Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan diri dengan santapan raja dan dengan anggur yang
biasa diminum raja. (Dan. 1:8)
Siapakah Daniel yang mempunyai ketetapan hati begitu kokoh? Bukankah Raja Babel
sendirilah yang menetapkan bagi mereka pelabur setiap hari dari santapan raja (ay.3),
siapakah yang berani melawan titah raja saat itu? Padahal Daniel dan ketiga kawannya baru
saja diberi nama lain (ditetapkan nama mereka diganti). Atas nama mereka saja, mereka tidak
ada berkuasa. Kenapa mereka berpikir bahwa mereka memiliki “bargaining power”
berkenaan dengan masalah makanan? Ketika mereka melihat kawan-kawan sebangsa mereka,
kawan-kawan mereka tidak keberatan untuk menerima ketetapan raja Babel, dan juga
nantinya kawan-kawan tidak berketetapan hati untuk menolak menyembah patung emas
Nebukadnezar di pasal keempat.
Mari kita renungkan di dalam kehidupan sehari, ketika kita harus mengambil keputusan-
keputusan dalam hidup ini. Ketetapan manakah yang menjadi pedoman kita? Kita bisa
mengambil keputusan seperti yang sudah “ditetapkan” oleh pemerintah, oleh institusi, oleh
atasan, dan sebagainya. Kita bisa saja beralasan, “memang hukumnya sudah begitu, yah
jalanin aja, mau diapain lagi.” Ataukah kita melihat bahwa kebanyakan orang juga
melakukannya, bahkan banyak orang Kristen juga melakukannya. “Semua orang juga begitu
koq!” Ataukah kita mampu seperti Daniel berketetapan hati untuk tidak menajiskan diri dan
ingin terus hanya memperkenankan hati Tuhan? Suatu ketetapan hati yang tetap teguh
walaupun hukuman “dilempar ke goa singa” menanti.
Jadi mengapa Daniel berketetapan hati yang begitu kokoh? Jawabannya adalah karena Daniel
mengenal Allah yang disembahnya, Allah Pencipta langit dan bumi yang berdaulat atas
segala yang ada. Kenalkah kita akan Allah yang kita sembah?