Tepat di penghujung tahun 2022, seorang teman mereferensikan sebuah buku yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk menuliskan review singkat terkait buku yang saya baca ini. Satu buku yang berhasil memberikan jawaban atas pergumulan saya selama hampir empat tahun belakangan terkait tema spiritual abuse. Buku ini menarik perhatian saya khususnya karena terdapat satu pertanyaan yang menggelitik. Pertanyaannya adalah, “Bagaimanakah jika penjahat yang paling jahat di dalam kisah Harry Potter bukanlah Draco Malfoy, melainkan Albus Dumbledore?” Satu pertanyaan ini membuat saya ingin mengetahui lebih jauh apa yang sesungguhnya dibicarakan oleh buku ini.
Dr. Michael J. Kruger, Professor of New Testament and Early Church dari Reformed Theological Seminary, menuliskan sebuah buku dengan judul Bully Pulpit (Mimbar yang Menganiaya). Dr. Kruger menggunakan perumpamaan bagaimana jika Dumbledore (tokoh yang dianggap paling baik dalam kisah Harry Potter) ternyata justru adalah penjahat utamanya. Perumpamaan tersebut mau menggambarkan, bagaimana jika orang yang paling jahat di dalam gereja justru adalah hamba Tuhan? Bagaimana jika tindakan spiritual abuse (penganiayaan rohani) justru dilakukan oleh hamba Tuhan dengan menggunakan jargon-jargon rohani atau istilah-istilah theologi untuk memanipulasi jemaat?
Buku ini membukakan fakta kejahatan yang paling sulit untuk dinyatakan jahat, karena yang melakukannya adalah seorang tokoh rohani/hamba Tuhan yang dianggap dekat dengan Tuhan dan dianggap sebagai standar kebenaran. Satu bentuk kejahatan yang dilakukan dengan halus namun mematikan. Tidaklah salah jika kemudian Dr. Kruger dengan berani memberikan julukan kepada hamba Tuhan yang melakukan spiritual abuse sebagai monster di dalam gereja. Dr. Kruger menggunakan kata yang cukup keras ini untuk membangunkan gereja (baik pimpinan maupun jemaat) agar sadar dan tidak melakukan pembiaran terhadap praktik spiritual abuse di dalam gereja. Hal ini menjadi menarik dan penting karena biasanya orang sungkan mengkritik hamba Tuhan di dalam gereja. Akibatnya, hamba Tuhan dapat mengeksploitasi budaya sungkan ini untuk melakukan spiritual abuse pada jemaat tanpa ada yang berani mengoreksinya. Tidak heran jika kemudian buku Bully Pulpit dinobatkan menjadi pemenang Book of the year 2022 oleh The Gospel Coalition untuk kategori buku pelayanan terbaik tahun 2022.
Spiritual abuse, sebuah istilah yang belakangan kembali banyak dibicarakan di kalangan gereja, sesungguhnya sudah banyak dibicarakan oleh Alkitab sejak awal kejatuhan manusia. Allah sendiri di dalam sepanjang Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru telah mengutuki praktik-praktik spiritual abuse yang dilakukan oleh para pemimpin agama sepanjang zaman. Sebagai contoh di dalam Perjanjian Lama, dalam Yeremia 23 kita melihat Allah memperingati para nabi dan imam dengan teguran keras, “Celakalah, para gembala yang menghancurkan dan mencerai-beraikan domba-domba milik Tuhan!” Sementara di dalam Perjanjian Baru, dalam Matius 23 Yesus juga mengkritik para pemimpin agama yang selain berlaku otoriter, juga membuat aturan yang hanya berlaku bagi jemaat namun mereka tidak mau melakukannya, “Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Mat. 23:4). Buku Bully Pulpit berusaha membahas hal yang sama dalam konteks kita hari ini.
Buku ini membahas topik spiritual abuse dari sudut pandang theologis dengan disertai berbagai contoh kasus nyata yang terjadi pada beberapa gereja di Amerika Serikat. Bagi kita, mungkin tidak asing nama-nama pendeta besar seperti: Rev. Mark Driscoll (ia memanfaatkan jabatan dan kuasanya untuk membungkam semua orang yang menentangnya), Rev. Ravi Zacharias (ia memanfaatkan jabatan dan kuasanya untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan pihak lain). Nama-nama besar dalam jajaran celebrity pastor yang memiliki karisma besar seperti contoh di atas, memiliki massa yang besar dan theologi yang kuat. Namun demikian, sangatlah disayangkan bahwa nama-nama besar ini pulalah yang telah melakukan praktik spiritual abuse dalam pelayanan. Biasanya praktik spiritual abuse ini tersembunyi di balik kalimat-kalimat seperti: “Hanya perkataan hamba Tuhanlah yang paling benar”, “Jangan mengoreksi hamba Tuhan”, “Gereja di bawah pimpinan sayalah yang paling benar”. Menariknya, walaupun contoh-contoh yang diberikan terjadi di AS, namun realitas ini dapat terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Lebih jauh lagi, Dr. Kruger membahas bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh spiritual abuse bahkan dapat melampaui kerusakan fisik (sexual abuse) dan kerusakan emosi (psychological abuse). Hal ini dapat terjadi karena di dalam spiritual abuse kerusakan yang terjadi berada pada bagian paling sentral dari diri manusia, yaitu bagian rohani dalam relasinya dengan Tuhan. Korban spiritual abuse akan mengalami guncangan iman yang sangat besar sehingga membuat seseorang meragukan gereja, meragukan kekristenan, meragukan diri, dan puncaknya meragukan Tuhan dan meninggalkan Tuhan.
Gereja perlu membuka mata, telinga, dan hatinya untuk melihat, mendengar, dan menanggapi secara serius kejahatan yang sangat besar ini. Sebagaimana Allah berduka dan murka melihat Eli serta kedua anaknya melakukan spiritual abuse di tengah-tengah umat Allah, saya percaya Allah memiliki duka dan murka yang sama dalamnya ketika gereja melakukan hal yang sama hari ini. Tuhan Yesus sendiri dua ribu tahun yang lalu telah memberikan peringatan keras di dalam Matius 23:13-15:
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk. (Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk menobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.”
Saya rasa buku ini adalah salah satu buku yang sangat baik dan berani dalam membahas tema sensitif: spiritual abuse. Siapa pun Anda, baik Anda adalah jemaat, aktivis gereja, tua-tua, maupun hamba Tuhan yang mencintai gereja Tuhan, baiklah kita tidak berdiam diri ketika menghadapi dosa spiritual abuse ini, melainkan mengupayakan agar gereja kembali menyatakan keindahan karakter Kristus, sebagaimana tercantum dalam Matius 20:25-28:
“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: ‘Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.’”
Soli Deo gloria
Vik. Diana Ruth Winoto M.Div.
Judul: Bully Pulpit: Confronting the Problem of Spiritual Abuse in the Church
Pengarang: Michael J. Kruger
Penerbit: Zondervan
Tahun: 2022
Halaman: 177