Renungan Mingguan Khusus Pillar Online
Seorang wanita berjalan dengan langkah gontai, berjalan sendirian di tengah siang hari yang menyengat. Langkah demi langkah di terik matahari membuat kendi di tangannya terasa lebih berat dari biasanya, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan beban berat yang menggantung di hatinya. Beban rasa bersalah dan rasa malu telah lama mengurungnya. Tudingan rasa bersalah dari hati nuraninya membuatnya tidak lagi bisa tidur nyenyak di ranjangnya sendiri. Rasa malu dan kotor membuatnya tidak mampu lagi berjalan di keramaian, merasa semua mata seakan tertuju kepadanya. Rasa bersalah dan rasa malu memang sangat terkait satu sama lain.
Seorang penulis menuliskan sebagai berikut, “Meskipun rasa bersalah dan malu adalah kembar, lahir di taman Eden, hanya terpisah sekejab, mereka tidak identik. Rasa bersalah biasanya terkait dengan suatu peristiwa: Saya melakukan sesuatu yang buruk (I did something bad). Rasa malu terikat pada seseorang: Saya buruk (I am bad). Ketika kita melanggar hukum Tuhan, kita merasa bersalah. Tetapi emosi itu dengan cepat, hampir bersamaan, bergabung dengan rasa malu. Rasa bersalah berkata, ‘Kamu melakukan sesuatu yang salah.’ Malu berkata, ‘Itulah mengapa kamu perlu bersembunyi. Anda tidak baik. Anda layak hidup dalam kegelapan. Ikut denganku.’”[1]
Kembali kepada sang wanita di kisah di atas. Tidak ada wanita yang menimba air di sumur di siang bolong ketika matahari sedang terik-teriknya. Itulah justru alasan utamanya. Dia tidak akan bertemu dengan wanita lainnya, yang biasanya menimba air di pagi subuh ketika suhu teduh dan bersahabat. Dia tidak ingin bertemu baik musuh ataupun sahabat yang kepo bertanya akan kehidupan pribadinya. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Titik. Tetapi seorang pria asing yang tidak dikenalnya duduk di pinggir sumur dan meminta minum kepadanya. Sang wanita menjawab dengan ketus dan penuh sarkasme, berharap ini adalah akhir dari percakapan mereka. Namun sang pria tersebut melanjutkan dengan pertanyaan lanjutan dan percakapan terus berlanjut. Makin lama pertanyaan makin masuk ke dalam dan melintasi batas aman dan privasi. Sang wanita mencoba menghindar dan mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan theologis yang sulit untuk dijawab. Semoga kali ini benar- benar percakapan dapat berakhir di sini.
Namun adegan yang terjadi selanjutnya adalah sang wanita lari meninggalkan tempayannya dan berlari masuk ke kota. Mengejutkan! Namun perkataan yang ia teriakkan di tengah-tengah alun-alun kota yang menarik perhatian semua orang lebih mengejutkan lagi, “Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat, mungkinkah Dia Kristus itu?” Bukankah rasa malu terbongkar diketahui dosa-dosanya oleh orang banyak adalah mimpi terburuknya dan mengakuinya adalah hal terakhir yang ia ingin lakukan? Lantas mengapa ini hal pertama yang ia justru lakukan setelah ia bertemu sang pria asing di pinggir sumur tersebut? Percakapan apa yang membuat Ia terbebaskan dari penjara rasa bersalah dan rasa malu yang membelenggunya selama ini? Janji apa yang sang Pria tersebut berikan hingga ia sekarang tidak peduli akan harga dirinya lagi? Apakah Anda juga terbelenggu oleh rasa bersalah atas dosa-dosa yang Anda tutupi selama ini? Terlalu malu untuk dibagikan bahkan kepada kawan terdekat? Apa kata dunia kalau itu semua terbongkar? Mau tahu bagaimana sang wanita yang berasal dari Samaria itu bisa bebas? Jawabannya ada pada pertemuan dengan sang pria asing tersebut! Saatnya Anda datang kepada-Nya agar Ia tidak lagi asing bagimu.
Endnote:
[1] https://www.thegospelcoalition.org/article/difference-between-guilt-shame/
September 2021
Silakan memberikan tanggapan, saran ataupun komentar di bawah.
Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak untuk tidak menampilkan ataupun mencabut komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah ataupun berisi kebencian.
1. Bersyukur untuk kondisi pandemi COVID-19 yang sudah makin melandai. Berdoa kiranya setiap orang Kristen mengambil kesempatan untuk dapat memberitakan Injil dan membawa jiwa-jiwa kepada Kristus terutama di dalam momen Jumat Agung dan Paskah di bulan ini. Bersyukur untuk ibadah fisik yang sudah dilaksanakan oleh banyak gereja dan bersyukur untuk kesempatan beribadah, bersekutu, dan saling menguatkan di dalam kehadiran fisik dari setiap jemaat.