Saya pernah mendengar sebuah cerita jenaka tentang seorang bos dan dua pegawainya yang sedang pergi makan siang. Tiba-tiba di tengah jalan mereka menemukan sebuah lampu ajaib dan ketika digosok muncullah jin yang mengatakan akan mengabulkan masing-masing keinginan mereka. Pegawai pertama berkata dia ingin pergi jalan-jalan ke Paris saat itu juga. Pegawai kedua berkata dia ingin berada di Pantai Bahama sambil tiduran menikmati segelas air kelapa muda. Dalam sekejab mereka langsung hilang dan berada di tempat yang mereka inginkan. Sisa si bos. “Apa yang kauinginkan?” sang Jin berkata. “Aku ingin dua pegawai tadi sudah di kantor selesai jam makan siang nanti,” ujar si bos dengan dingin sambil berjalan menuju tempat makan.
Cerita ini mencerminkan ada dua macam sikap terhadap pekerjaan. Yang pertama adalah orang yang tidak mau kerja, maunya healing, maunya jalan-jalan, maunya cuti. Kalau bisa libur lebaran 300 hari, kerjanya 65 hari saja. Kenapa kerja kalau begitu? Ya sekadar untuk bertahan hidup atau untuk menabung supaya bisa beli tiket liburan berikutnya.
Sikap kedua adalah sikap yang justru sangat bertolak belakang. Hidup untuk kerja. Orang yang workaholic, yang senang kerja, yang waktu lebaran baru hari kedua sudah tidak sabar untuk kembali ke kantor. Yang tipe kedua ini bekerja untuk kejar sukses pribadi, bekerja keras, lembur tidak masalah, no hobby, no girl friend tidak apa-apa, yang penting kerja dan kerja. Work is my life.
Secara fenomena keduanya terlihat sangat bertentangan. Yang satu gila kerja, yang satu gila kalau diminta kerja. Walaupun dua pandangan ekstrem ini sangat bertentangan, bertolak belakang, dua kutub yang berseberangan, tetapi kalau kita melihat dengan paradigma yang lain, kita melihat sebenarnya mereka di dalam satu kubu yang sama. Sama dalam hal apa? Ternyata keduanya sama-sama hidup untuk diri sendiri. Yang satu mencari pemenuhan diri di dalam kerja, yang satunya lagi di luar kerja. Sama-sama mencari self-actualization dan self-fulfillment. Satu dari dalam, satu dari luar. Tetapi keduanya tidak melihat pekerjaan dengan satu kesadaran pekerjaan ini adalah panggilan yang datangnya dari Tuhan dan bekerja adalah untuk melayani sesama.
Dua paradigma ini walaupun berseberangan ternyata intinya sama: hanya tentang saya dan pekerjaan saya. Saya suka atau saya benci bekerja, tetapi tidak ada Tuhan dan sesama di dalam alam semesta saya. Saya tidak bisa melihat objek apa pun selain diri sendiri. Saya RABUN JAUH!
Namun ketika kita diberikan kacamata baru, cara pandang Alkitab tentang bekerja, maka kita mulai bisa melihat dengan cara pandang yang berbeda, mulai bisa melihat jauh–ada Tuhan dan sesama. Jadi apakah Saudara bisa melihat pekerjaan Saudara sebagai panggilan dari Tuhan dan bukan sekadar minat atau pemenuhan kebutuhan pribadi? Apakah Saudara bisa melihat apa yang Saudara lakukan dengan bekerja keras itu bukan untuk profit pribadi, tetapi sebagai cara untuk melayani dan mengasihi sesama? Mari kita minta kacamata baru dari Tuhan!