi saksi Kristus di dunia ini, sangat
besar kemungkinan bahwa kita juga akan menghadapi salah satu bentuk dari “pengadilan”,
jika bukan di dalam pengertian harfiah, mungkin semacam pengadilan dan sanksi sosial.
Mengapa diadili? Bagi orang yang sudah berusaha sedapat mungkin untuk mengasihi orang
lain dan menjaga kerukunan, pengadilan bisa digelar karena proklamasi tentang Kerajaan
Kristus, baik melalui perkataan maupun tindakan para pengikut-Nya. Ini dikarenakan institusi
manusia yang berdosa sering kali digunakan oleh si jahat untuk melawan pekerjaan Kristus
yang dia benci.
Untungnya, melalui Injil Markus, kita dapat belajar bagaimana Kristus sendiri menghadapi
pengadilan yang tidak adil. Di dalam ruang pengadilan, Yesus tidak menjawab tuduhan-
tuduhan palsu yang dilayangkan terhadap-Nya, persis seperti nubuatan Yesaya: “Dia
dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak
domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang
yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yes. 53:7). Ini bukan berarti
Yesus sama sekali tidak berkata apa-apa di ruang pengadilan. Jika kita perhatikan
kalimat-kalimat Yesus yang keluar di pengadilan, baik di hadapan Kayafas (Mrk. 14:53-65)
atau pun Pilatus (Mrk. 15:1-15), mungkin kita bisa belajar bagaimana menghadapi pengadilan
di dalam konteks kita masing-masing. Yesus diam ketika dilempari tuduhan palsu dan cercaan,
tetapi menjawab dengan tegas dan berani ketika ditanyakan tentang identitas-Nya: “Akulah
Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan
datang di tengah-tengah awan-awan di langit” (Mrk. 14:62).
Apa yang dapat kita pelajari? Mungkin demi menjaga kerukunan, kita selama ini sudah
mengompromikan kesaksian. Atau, mungkin selama ini tenaga dan waktu kita terlalu banyak
terbuang untuk memikirkan dan merespons tuduhan dan fitnahan demi menjaga nama baik
kita. Namun, bukankah lebih baik memfokuskan diri kepada proklamasi tentang identitas kita
dan Raja kita dengan berani, daripada terokupasi oleh serangan-serangan pribadi? Kiranya
Tuhan menolong kita!