Tactics (7): Rancangan Permainan untuk Mendiskusikan Keyakinan Nilai-Nilai Kristen Anda

Pengarang : Gregory Koukl

Penerbit : Zondervan

Penerjemah : Literatur SAAT

Tahun : 2019

Halaman : 248

Bab 9: Persaingan Antarsaudara dan Infantisida

Bagian ini menjelaskan dua pemikiran yang dapat menghancurkan dirinya sendiri tanpa kontradiksi internal.

Pemikiran pertama adalah “Persaingan Antarsaudara”. Dalam pembicaraan, tidak semua orang dapat mengungkapkan pendapat dan argumentasi yang sesuai. Ada kalimat-kalimat yang terdengar aneh dan bertentangan dengan kalimat lain, bahkan tidak logis. Kita perlu menyingkapkan keanehan pemikiran dari kalimat dan pemikiran lawan bicara kita.

Contoh pertama, dialog antara orang Kristen dan orang Hindu mengenai Gandhi:

A: Apakah Gandhi di sorga?

B: Sorga akan sangat menyedihkan tanpa Gandhi.

A: Oh Tuan, Anda setidaknya perlu percaya sorga. Kelihatannya Anda telah memikirkan tentang apa yang membuat seseorang layak masuk sorga. Seperti apa orang-orang yang akan pergi ke sorga?

B: Orang-orang yang baik pergi ke sorga.

A: Apa artinya orang yang baik itu? Apa kebaikan itu? (Biasanya konsep Hindu mengajarkan bahwa baik dan buruk itu relatif, tidak ada makna yang jelas.)

A: Jika itu benar, Tuan, bahwa kebaikan itu relatif dan tidak dapat dijelaskan, bagaimana Anda bisa berpendapat bahwa Gandhi itu baik dan seharusnya berada di sorga? (Ada dua kemungkinan yang tidak mungkin keduanya benar. Kemungkinan pertama, Gandhi memenuhi suatu standar kebaikan eksternal sehingga memenuhi syarat untuk masuk sorga. Kemungkinan kedua, kebaikan itu relatif sehingga tidak ada artinya bagi siapa pun, termasuk bagi Gandhi.)

Contoh kedua, masalah kejahatan dan penderitaan manusia dikaitkan dengan Allah yang baik:

A. Mereka, yang menuduh bahwa Tuhan tidak berbuat apa-apa terhadap kejahatan di dunia dan Tuhan yang baik tidak akan membiarkannya terjadi, sering kali menolak bahwa Tuhan yang baik tidak mungkin mengirim siapa pun ke neraka.

B. Jika Tuhan bersikap netral terhadap kejahatan, kebaikan-Nya dipertanyakan. Akan tetapi jika Ia menghukum dosa, kebaikan-Nya diragukan. (Tuduhan ini hampir selalu bertentangan satu sama lain. Mereka sepasang saudara yang bersaing, salah satunya perlu menyerah, keduanya tidak bisa sama-sama digenggam.)

Pemikiran kedua adalah “Infantisida”. Koukl mengatakan bahwa bagian ini sangat sulit untuk dipahami. Dia memberikan gambaran untuk kita bayangkan: Bayangkan bila seorang ayah yang sederhana menutup sebuah surat yang ditujukan kepada putranya di sekolah dengan kalimat, “Nak, jika kamu tidak menerima surat ini, beri tahu ayah, dan ayah akan mengirim satu lagi untukmu. Ayah masih punya salinannya.” Apa yang membuat kita tertawa dengan contoh tersebut? Sang putra harus menerima dahulu surat itu supaya ia bisa meminta salinannya. Akan tetapi kalau sudah menerima surat itu, salinannya tidak perlu lagi. Hubungan ketergantungan inilah yang merupakan jantung dari infantisida.

Contoh lain, “Nada vokal tidak ada,” tidaklah kontradiktif secara internal. Namun karena kita membutuhkan nada-nada vokal untuk mengatakannya, pernyataan itu menjadi kontradiktif. Konsep orang tuanya (nada-nada vokal) memangsa anaknya (klaim bahwa tidak ada nada vokal). Inilah jenis bunuh diri infantisida. Sang anak dihancurkan oleh orang tua tempatnya bergantung.

