Mengejar kekudusan yang disertai dengan pembentukan karakter yang semakin serupa dengan Kristus tidak pernah bisa terlepas dari pengertian akan doktrin Kristen yang berakar dalam firman Tuhan. Begitu pun sebaliknya pengertian doktrin Kristen yang benar tidak mungkin terlepas dari kesalehan hidup yang semakin kudus dan menyenangkan Tuhan. Oleh karena itu, setiap pembelajaran doktrin yang benar akan memiliki pengaruh dan implikasi terhadap spiritualitas kita sebagai umat yang sudah ditebus. Demikian juga saat kita mempelajari doktrin Allah Tritunggal.
Doktrin Allah Tritunggal sering kali dianggap sebagai pengajaran yang tidak memiliki relevansi bagi kehidupan. Selain karena doktrin ini terkesan “sangat sulit dimengerti” dan “membingungkan”, doktrin ini juga memberikan nuansa kering, dogmatis, teknis, deskriptif, transendental, dan lain-lain. Kita sulit sekali atau bahkan tidak dapat menemukan kaitan antara doktrin ini dan kehidupan sehari-hari kita, padahal doktrin Tritunggal adalah salah satu pengajaran yang sangat mendasar dalam iman Kristen.
Di dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, kita menjumpai adanya pergeseran pandangan tentang doktrin. Para theolog tidak lagi “menyajikan” doktrin dalam “racikan” dogmatis kering, tetapi mereka mulai menggali dan membahas doktrin di dalam konteks yang menyentuh spiritualitas dan bahkan hal yang kita jumpai sehari-hari. Memang sudah seharusnya, doktrin dapat disampaikan secara reflektif dan edukatif bagi kehidupan umat Allah, tanpa mereduksi atau mengompromikan pengertian yang ortodoks dan setia kepada Alkitab. Doktrin bukanlah sebuah ide kosong. Doktrin membawa kita sebagai orang Kristen kepada pengenalan akan Allah yang sejati.
Allah Sang Pencipta
Allah Tritunggal yang menyatakan diri-Nya melalui Alkitab adalah Allah Sang Pencipta – yang menciptakan seluruh dunia ciptaan dari ketiadaan – yang berdaulat atas seluruh dunia ciptaan. Allah yang menciptakan manusia berdasarkan gambar dan rupa-Nya dan yang kebenaran-Nya menjadi dasar bagi seluruh pengetahuan umat manusia, memancarkan kemuliaan dan kebijaksanaan-Nya melalui seluruh alam semesta yang diciptakan-Nya. Seperti yang John Calvin katakan dalam bagian awal Institutio, bahwa pengenalan akan Allah akan membawa kita semakin mengenal akan diri kita. Semakin kita mengenal Allah kita, maka seharusnya kita pun semakin mengenal diri kita dan membentuk diri kita untuk semakin memancarkan sifat-sifat Allah karena kita adalah gambar-Nya.
Allah yang Berpribadi
Allah Alkitab menyatakan diri-Nya sebagai Kasih. Pernyataan seperti ini hanya ada di dalam kekristenan. Agama lain mengatakan Allah sebagai yang “Mahapengasih”, Allah dinyatakan sebagai yang memiliki kasih yang tidak berkesudahan, tetapi tidak dinyatakan sebagai kasih itu sendiri. C. S. Lewis menyatakan saat kita mengakui Allah adalah kasih, maka kita mengakui Allah setidaknya terdiri dari dua pribadi, karena kasih adalah sesuatu yang diberikan seorang pribadi kepada pribadi yang lain. Kita dapat menyimpulkan, jika kita menyatakan Allah adalah kasih, tentu kita harus terlebih dahulu memahami bahwa Ia adalah Allah yang berpribadi.
Aristoteles mengajarkan adanya satu entitas tertinggi namun tidak memiliki pribadi. Jika Allah tidak berpribadi, maka manusia sebagai gambar dan rupa Allah juga seharusnya tidak memiliki pribadi sebagaimana Allah yang tidak berpribadi. Allah yang tidak memiliki kepribadian, tentu tidak akan menciptakan manusia sebagai pribadi yang memiliki perasaan yang begitu kaya dan limpah. Allah yang tidak memiliki pribadi tentu tidak akan menciptakan manusia, Ia akan menciptakan robot menurut gambar dan rupa-Nya yang tidak memiliki kehendak, rasio, emosi, dan perasaan. Tetapi dalam realitas, kita melihat diri kita maupun orang-orang di sekitar kita adalah manusia yang memiliki pribadi, bahkan setiap pribadi unik adanya.
