Gereja memang identik dengan bernyanyi. Bernyanyi menjadi bagian dari sebuah tatanan ibadah. Musik dan nyanyian termasuk di dalam liturgi sebuah ibadah. Tidak hanya pemimpin (liturgis ataupun pendeta), tetapi jemaat pun diminta untuk ikut bernyanyi. Dipikir-pikir, mengapa jemaat harus ikut bernyanyi? Mengingat beberapa kalangan ada yang percaya diri bernyanyi, ada juga yang tidak percaya diri untuk bernyanyi. Sepertinya, gereja agak “memaksa” semua orang untuk menjadi penyanyi ya?
Di hari Minggu, kita sadar bahwa sudah terlambat ke gereja, akhirnya terburu-buru. Ketika sampai, cukup lega karena ternyata belum mulai khotbah. Siapa yang pernah merasakan ini?
Sebenarnya, sikap kita ini membuktikan bahwa ibadah itu dianggap hanya khotbahnya saja. Kalau demikian, mengapa ibadah tidak khotbah saja? Mengapa harus ada tatanan cukup banyak di awal sebelum khotbah, baru kemudian pendeta naik dan menyampaikan firman Tuhan? Bahkan setelah firman Tuhan pun, masih ada urutan menyanyi lagi sampai pemberkatan dan pengutusan.
Ibadah itu merupakan sebuah rangkaian dari awal sampai akhir, jadi tidak hanya khotbah saja. Sama seperti sebuah tatanan seremonial untuk menyambut pidato presiden. Sepertinya cukup langka jika tidak ada acara penyambutan presiden, alias tidak ada arak-arakan, tidak ada salam, hanya presiden yang langsung di depan dan berbicara, kemudian say goodbye. Sebuah seremoni membutuhkan tatanan khusus untuk menyambut kedatangan presiden tersebut, baik sebelum maupun setelah pidato tersebut diungkapkan. Begitu pula dengan ibadah. Memang ibadah mempunyai fokus pada firman Tuhan, namun ibadah juga mempunyai sisi seremonial di mana elemen-elemennya merupakan bentuk dari persekutuan sebuah gereja.
Gereja merupakan tempat persekutuan antar umat Tuhan. Suatu tempat untuk bertemu, tempat untuk saling mendukung, tempat untuk melakukan satu hal secara bersama-sama, tempat untuk saling menegur dan membangun. Gereja yang melakukan ibadah memiliki sifat persekutuan. Jika hanya khotbah saja, maka sisi persekutuan tersebut telah dilupakan. Persekutuan yang dimaksud di sini bukan mengenai adanya acara coffee and tea setelah ibadah, tetapi dimulai dari awal, ketika liturgis mengatakan votum dan jemaat secara bersama-sama bernyanyi.
Bernyanyi bersama-sama merupakan suatu bentuk persekutuan, layaknya sebuah paduan suara. Ketika penyanyi dalam paduan suara bernyanyi bersama-sama, maka mereka menjadi satu entitas yang utuh. Jika ada satu suara yang lebih kencang dari yang lain, maka itu bukan paduan suara. Tetapi jika ada satu suara yang tidak harmonis dengan yang lainnya, maka dia menjadi pengganggu untuk paduan suara tersebut. Ini merupakan salah satu bentuk persekutuan di dalam suara. Jadi persekutuan tidak hanya terbatas ngobrol-ngobrol saja, tetapi penyatuan suara juga dapat dianggap sebagai persekutuan.
Perintah kedua
Dalam Sepuluh Perintah Allah, dalam perintah-Nya yang kedua dikatakan: “Jangan membuat bagimu patung”. Dalam perintah ini, Allah mengutuk penyembahan berhala. Berikut adalah penjelasan menurut Westminster Larger Catechism no. 108:
Q. 108. What are the duties required in the second commandment?
A. The duties required in the second commandment are, the receiving, observing, and keeping pure and entire, all such religious worship and ordinances as God hath instituted in his word; particularly prayer and thanksgiving in the name of Christ; the reading, preaching, and hearing of the word; the administration and receiving of the sacraments; church government and discipline; the ministry and maintenance thereof; religious fasting; swearing by the name of God, and vowing unto him: as also the disapproving, detesting, opposing, all false worship; and, according to each one’s place and calling, removing it, and all monuments of idolatry.
Westminster Larger Catechism mengatakan bahwa tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi perintah kedua adalah termasuk dalam ibadah yang benar, sesuai, murni, tidak terkorupsi, bebas dari takhayul dan rekaan manusia, intinya patuh terhadap prinsip keteraturan dan kesopanan. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa liturgi di dalam ibadah sangatlah penting dan sungguh berbahaya jika kita tidak memperhatikannya baik-baik—kesalahan beribadah dapat berarti melakukan dosa!
