The Freedom of Self-Forgetfulness

Judul asli : The Freedom of Self-Forgetfulness
Pengarang : Timothy Keller
Penerbit : 10Publishing; Edisi pertama terbit 28 Maret 2012
Bahasa : Inggris
Halaman : 48 halaman

Keller memulai buku ini dengan sebuah pertanyaan “menggelitik”, “Hati seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh orang yang percaya kepada Kristus?” Yang pasti bukan hanya kelakuan moral yang baik saja, sebab perilaku moral yang baik dapat saja terjadi ketika hati kita dipenuhi oleh perasaan takut. Karena itu, Keller memfokuskan pembahasan bukunya dari 1 Korintus 3:21-4:7[1].

Keller menjelaskan bagaimana latar belakang kota Korintus yang memang penuh dengan perpecahan. Pada mulanya jemaat didirikan oleh Paulus, tetapi kemudian digembalakan oleh Apolos, Kefas, dan berbagai penginjil lainnya yang pernah melayani di sana. Sehingga berbagai orang menjadi murid di bawah masing-masing penginjil tersebut. Akhirnya mulailah timbul perselisihan kekuasaan antara masing-masing kelompok.

Paulus di dalam suratnya menunjukkan bahwa akar dari perpecahan kelompok ini adalah harga diri dan kesombongan. Karena itu, Paulus menekankan agar mereka tidak menyombongkan dan membanggakan diri. Jemaat Korintus kemudian didorong untuk memiliki karakter yang rendah hati.

Sampai pada abad ke-20, budaya-budaya tradisional percaya bahwa terlalu memandang tinggi kepada diri sendiri merupakan akar dari segala kejahatan di dunia. Bahasa Yunani memakai istilah hubris (pride or too high view of yourself). Inilah yang dianggap sebagai alasan utama dari kejahatan dan orang tidak bisa berperilaku dengan baik. Akan tetapi, budaya Barat Modern saat ini telah mengembangkan sebuah hal yang sepenuhnya berbeda dengan budaya pada umumnya. Justru mereka berpikir kejahatan dan kesalahan perilaku berasal dari kurangnya harga diri dan karena mereka terlalu memandang diri mereka rendah. Namun Keller memberi contoh sebuah penelitian psikologi yang memberi kesimpulan bahwa orang yang memiliki harga diri yang tinggi justru memberikan sebuah ancaman lebih besar kepada orang di sekitar mereka; dibandingkan dengan orang dengan harga diri rendah dan merasa buruk terhadap diri sendiri, sikap seperti ini bukanlah menjadi sumber terbesar dan termahal dari masalah-masalah sosial yang ada.

Yang menarik dari perikop 1 Korintus ini yaitu Paulus memberikan sebuah pendekatan harga diri, sebuah pendekatan kepada diri dan bagaimana melihat diri kita, absolut berbeda, dari budaya tradisional ataupun modern. Keller mengungkapkan pada ayat 1 Korintus 4:6 bahwa pesan Paulus kepada jemaat Korintus adalah agar mereka tidak menyombongkan diri. Tetapi, ayat ini memakai kata yang berbeda dengan hubris. Kata yang digunakan adalah physioo yang tidak umum. Sangat jarang Paulus menggunakan kata ini, dan ini mengindikasikan sebuah tema khusus dari Paulus. Tema mengenai ego manusia.

Apakah physioo itu? Secara literal terjemahannya adalah terlalu membumbung (kalau bahasa populer Indonesia itu hidung terbang), atau menggelembung sampai tidak sesuai ukuran yang seharusnya. Ini memberi kita ingatan terhadap sebuah kesakitan, ketika ada bagian dari tubuh kita yang menggelembung karena terlalu banyak udara dan siap untuk meledak. Inilah yang dikatakan Paulus mengenai ego manusia. Sebuah metafora yang baik.