Pribadi yang Berelasi
Suatu kepribadian tentu terkait dengan kemampuan untuk berelasi dengan pribadi lainnya. Manusia sebagai makhluk yang berkepribadian tidak akan mampu hidup sendiri meskipun semua kebutuhan biologisnya terpenuhi. Manusia adalah manusia seutuhnya bila ia adalah manusia yang mampu berelasi dengan pribadi lain.
Mengapa kita harus memahami relasi yang terjadi antara ketiga pribadi Tritunggal? Pemahaman kita akan Bapa tidak akan utuh bila kita tidak memahami bagaimana Bapa berelasi dengan Anak dan Roh, sama juga halnya dengan pemahaman kita akan Anak dan Roh tidak akan utuh tanpa pemahaman akan bagaimana ketiga pribadi ini berelasi. Alasan lainnya adalah karena kita sebagai manusia tidak dapat berelasi dengan manusia lain sebagaimana seharusnya tanpa melihat teladan dari ketiga pribadi yang berelasi dengan sempurna. Kita diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah Tritunggal yang berpribadi dan berelasi, sudah seharusnya kita melihat kepada apa yang kita wakilkan di dalam diri ini sebagai manusia.
Meneladani Kristus
Di dalam menjadi gambar dan rupa Allah yang sejati, Kristus adalah teladan yang paling autentik. Ia datang ke dalam dunia, mengambil rupa seorang manusia, taat hingga mati di kayu salib lalu bangkit dan naik ke sorga. Selama kurang lebih 3,5 tahun pelayanan-Nya, Kristus memberikan teladan yang sempurna tentang bagaimana menjadi manusia yang sejati. Mengapa Kristus yang harus kita teladani? Hal ini karena Kristus adalah mediator yang paling sempurna untuk kita manusia dapat mengenal siapa Allah. Di dalam PL kita membaca mengenai nabi-nabi yang memberitakan firman Allah kepada bangsa Israel. Di dalam PB kita melihat adanya rasul-rasul yang menyatakan firman Allah. Semua pemberitaan ini menjadikan Kristus sebagai titik sentralnya. Para nabi menunjuk kepada Sang Mesias yang akan datang dan para rasul memberitakan Kristus yang telah datang dan akan datang kembali untuk kedua kalinya. Di dalam Filipi 2:5-11, Paulus mengajarkan kepada jemaat di Filipi untuk meneladani Kristus. Karena itulah kita disebut sebagai Kristen yang diambil dari kata Christian, artinya pengikut Kristus.
Apa yang harus kita teladani? Ketaatan-Nya kepada Allah Bapa di dalam kerendahan hati-Nya, kerelaan-Nya untuk merendahkan dan mengosongkan diri-Nya menjadi serupa dengan manusia ciptaan-Nya, bahkan di dalam keadaan yang begitu rendah. Ia menjadi seorang hamba, yang taat sampai mati di atas kayu salib, demi menyelamatkan manusia berdosa, yang senantiasa menyombongkan diri. Seperti inilah kita seharusnya meneladani Sang Anak, karena inilah sifat Allah. Allah yang merupakan kesatuan dari ketiga pribadi yang tidak terbagi, suatu persatuan kasih yang tidak mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing, melainkan saling memuliakan dan meninggikan. Bapa meninggikan Anak, Anak membawa setiap orang kepada Bapa, dan Roh Kudus yang bersaksi tidak tentang diri-Nya sendiri, tetapi tentang Anak.