Tanggapan Ursinus mengenai Ibadah yang benar
Ursinus, seorang theolog Reformed Jerman pada abad ke-16 menanggapi pemahaman tentang kesalahan beribadah ini dengan memberikan tiga poin lebih lanjut perihal ibadah:
Pertama, kita tidak benar-benar menyembah Tuhan tetapi menyembah subjek yang lain ketika beribadah. Seperti kita sedang bernyanyi tetapi tidak benar-benar mengerti kata-kata yang dinyanyikan, sehingga hanya lip service saja. Ini tidak benar-benar berkomunikasi kepada Tuhan. Sama seperti ketika kita tidur dan mengigau sebuah kalimat kepada saudara kita. Kita tidak sedang berkomunikasi terhadap saudara kita, kita hanya mengigau, kita tidak fokus berbicara dengan saudara kita.
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa liturgi di dalam ibadah sangatlah penting dan sungguh berbahaya jika kita tidak memperhatikannya baik-baik—kesalahan beribadah dapat berarti melakukan dosa!
Kedua, menyembah dengan cara yang salah. Misalnya, ketika kita sudah melihat mata orang tersebut, tetapi kalimat yang dikeluarkan salah. Orang tersebut mungkin akan tersinggung atau memahami hal yang berbeda dari yang kita katakan, sehingga meskipun subjeknya jelas tetapi cara kita salah. Begitu pula dalam ibadah, kepada Allah yang benar tetapi caranya salah.
Ketiga, menyembah kepada Allah yang benar, dengan cara yang benar, tetapi hatinya tidak di situ. Ini yang disebut sebagai munafik (hypocrisy). Ini seperti yang dikatakan dalam Yesaya 29:13-14:
Dan Tuhan telah berfirman: “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan, maka sebab itu, sesungguhnya, Aku akan melakukan pula hal-hal yang ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan; hikmat orang-orangnya yang berhikmat akan hilang, dan kearifan orang-orangnya yang arif akan bersembunyi.
Dikatakan di sini bahwa orang yang munafik terlihat di luar bagus tetapi belum tentu dalamnya sesuai.
Pengalaman Yesaya sebagai inspirasi prinsip ibadah
Yesaya 6:1-9 menceritakan mengenai Yesaya yang bertemu dengan Tuhan. Pada ayat 3, ketika Yesaya bertemu dengan Tuhan, dia mendengar, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Oleh karena itu, dalam ibadah, ketika bertemu pertama kali dengan Tuhan, kita pasti memuji Tuhan.
Di ayat 5, Yesaya mengatakan, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” Ini menyatakan bahwa dalam ibadah ada pengakuan dosa yang biasanya terimplementasikan di dalam doa maupun dalam lagu yang dinyanyikan.
Pada ayat 6-7, dilanjutkan dengan Allah yang berkata-kata, disahut dengan Yesaya di ayat 8 dengan mengatakan, “Ini aku, utuslah aku!” Hal ini kita biasanya nyanyikan di lagu yang terakhir mengenai pengutusan.
Dalam konteks kita sekarang, karena kita bertemu Tuhan secara bersama-sama, maka kita juga bernyanyi bersama-sama. Ketika kita bertemu Tuhan, meskipun datang secara komunal, tetapi kita di hadapan Tuhan seperti sendiri-sendiri. Maka masing-masing individu harus memuji Tuhan secara masing-masing, tidak bisa diwakilkan. Kita juga melihat bahwa firman Tuhan itu yang menjadi utama, musik menjadi pendukung hal tersebut. Ketika kita bernyanyi, kita benar-benar memahami mengapa kita menyanyikan kata-kata tersebut di dalam satu tatanan ibadah.
Jadi, seberapa pentingkah kita bernyanyi dan membuka suara dalam ibadah di gereja? Sudahkah kita sadar bahwa musik dan nyanyian yang keluar dari mulut kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari datang beribadah bersama dengan anak-anak Tuhan lain? Artinya, kita datang secara personal untuk bersatu dengan yang lain dalam suatu persekutuan di hadapan Tuhan yang menjadi pusat ibadah kita. Kita bukan datang sekadar untuk mendengar, tetapi kita sebenarnya datang juga untuk merespons panggilan-Nya. Menyuarakan ucapan syukur kita, mengafirmasi bahwa firman-Nya benar, menyerukan pengharapan di hadirat Tuhan lewat pembacaan firman, lewat tanggapan bersahutan, lewat doa, dan tentu lewat lirik dan nada setiap nyanyian yang kita suarakan.
Oleh karena itu, dalam ibadah kita harus sadar bahwa kita secara personal datang kepada Tuhan. Bersifat individual karena kita tidak bisa nebeng orang lain untuk beribadah kepada Tuhan. Mari yuk, sekarang kita bernyanyi dengan sepenuh hati.
Catatan: Artikel ini diinspirasikan oleh khotbah Hendra Thamrin pada 28 Februari 2023.
Sarah Charista
Jemaat GRII Pusat