Keller menyimpulkan sebuah gambaran mengenai kondisi ego manusia ini ke dalam 4 aspek:

1. Kekosongan
     Ada kekosongan pada pusat dari ego manusia. Sebuah ego yang digelembungkan dan terlalu dipompa tidak memiliki apa pun pada pusatnya. Dalam buku Kierkegaard, The Sickness Unto Death, dikatakan bahwa kondisi normal dari hati manusia berdosa adalah “mencoba membuat identitas dirinya di sekitar sesuatu yang bukan Allah”. Sehingga ego manusia mencari sesuatu yang memberikannya sebuah perasaan berharga, perasaan spesial, dan sebuah tujuan, di mana ego manusia dibangun di atasnya. Pada akhirnya, ketika manusia membuat sesuatu di tempat yang seharusnya dimiliki Allah, hal tersebut akan menjadi kekacauan. Semua yang dibuat manusia akan terlalu kecil bagi tempat itu.

2. Kesakitan
     Pernahkah kita pikirkan tentang fakta bahwa kita tidak akan memberi perhatian kepada tubuh kita sampai ada sesuatu yang salah padanya? Jempol kaki ketika berjalan, siku kita bekerja dengan brilian? Tubuh kita memang demikian, kita baru akan memberi perhatian bila ada sesuatu yang salah atau sakit.

     Ego manusia sering kali menyakiti kita sebab banyak kesalahan terjadi dalam ego kita. Apakah itu? Kita selalu menarik perhatian kepada ego itu sendiri. Setiap hari ego membuat kita selalu berpikir tentang bagaimana kita terlihat dan bagaimana kita diperlakukan. Tidak jarang kita mendengar orang mengatakan bahwa perasaan mereka terluka. Namun sebenarnya perasaan kita tidak bisa terluka! Ego kita yang terluka! Pengertian kita tentang diri dan identitas kitalah yang terluka, dan yang mungkin bermasalah, sedangkan perasaan kita seharusnya baik-baik saja.

3. Kesibukan
     Ego kita menjadi sibuk karena selalu menarik perhatian kepada diri ego itu sendiri. Dia terlalu sibuk untuk mengisi kekosongan. Dia terlalu sibuk untuk mengisi dua hal khususnya: membandingkan dan menyombongkan.

     Pada buku Mere Christianity, C. S. Lewis menunjukkan bahwa natur kesombongan adalah bersifat kompetitif. Daya saing inilah yang menjadi jantung hati dari kesombongan.

Pride gets no pleasure out of having something, only out of having more of it than the next person. We say that people are proud of being rich, or clever, or good-looking, but they are not. They are proud of being richer, or cleverer, or better-looking than others. If everyone else became equally rich, or clever, or good-looking there would be nothing to be proud about.

     Keller memperoleh definisi inspiratif dari tulisan Lewis bahwa kesombongan bukan muncul dari memiliki sesuatu, melainkan memiliki sesuatu lebih dari orang lain. Nafsu mendorong pria tidur dengan wania cantik. Sedangkan kesombongan mendorong seorang pria untuk tidur dengan seorang wanita cantik hanya untuk membuktikan bahwa dia dapat melakukannya dan dapat melakukannya lebih dari pria lain. Kesombongan menghancurkan kemampuan sang pria untuk memiliki berbagai kesenangan dari wanita itu.

     Sering kali yang kita layani adalah ego kita. Kita melakukan suatu pekerjaan di mana kita tidak suka pekerjaan itu, melakukan diet di mana kita tidak suka, melakukan segala hal bukan untuk kesenangan melakukan hal tersebut, melainkan karena kita mencoba merangkai sebuah impressive curriculum vitae. Dengan membandingkan diri kita dengan orang lain dan mencoba membuat diri kita terlihat lebih baik daripada yang lain, kita sedang menyombongkan diri.

4. Kerentanan
     Sesuatu yang dipompa berlebihan berada dalam kondisi bahaya yang sebentar lagi akan kempis. Seseorang yang memiliki superiority complex dan inferiority complex pada dasarnya sama. Mereka adalah hasil dari dipompa berlebihan. Orang yang memiliki superiority complex mendekati kebahayaan kempis, dan orang yang inferiority complex sudah kempis (dia akan mengatakan pada orang lain bahwa dia benci dirinya, dan dirinya sendiri mengatakan bahwa dirinya membenci dirinya).