Mengabaikan Hak
Semakin kita mengenal Allah Tritunggal, kita akan semakin melihat bagaimana pribadi-pribadi Tritunggal saling melayani dan mengabaikan hak-Nya. Dari awal penciptaan, Allah dengan kasih karunia-Nya menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Allah tidak menganggap diri-Nya sebagai suatu keberadaan yang eksklusif, yang tidak boleh ditiru. Ia dengan rela memberikan diri-Nya kepada ciptaan-Nya yang begitu hina. Bahkan setelah manusia jatuh dalam dosa, dalam murka-Nya yang mendatangkan air bah untuk membinasakan manusia berdosa, Ia mengabaikan hak-Nya untuk membinasakan manusia yang telah melanggar perjanjian-Nya. Allah berjanji dalam kerendahan hati-Nya kepada Nuh bahwa Ia tidak akan lagi mengutuk bumi seperti yang telah dilakukan-Nya. Walaupun di tengah kesakitan hati yang Tuhan alami karena kesombongan dan kejahatan manusia, Tuhan sebagai pribadi merasakan kesakitan hati yang lebih mendalam saat membinasakan manusia. Pola-pola ini terus terulang dan dapat kita lihat sepanjang Perjanjian Lama. Allah yang tidak terbatas dan Mahamulia mengabaikan hak-Nya untuk tidak diikat dalam murka-Nya saat itu dan mengikatkan diri-Nya dengan perjanjian kepada umat-Nya Israel. Dalam kasus lainnya, Tuhan mengabaikan hak-Nya untuk menjadi Raja sejati atas Israel dan mengizinkan Saul untuk bertakhta sebagai raja atas umat-Nya.
Puncak pengabaian hak dilakukan oleh Kristus, Sang Anak yang rela merendahkan diri-Nya demi manusia yang berdosa, yang rela meminum cawan pahit untuk menyelamatkan domba-domba yang terhilang, serta menggenapkan rencana Bapa. Dalam meneladani pengabaian hak ini, Paulus menasihatkan jemaat di Filipi untuk hidup dengan menganggap orang lain lebih utama dari dirinya sendiri. Perintah ini bukan perintah yang pasif, Paulus tidak menasihatkan untuk tidak hidup mementingkan diri sendiri. Perintah Paulus merupakan perintah aktif yang menuntut kita sebagai pengikut Kristus untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.
Setiap hal yang kita miliki di dunia merupakan pemberian Tuhan kepada kita yang tidak layak kita terima. Mengabaikan hak dimulai dari kesadaran bahwa setiap hak yang kita miliki merupakan pemberian dari Tuhan. Seseorang tidak akan rela mengabaikan haknya demi kepentingan orang lain bila ia memandang hak tersebut sebagai sesuatu yang layak ia miliki dan harus dipertahankan. Merelakan hak berarti menyerahkan hak kita kepada Tuhan untuk dipakai menjadi suatu hal yang mendatangkan berkat bagi kepentingan kehendak Tuhan.
Tidak mementingkan kepentingan diri, lalu belajar memikirkan kepentingan orang lain, bukanlah berarti hidup kita berfokus kepada orang lain dan memberikan semua yang ada pada kita untuk memenuhi semua keinginan orang lain. Kebaikan terhadap orang lain terkadang bisa berupa disiplin dan didikan. Kita harus senantiasa meminta hikmat dari Tuhan agar mampu membuat keputusan yang tepat dalam setiap keadaan. Tetapi dengan sikap kerelaan merendahkan diri untuk menjalankan apa saja yang jadi pernyataan kehendak-Nya.
Tuhan akan merendahkan mereka yang sombong dan meninggikan mereka yang merendahkan dirinya. Tuhan membenci mereka yang sombong, Tuhan membenci mereka yang menyetarakan diri dengan-Nya. Menara Babel, Firaun, para raja, dan mereka yang meninggikan dirinya selalu berakhir direndahkan oleh Tuhan. Sebaliknya mereka yang merendahkan diri di hadapan Tuhan akan ditinggikan. Hal ini tidak seharusnya menjadi tujuan kita merendahkan diri melainkan suatu penghiburan bagi mereka yang setia. Setiap hal yang kita perbuat hendaklah didasarkan atas tujuan untuk meneladani Kristus dan mempermuliakan Allah serta rasa kasih kita kepada sesama sebagaimana ketiga pribadi Allah berelasi.
Marilah kita kembali mencari Tuhan, mengejar pengenalan akan Tuhan, meminta Roh Kudus memampukan kita menyangkal diri dan mengabaikan hak, memampukan kita makin hari makin hidup sesuai dengan firman Tuhan, makin hari makin hidup sebagai hamba yang tunduk memperkenankan Sang Raja.
Steffie Jessica
Pemudi GRII Bandung