Lalu Koukl menjelaskan kelemahan dari pemikir atheis yang mengatakan bahwa dunia itu penuh kejahatan, maka Allah tidak ada. Pertanyaannya adalah dari mana datangnya sistem penilaian moral yang memungkinkan seseorang mengenali kejahatan? Di mana standar transenden dari kebaikan objektif yang dapat membuat seluruh konsep kejahatan menjadi masuk akal? Apakah hukum moral ada secara kebetulan? Jika kebetulan ada, kenapa menaati hukum moral itu? Apa atau siapa yang menentukan bagaimana segala sesuatu itu seharusnya? Seorang ahli etika mengatakan bahwa konsep tuntutan moral tidaklah masuk akal tanpa gagasan mengenai Allah. Ironisnya, kejahatan tidak dapat membuktikan atheisme, malah justru melawannya. Persoalan kejahatan hanya akan ada jika Tuhan ada. Hanya seorang theis yang bisa memunculkan masalah itu, bukan atheis. Begitu seorang atheis mengungkapkan pemikirannya, ia langsung terjebak dalam dilema bunuh diri. Allah perlu ada supaya percakapan apa pun mengenai kejahatan bisa masuk akal.

Bab 10: Membongkar Atap

Taktik membongkar atap atau reductio ad absurdum adalah sebuah cara untuk menyatakan bahwa suatu pandangan itu menghasilkan hal yang tak terduga dan bertentangan. Koukl belajar taktik ini pertama kali dari Francis Schaeffer. Schaeffer berpendapat, “Apa pun sistem seseorang, ia harus hidup di dunia Allah.” Siapa pun yang menyangkali kebenaran dunia Allah, hidup dalam kontradiksi. Di depan orang dia bisa mengeklaim sesuatu, tetapi hatinya meyakini hal lain, karena ia tahu hal yang benar. Tanpa sadar, orang itu membangun pertahanan diri, suatu perlindungan tipuan, yaitu “atap”. Tugas orang Kristen adalah membongkar atap tersebut, menyingkap kebohongan dan rasa aman yang palsu.

Beberapa langkah taktik ini:

1. Mereduksi sudut pandang seseorang hingga ke dasar argumen, pernyataan, prinsip, atau aturan moralnya. Kita harus tahu klaim spesifik orang itu. Kita bisa bertanya kepada orang itu tentang sudut pandangnya.

2. Lakukan test drive terhadap gagasannya dengan konsisten. Jika mengikuti sudut pandangnya dengan konsisten, apakah yang akan terjadi dengan topik-topik lain? Adakah yang absurd?

3. Setelah test drive dan ternyata kita sampai pada pemahaman yang aneh, nyatakanlah, dan ajaklah orang itu mempertimbangkan untuk kembali ke titik semula. Taktik ini memaksa orang bertanya apakah mereka benar-benar bisa hidup dalam dunia yang mereka yakini.

Beberapa contoh kisah:

A. Bunda Teresa pernah memohon kepada gubernur California untuk menghentikan eksekusi pada Robert Alton Harris, yang telah melakukan dua kali pembunuhan, dengan alasan “Yesus akan mengampuni”, maka gubernur pun harus mengampuni. Jika pandangan ini terus dilanjutkan dengan konsisten, penjara akan kosong dan akan terjadi kejahatan besar. Lagi pula, Alkitab mengatakan bahwa tujuan pemerintah adalah menghukum pelaku kejahatan, bukan mengampuni. Jadi kesimpulannya adalah Yesus mungkin mengampuni pembunuh, tetapi bukan berarti pemerintah bersalah jika menghukum pembunuh.

B. Yesus yang membongkar atap argumen orang-orang Farisi di Matius 12:24-26, 28. Klaim orang Farisi adalah Yesus mengusir setan dengan kuasa setan. Yesus membongkar atap dengan kalimat, “Jika setan adalah sumber kuasa Yesus, ini berarti setan mengusir setan, dan itu menghancurkan kerajaannya sendiri.” Ini absurd. Maka kuasa Yesus tidak mungkin datang dari setan, namun datang dari Allah yang menantang setan. Mereka yang menentang Yesus tidak sedang menentang setan tetapi Allah.

C. Akhir-akhir ini orang membenarkan orientasi seksual seseorang atas pertimbangan alamiah. Kritik terhadap homoseksualitas dapat dilawan hanya dengan kalimat, “Saya lahir begini.” Argumen mereka adalah semua yang alamiah itu bermoral. Homoseksualitas itu alamiah, maka mereka yang gay bermoral. Bagaimana membongkar atapnya? Caranya adalah jika kita beranggapan bahwa kekerasan terhadap gay itu alami, orang yang melakukannya bisa dikatakan bermoral. Ini jelas salah. Maka, hanya karena suatu impuls itu alamiah, bukan berarti ia bermoral. Homoseksualitas tidak bisa dibenarkan dengan cara ini.

Vik. Nathanael Marvin Santino

Hamba Tuhan GRII Semarang

Sumber:

Tactics: Rancangan Permainan untuk Mendiskusikan Keyakinan dan Nilai-Nilai Kristen Anda, Gregory Koukl, Malang: Literatur SAAT, 2019.

– https://www.str.org/greg-koukl