Paulus menjelaskan bahwa ego manusia begitu bahaya, dan dia juga menjelaskan bagaimana Injil mentransformasikan pengertian tentang harga diri, kehormatan diri, dan identitas dirinya. Ego Paulus berjalan di dalam cara yang sepenuhnya berbeda. Paulus tidak pernah menilai atau menghakimi dirinya bahwa dia adalah seseorang. Sehingga Paulus dalam perikop ini menjelaskan kepada jemaat Korintus bahwa dia tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Identitas diri Paulus tidak ditentukan dari cara mereka menilai dan mengevaluasi dirinya. Paulus tidak peduli dengan apa yang jemaat Korintus pikirkan tentang dirinya, dan dia juga tidak peduli dengan pendapat dirinya tentang dirinya. Dia menegaskan bahwa dia sadar akan dirinya tidak bersalah.

Masalahnya bukan mengabaikan standar orang lain atau meninggikan standar diri, tetapi yang lebih penting adalah tahu akan kelemahan diri, tahu akan dosa diri, tahu menyadari diri bahwa dialah yang paling hina. Inilah perkataan Paulus. Paulus katakan bahwa antara dosa dirinya dan identitas dirinya tidak saling memengaruhi. Dia menolak permainan itu. Dia tidak melihat sebuah dosa dan membiarkan dosa itu menghancurkan identitasnya. Paulus pandai untuk melihat berbagai macam dosa di dalam dirinya dan semua jenis prestasi yang telah dicapainya, tetapi menolak untuk menghubungkan hal tersebut dengan dirinya atau identitas dirinya.

Keller menasihati, kita pun tidak boleh berbeda dengan Paulus. Bila kita pikir bahwa kita buruk, maka kita tidak punya kepercayaan diri. Oleh karena itu, kita menghakimi diri sendiri. Kita membuat standar sendiri dan kemudian kita menghukum diri kita sendiri. Ego kita tidak akan pernah dipuaskan. Ego Paulus tidak dipompa, melainkan dipenuhi. Dia bicara soal kerendahan hati. Paulus telah mencapai tempat di mana egonya tidak menarik perhatian lagi kepada dirinya. Dia sudah mencapai tempat di mana dia tidak memikirkan dirinya sendiri lagi. Ketika dia lakukan sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk, dia tidak menghubungkan dengan dirinya lagi.

C. S. Lewis memberikan observasi brilian. Bila kita bertemu orang yang sungguh rendah hati, kita tidak akan pernah berpikir bahwa ketika bertemu dia, dia itu rendah hati. Orang yang memiliki kerendahan hati yang sejati adalah orang yang seberapa banyak mereka terlihat tertarik sepenuhnya kepada kita. Karena esensi dari kerendahan hati adalah tidak berpikir lebih banyak tentang dirinya atau berpikir lebih sedikit tentang dirinya. Pemikirannya adalah myself-less. Dia tidak butuh memikirkan dirinya sendiri. Dia berhenti untuk menghubungkan setiap pengalaman, setiap percakapan dengan dirinya. Faktanya yaitu saya berhenti berpikir tentang diri sendiri. Inilah the freedom of self-forgetfulness. Orang yang rendah hati bukan orang yang membenci diri atau mencintai diri, melainkan melupakan diri.

Seperti apakah orang yang melupakan diri? Sebuah ujian kecil yaitu, orang yang melupakan diri tidak akan pernah secara khusus tersakiti oleh kritik. Orang yang melupakan diri ketika dikritik, kritikan itu tidak menghancurkan mereka tetapi mereka tetap mendengarkan dan melihat apakah ada kesempatan untuk berubah melaluinya. Dengan kata lain, hidup kita benar di hadapan Allah itu harus memiliki identitas diri yang benar, tidak rendah diri, tetapi tidak sombong juga, dan melupakan diri serta tidak memikirkan tentang diri.

