Saya yakin sebagian besar kita tidak mengetahui adanya World Marriage Day yang diperingati setiap Minggu kedua bulan Februari. Perayaan hari pernikahan ini disponsori oleh organisasi Amerika bernama Worldwide Marriage Encounter. Organisasi ini awalnya diasosiasikan dengan gerakan Catholic Marriage Encounter, tetapi kemudian akhirnya menjadi kelompok non-denominasi karena menekankan “Christ-centered” dan bukan pada denominasi. Sehingga namanya berganti menjadi Christian Marriage Encounter dan belakangan diubah menjadi Christian Marriage Enhancement.
Gerakan ini pada dasarnya adalah untuk menemukan kebutuhan akan Tuhan dalam hidup pernikahan sehingga komitmen perkawinan menjadi semakin kokoh. Sedangkan tujuan dari World Marriage Day adalah untuk menghormati kedudukan suami dan istri sebagai fondasi dari keluarga, unit dasar dari masyarakat. Hari itu seluruh masyarakat diajak untuk menghargai keindahan dari kesetiaan suami dan istri, pengorbanan mereka, dan sukacita hidup pernikahan.
Informasi di atas bukan dimaksudkan untuk diperdebatkan perlu tidaknya, tetapi untuk mengajak pembaca sekali lagi memikirkan arti pernikahan dan keluarga. Di abad ke-21 ini, pilar keluarga makin dirontokkan oleh isu-isu ketidaksetiaan dan propaganda gerakan LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender). Saking gencarnya propaganda kelompok GLBT, ucapan Paus Francis pun mereka plesetkan. Paus seolah-olah menyetujui gerakan mereka. Alih-alih setuju, sebetulnya Paus mendukung anggota kelompok ini yang mau bertobat dan kembali kepada Tuhan.
Okay, kembali ke persoalan pernikahan. Dalam kisah pernikahan yang pertama antara Adam dan Hawa, Tuhan menempatkan Adam, sang suami, sebagai pemimpin. Menurut saya, pemimpin adalah penentu. Suami yang menentukan kesehatan sebuah keluarga. Kenapa? Karena kejatuhan Adam – sang suami – ke dalam dosa, menyeret pernikahan dan keluarga ke dalam kerusakan yang besar. Terjadi perselisihan suami dan istri, bahkan perebutan kekuasaan di antara mereka. Demikian juga di antara anak-anak mereka. Bahkan Kain, sang kakak, sampai tega membunuh adiknya, Habel.
Jika Anda membaca sumber-sumber yang ada di internet (carilah dan bacalah), secara khusus data di Amerika Serikat menunjukkan terjadinya krisis keluarga karena ketidakhadiran figur seorang ayah! Lebih parah lagi, ada riset yang menyatakan bahwa anak laki-laki tidak hanya ada dalam titik kritis di bidang pendidikan, tetapi juga dalam kesehatan fisik, dan emosi mereka. Anak laki-laki dan para pemuda sedang dalam titik menurun yang kelak dapat membawa keluarga pada kehancuran. Menurut hemat saya, ketiadaan figur seorang ayah menjadi pemicu utama dari munculnya kaum GLBT. Pernahkah Anda berpikir mengapa para kaum homoseksual pria menyukai sesama pria?
Di atas disebutkan bahwa suami istri adalah fondasi keluarga, dan keluarga adalah unit dasar masyarakat. Apa yang terjadi jika figur suami dan ayah tidak hadir di tengah pernikahan dan keluarga? Pincang dan miring gambarannya. Lalu apa yang akan terjadi dengan masyarakat yang dibangun dengan perkawinan dan keluarga yang demikian? Jawabannya tidak terlalu sulit: umat manusia dapat mendatangkan kiamatnya sendiri, tanpa harus menunggu kedatangan Tuhan kedua kali!
Tulisan ini tidak bermaksud menakuti-nakuti dan menimbulkan kecemasan luar biasa. Tulisan ini justru ingin mengajak Anda semua untuk serius memikirkan arti pernikahan dan keluarga. Sebagai umat tebusan yang menghadirkan kuasa kebangkitan Kristus, mari kita perjuangkan pernikahan dan keluarga yang sehat seperti yang dimaksudkan oleh Kitab Suci. Namun untuk itu perkenankan saya bertanya kepada Anda: Apakah Anda sungguh mengerti konsep pernikahan dan keluarga Kristen? Lalu sejauh mana Anda telah berjuang menghidupi iman Kristen Anda hari ini?
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin