Bach Kantata BWV 146

Wir müssen durch viel Trübsal in das Reich Gottes eingehen (Kita harus melalui banyak kesengsaraan untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah). Karl Marx pernah mengatakan bahwa “agama adalah candu masyarakat”. Ia mengkritik dengan mengatakan bahwa agama adalah kesadaran diri dan kepercayaan diri seorang manusia yang belum bisa ia menangkan, atau sudah terlebih dahulu kalah. Agama menjadi keluh kesah dari makhluk yang tertekan, dan menjadi layaknya opium bagi makhluk yang tertekan ini.

Penggalan kalimat di atas kesannya mendukung kritikan dari Karl Marx. Agama mengajarkan kepada kita bahwa memang kita harus menderita. Kita harus sengsara di dalam dunia ini. Kita harus tertekan di dalam dunia ini. Baru setelahnya, kita akan memperoleh kebahagiaan di dalam Kerajaan Allah. Pertanyaannya, apakah penghiburan akan datangnya Kerajaan Allah ini sungguh nyata adanya, atau jangan-jangan seperti Karl Marx bilang, hanya merupakan pengharapan kosong belaka?

Johann Sebastian Bach, yang terkenal dengan kantata-kantata yang dibuatnya, menuliskan Kantata BWV 146 untuk Minggu ketiga setelah Paskah, yang disebut juga sebagai “Jubilate”. Pembacaan Injil untuk Minggu Jubilate diambil dari Yohanes 16:16-23, “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.”

Kantata ini menjadi salah satu kantata yang cukup panjang, berdurasi sekitar empat puluh menit, dan ditampilkan secara langsung, tidak dibagi dua untuk sebelum dan setelah pemberitaan firman. Sama seperti dua kantata lainnya yang dibuat untuk Minggu Jubilate, kita dapat melihat secara teks adanya pertentangan antara dukacita dan sukacita dalam kantata ini. Kalau kita mau membagi secara struktur, kantata ini terlihat seperti kita sedang berjalan mendaki piramida. Di sisi dukacita, balok paling bawah adalah choir bagian 2, lalu aria bagian 3, dan recitative bagian 4, dan pada puncak paling tingginya adalah bagian 5. Pada sisi sukacita, paralel dengan bagian 4 adalah bagian 6, lalu turun lagi ke bagian 7, dan kembali lagi ke choir bagian 8. 

Bagi yang terbiasa mendengarkan musik Bach, mungkin akan familier dengan bagian 1 dari kantata ini. Bach memakai Harpsichord Concerto in D minor BWV 1052, dan mentranskripnya untuk organ. Hal ini membuat bagian ini terdengar menjadi lebih powerful dan intense. Selain itu, dalam kantata ini, Bach juga membuat organ menjadi virtuoso soloist, di mana biasanya organ hanya menjadi bagian dari ensambel yang termasuk dalam kelompok continuo.

Masuk ke bagian 2, Bach juga masih menggunakan solo organ, namun ditambah dengan choir. Di sini Bach kembali re-use karyanya yang lain, yaitu Kantata BWV 188, yang juga ia pakai untuk salah satu violin concerto-nya. Bagian 2 ini hanya menggunakan satu kalimat: Wir müssen durch viel Trübsal in das Reich Gottes eingehen (Kita harus melalui banyak kesengsaraan untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah). Kalimat ini diambil dari Kisah Para Rasul 14, saat Paulus dan Barnabas menguatkan jemaat di Antiokhia untuk terus bertekun dalam iman. Kita juga dapat menafsirkan kalimat ini sebagai kerinduan akan kematian. Hal ini didukung dengan pulsating continuo line dan karakter tragis yang dibawa oleh melodi lagu ini. 

Walaupun bagian 2 ini merupakan adaptasi dari karya Bach lainnya, ritornello atau bagian berulang dalam musik Barok untuk orkestra ataupun paduan suara tetap dipertahankan, namun mengalami perbedaan fungsi. Melodic line yang awalnya menjadi fokus utama dalam violin concerto sekarang menjadi secondary dan dimainkan oleh organ, sedangkan choir menjadi lebih dominan. Di sini Bach berusaha memberikan makna lain dalam musiknya. Ia mengubah secular concerto ini menjadi perwujudan akan penderitaan yang tidak dapat dihindarkan, yang harus kita lalui dalam kita menuju kematian dan kebangkitan.

Berbeda dengan dua bagian sebelumnya, bagian 3 membawa nuansa yang lebih ceria, ringan, dan seperti orang menari. Pada bagian ini, Bach sedang mengekspresikan antitesis dari sukacita dan dukacita yang menjadi ide keseluruhan karya ini. Kesedihan dan kesengsaraan di dunia memang adalah bagian yang tak terhindarkan dalam kita menuju ke sorga, tetapi kita tetap dapat merasakan cicipan akan hadiah tersebut. 

Teks dari bagian ini menjadi lebih positif, di mana kita seolah mendeklarasikan kepada Sodom bahwa kita menuju ke sorga. Bach juga menggunakan modal minor setiap kali kata “Sodom” disebut. Word painting lainnya adalah interval pada bagian vokal saat menyanyikan “ich und du” (aku dan kamu, Sodom) sangatlah jauh, menggambarkan keterpisahan antara Sodom dan jiwa kita. 

Kalau kita menyimak kata-kata pada bagian 4, kita mungkin akan merasa bahwa penyair sangat menekankan self-pity. Kalimat seperti “Dengan ratap aku bangun, dengan ratap aku kembali tidur”, “dunia seolah memiliki kuasa untuk membunuh diriku”, atau “dan walau aku sudah hidup penuh keluh kesah dan kesabaran, tetap saja dunia bersuka akan penderitaanku”. Bagian 4 memang memuat teks paling panjang dalam keseluruhan kantata ini. Kalimat-kalimat self-pity ini sebenarnya sedang menekankan kerinduan akan kematian. Bagian ini dimulai dan diakhiri dengan keinginan untuk berada di sorga, “Oh andai saja sudah berada di sorga!” “Oh! Andai saja aku oh Yesusku, hari ini berada bersama-Mu di sorga!”

Di antara keinginan untuk berada di sorga, dari teks ini kita bisa melihat tangisan, desakan, kungkungan, kebencian yang membuat seseorang harus menderita. Kita pasti mengetahui bahwa life is hard. Tetapi kita juga harus mengerti bahwa memang life is meant to be hard. Bach mengekspresikan kesulitan dan tantangan hidup ini lewat melodic line yang ekspresif, tetapi juga lewat tonalitas yang terus-menerus berubah. Kalau kita membaca teks yang menyedihkan seperti ini, mungkin kita akan membayangkan akor diminished yang kesannya sangat dark dan gloomy. Namun di sini walaupun Bach secara keseluruhan menggunakan modal minor, tetapi tonalitasnya terus berganti dari G, C, F, D, F#, C, G, D. Dalam teori musik, ini disebut sebagai enharmonic change, suatu teknik yang banyak dipakai oleh komposer modern seperti Debussy, dan lainnya. 

Pada bagian 5, kesedihan dan ratapan akan penderitaan masih berlanjut, namun terselesaikan dengan sedikit lebih berpengharapan. “Aku menabur dengan air mata dan hati yang khawatir. Namun derita hati ini, pada hari panen, akan melahirkan kemuliaan,” teks yang mengingatkan kita akan Mazmur 126. Namun, teks ini menggunakan kata “melahirkan” bukan “memanen”. Kalau kita mengingat proses melahirkan, kita mengingat akan kesakitan dan kesulitan yang pasti dirasakan detik-detik sebelum melahirkan. Saat bayi tersebut sudah lahir, semua orang pasti akan turut bersukacita bersama. 

Aria bagian 5 ini diiringi oleh dua obo dan satu flute. Dibuka dengan flute (birama 1-2) dan dijawab oleh obo (birama 2-3) seperti menggambarkan penyertaan Tuhan dalam masa penuaian. Ritornello atau tema berulang dalam bagian ini menggambarkan dua ekspresi berbeda, tiga not quaver menggambarkan desahan orang yang menderita, sedangkan not semiquaver yang bergerak naik menggambarkan pencarian akan Tuhan di sorga. 

Berbeda dari bagian-bagian sebelumnya, pada bagian 6 kita sudah mendapatkan kesan lebih positif dan berpengharapan. Hal ini menyatakan kesiapan dalam memikul salib, karena kesulitan dan penderitaan ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan datang. Lebih indahnya lagi, ketika kemuliaan itu datang, dunia akan menangis dan tidak ada yang menghiburnya. Walaupun dimulai dan diakhiri dalam akor A minor, di dalam progresinya, Bach banyak menggunakan akor mayor, bertolak belakang dengan bagian 4 yang banyak menggunakan akor minor. Pada bagian tengah juga terdapat cadence C mayor, sebagai penegasan akan kemuliaan Tuhan yang akan datang.

Bagian 7 menjadi bagian paling puncak dan paling sukacita di dalam seluruh karya kantata ini. Di sini kita benar-benar dapat merasakan bagaimana pikiran akan penderitaan telah seutuhnya tergantikan ketika kita mengarahkan pandangan kita kepada ultimate rewards

Bach menggunakan kanon antara biola dan continuo, yang seperti menggambarkan kegembiraan dan kesegaran si “self” yang menderita. Continuo yang rushing seolah menggambarkan penderitaan yang draining away. Tetapi Bach membawa kita untuk tetap mengingat akan kesengsaraan hidup. Ia menggunakan beberapa akor minor di beberapa bagian, seperti pada kata-kata “Trauren”, Heulen”, dan “Geschrei”, untuk mengingatkan kita bahwa penderitaan masih akan membayang-bayangi kehidupan kita. 

Pada chorale bagian 8, sebenarnya tidak terdapat teks, hanya musik. Melodic line di sini cukup sederhana dan simetris, terdengar mirip seperti lagu “Jesus, bleibet meine Freude”. Untuk musik ini, terdapat beberapa alternatif teks yang digunakan. Alternatif teks ini sama-sama menunjukkan kegirangan ketika sampai di rumah Tuhan. 

Dilihat dari teks Kantata BWV 146 ini, dan bagaimana Bach mengarang musik untuk mendukung kata-kata tersebut, kita dibawa untuk berjalan dan melihat bahwa pengharapan akan datangnya kemuliaan Allah bukanlah pengharapan yang kosong. 

Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa Kerajaan Allah sudah dan belum datang (already but not yet). Kita percaya bahwa penderitaan di dalam dunia ini harus dilewati. Namun ini bukan berarti bahwa hidup menjadi seperti tes uji kelayakan masuk sorga: siapa yang mampu melewatinya akan masuk sorga, sedangkan siapa yang tidak mampu akan dilempar ke neraka. Kita percaya bahwa Kerajaan Allah memang belum datang, dan masih ada dosa di dalam dunia ini. Kita pun masih hidup di dalam dunia. Maka, segala penderitaan itu harus terjadi karena pasti terdapat pertentangan antara Kerajaan Allah dan dosa. Namun kita juga percaya bahwa Kerajaan Allah sudah datang, sehingga kita memiliki kekuatan untuk melewati segala penderitaan tersebut. Kalau kita berusaha menyelesaikan penderitaan ini dengan kekuatan kita sendiri, kita pasti tidak mampu melewati semuanya. Kita memerlukan Tuhan dengan segala kasih dan anugerah-Nya untuk menolong dan menarik kita keluar dari kesengsaraan ini. Namun pertolongan Tuhan yang baru setetes itu pun, masih akan disempurnakan pada kedatangan-Nya yang kedua. Di saat itulah sukacita kita akan menjadi sempurna, tanpa ada lagi bayang-bayang penderitaan, seperti yang digambarkan Bach pada bagian 7. 

Tuhan memberikan kepada kita musik dan Bach, untuk membantu kita mengerti akan sukacita dan dukacita ini. Bach membawa kita untuk menikmati dukacita kita. Ia membuat musik yang indah dan penuh makna untuk mengekspresikan dukacita tersebut. Namun tidak berhenti pada dukacita saja, Bach juga membawa kita memahami bahwa sungguh ada sukacita di balik semua penderitaan yang kita alami. Ia membawa kita memahami bahwa kita tidak perlu kabur dan melepaskan diri dari segala kesulitan, tetapi bersandar penuh pada pengharapan akan datangnya Kerajaan Allah.

Bach membawa kita memahami konsep already but not yet ini tidak sekadar dengan merasa saja. Di balik semuanya ini, kita dapat juga menganalisis konsep already but not yet ini secara teori musik.

Ini (lihat Gambar 1) adalah penggalan dari bagian 2. Kita bisa melihat not yang dilingkari di bagian atas membentuk rangkaian tangga nada mayor. Tangga nada mayor biasanya memberikan kesan lebih positif dan ceria. Di sini Bach menggunakannya untuk menggambarkan bahwa Kerajaan Allah sudah datang. Namun kalau kita melihat not lain di bawahnya, itu semua membentuk akor minor atau diminished yang membawa kesan lebih sedih, dark, dan gloomy. Akor tersebut menggambarkan Kerajaan Allah yang belum datang. 

Maka, marilah kita belajar untuk menjadi orang Kristen yang sadar bahwa pengharapan di dalam Tuhan bukanlah opium untuk membantu kita kabur dan melupakan segala penderitaan kita. Pengharapan Tuhan justru memberikan kita kekuatan untuk bertahan melewati segala penderitaan ini, bahwa anugerah Tuhan itu cukup bagi kita sekarang, dan bahkan akan disempurnakan pada saat penggenapan Kerajaan Allah. 

Eunice Girsang 

Pemudi FIRES