Paulus sudah memperoleh blessed self-forgetfulness. Bagaimana cara dia memperolehnya? Kalimat pertama, “Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan, bahkan aku tidak peduli apa yang aku pikirkan.” Paulus melihat kepada dirinya akibat penghakiman orang. Lalu kalimat kedua, “Kesadaranku jelas, tetapi itu bukan berarti membuat diriku tidak bersalah atau membenarkan dirinya.” Pada dasarnya, Paulus mencari apa yang semua orang cari yaitu keputusan ultimat bahwa kita penting dan berharga. Kita cari itu di setiap hari kehidupan kita dan kita sadari hal itu, berarti setiap hari kita dalam pencobaan. Kabar baiknya Paulus dapat lepas dari pencobaan itu. Bagaimanakah caranya? Caranya sederhana, Paulus tahu bahwa orang lain tidak bisa membenarkan dirinya dan dia tahu bahwa dia tidak bisa membenarkan dirinya. Paulus katakan, “Allahlah Hakimnya.” Hanya pendapat Allah yang jadi perhitungan dalam hidup Paulus.

Selanjutnya Keller menjelaskan bahwa kekristenan bukan ditentukan oleh prestasi. Semua agama lainnya mengajarkan bahwa prestasi menentukan penilaian. Prestasi yang baik, menentukan penilaian bahwa orang itu baik. Dalam kekristenan, Allah terlebih dahulu menilai kita baik, mengambil keputusan bahwa kita orang benar, kemudian baru kita melakukan sebuah prestasi. Allah beri penilaian, baru manusia berprestasi. Sehingga kita dapat melakukan prestasi untuk prestasi itu sendiri, bukan supaya terlihat menjadi orang yang baik, orang yang bebas, dan lain-lain. Paulus dapat keluar dari segala pencobaan, karena Kristus yang telah melalui segala pencobaan itu. Karena Kristus telah melaluinya untuk kita, maka tidak perlu khawatir lagi kita dihina orang, tidak perlu lagi khawatir diabaikan orang.

Pada bagian terakhir, Keller memberikan nasihat kepada orang yang baru tahu kekristenan dan orang yang sudah Kristen mengenai pencobaan kesombongan ini. Dia katakan kepada orang Kristen baru bahwa beberapa orang tidak mengerti perbedaan antara identitas Kristen dan identitas lainnya. Mereka akan katakan diri mereka Kristen, lalu berjuang dengan usaha sendiri untuk melakukan segala hal rohani. Pada dasarnya, identitas Kristen sejati sepenuhnya bekerja dengan cara yang berbeda dengan identitas lainnya. Identitas Kristen perlu self-forgetfulness. Sebab ini yang akan membawa kita lepas dari pencobaan kesombongan. Mungkin teori ini baru, tetapi biarlah kita semua terus mencari, melihat, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Banyak hal baru yang dapat ditemukan. Sedangkan kepada orang yang sudah lama Kristen, mungkin ternyata kesombongan ini telah dilakukan bertahun-tahun. Tetapi Keller menasihati untuk mengembalikan Injil agar hidup dalam hati kita melalui setiap waktu doa yang ada. Setiap datang ke gereja, mintalah Injil kembali menghidupkan kerohanian kita.

Terakhir, seperti yang Paulus katakan, “I don’t care what you think. I don’t even care what I think. I only care about what the Lord thinks.” Kiranya kita bisa menghidupi self-forgetfulness.

Nathanael Marvin Santino
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional

Catatan:
Keller menulis buku singkat ini bukan hanya untuk orang yang sudah familiar terhadap kekristenan, tetapi juga kepada orang yang baru menjadi Kristen. Setelah bab terakhir, Keller menuliskan beberapa refleksi dan nasihat. Dia menasihatkan untuk membaca Injil Markus agar dinyatakan kebenaran Kristus secara menyeluruh dan dapat juga menggunakan kata-kata Kitab Mazmur 139 di dalam doa. Minta Tuhan menunjukkan hati kita. Minta Dia untuk menunjukkan tempat di mana kita melihat keberhargaan diri kita dan cara mencari pengertian identitas diri yang benar.

Endnotes:
1 Korintus 3:21-4:7 – “Karena itu janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia, sebab segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, baik dunia, hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah. Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi. Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah. Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos, karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan: “Jangan melampaui yang ada tertulis,” supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain. Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?”