Ulurkanlah Tanganmu

Di dalam rangkaian konfrontasi antara orang Farisi-ahli Taurat dan Tuhan Yesus tentang
aturan Sabat, salah satu kejadian yang dimasukkan oleh Lukas adalah tentang penyembuhan
orang yang mati sebelah tangannya (Luk. 6:6-11). Lukas mencatat bahwa Yesus sedang mengajar
di rumah ibadat dan para ahli agama itu mengamat-amati untuk melihat apakah Dia menyembuhkan
orang lagi di hari Sabat. Tidak perlu dijelaskan betapa ironisnya situasi ini.

Perintah untuk berhenti bekerja pada hari Sabat ditujukan untuk mengkhususkan hari itu
untuk Allah. Setiap orang Israel harus datang ke hadapan Allah dengan satu hati, siap untuk
mendengarkan firman-Nya dan menyembah-Nya. Para pemuka agama itu telah melupakan
esensi dari perintah ini dan mementingkan hal-hal lahiriah, aturan-aturan yang dikembangkan
di dalam tradisi Yahudi untuk membatasi gerak-gerik manusia di hari Sabat. Namun, dengan
tidak mengkhususkan hati dan pikiran mereka di hari Sabat dan malah memusatkan
konsentrasi mereka untuk mencari kesalahan Yesus, sebenarnya mereka sendiri telah
melanggar hari Sabat di dalam rumah ibadat.

Dengan menyembuhkan orang sakit di hadapan mereka, Yesus justru ingin menunjukkan
kepada mereka bahwa seluruh hari Sabat seharusnya dipersembahkan untuk Dia. Pusat
perhatian orang di hari Sabat adalah Allah dan Yesus adalah Allah. Seharusnya, para ahli
Taurat dan orang Farisi mengkhususkan hati dan hari mereka itu untuk mendengarkan ajaran-
Nya dan menyaksikan pekerjaan-Nya. Namun, kekerasan hati mereka dan kesempitan
theologi mereka telah membuat mereka salah fokus.

Yesus mendemonstrasikan keilahian-Nya dengan menyuruh orang yang mati sebelah tangan-Nya
untuk mengulurkan tangan-Nya. Ini adalah instruksi yang tidak mungkin dilakukan orang biasa.
Menyuruh orang mengulurkan tangan yang mati adalah versi miniatur dari membangkitkan orang
mati (Di dalam hal ini, terjemahan LAI sangat indah: tangan orang itu mati, bukan
lumpuh). Yesus berotoritas untuk memberikan kehidupan kepada yang mati. Ini sama
dengan Dia memanggil orang berdosa untuk kembali kepada-Nya. Orang berdosa pada hakikatnya
tidak dapat kembali kepada Tuhan. Berdosa dan kembali kepada Tuhan adalah suatu kontradiksi.
Namun, dengan kuasa Kristus, hal itu mungkin. Jika orang Farisi dan ahli Taurat membuka
hati mereka dan menguduskan hari Sabat untuk mencari Tuhan dan bukan mencari kesalahan
orang, mereka pasti akan melihat pesan yang begitu jelas itu. Namun, mata mereka tertutup
oleh kesempitan tradisi mereka.

Sudahkah kita mengenal Tuhan dan menilai pekerjaan Tuhan berdasarkan pengenalan yang
benar? Ataukah kita menilai Tuhan dengan kesempitan theologi kita? Apakah kita
mengharapkan Tuhan bekerja seturut dengan cara kerja kita? Atau, apakah kita telah meminta
Tuhan untuk mengikuti aturan-aturan yang kita buat sendiri tentang bagaimana seharusnya
sejarah dan nasib manusia berjalan? Kiranya Tuhan Yesus sekali lagi menolong kita dengan
otoritas-Nya dan berkata kepada kita, “Bukalah matamu dan lihatlah cara Aku bekerja!” Kita
memang buta dan melihat adalah kemustahilan. Namun, sekali lagi, hanya Tuhan Yesus yang
dapat membuat mata buta melihat, seperti tangan mati diulurkan.