Living God’s Story through Culture

Hidup manusia penuh dengan cerita, baik yang kita alami sendiri maupun orang lain, baik cerita masa lalu, sekarang, maupun angan-angan masa depan, baik cerita aktual maupun imajinasi, baik cerita tragedi maupun komik, dan masih banyak lagi. Cerita-cerita tersebut pun dapat disampaikan melalui berbagai cara, seperti film, novel, sejarah, berita, gambar, musik, puisi, dan sebagainya. Manusia hidup di tengah-tengah berbagai macam cerita ini. Setiap cerita membawa sebuah makna tertentu yang akan memengaruhi kita. Rangkaian makna ini akan memiliki peran yang besar dalam membentuk identitas diri. Inilah yang membuat industri media memanfaatkannya untuk membentuk opini masyarakat. Sebaliknya, melalui media orang juga mau menyatakan dirinya.

Media adalah cara yang paling efektif untuk mengubah sekelompok orang dengan begitu banyak lalu lintas informasi, pendapat, dan cerita yang begitu marak beredar di zaman ini. Contohnya adalah salah satu film Marvel terbaru di 2018, Black Panther. Film ini menggambarkan adanya pengharapan besar dan kemajuan teknologi di bangsa berkulit hitam yang sering dipandang sebelah mata dan masih memiliki bayang-bayang akan perbudakan zaman lampau. Kebangkitan gerakan ini mereka sebut sebagai Black Panther Revolution.

Hidup kita bagaikan di persimpangan jalan; berbagai macam mobil, keramaian, simpang siur ada di hadapan kita. Berbagai macam filsafat, kepercayaan, cerita kebenaran, dan kebohongan terus-menerus silih berganti dan memengaruhi kita. Mana yang harus kita ikuti? Mana yang harus kita hindari? Cerita mana yang harus kita ikuti dan hidupi?  

Orang Kristen percaya bahwa Alkitab merupakan narasi kebenaran satu-satunya yang mendasari seluruh alam semesta. Narasi kekristenan dapat dibagi menjadi penciptaan (creation), kejatuhan (fall), penebusan (redemption), yang disertai dengan penyempurnaan (consummation). Di dalam buku Living at the Crossroads, Goheen dan Bartholomew mengatakan bahwa melihat dunia dengan kacamata Alkitab seperti kita melihat dunia melalui layar LCD yang membutuhkan warna merah, kuning, dan hijau. Gambar akan terdistorsi jika salah satu warna hilang. Begitu juga ketika kita melihat dunia ini. Jika sudut pandang kita kehilangan salah satu dari penciptaan, kejatuhan, ataupun restorasi, cara kita melihat dunia ini akan terdistorsi.

Cerita Kristen dimulai dengan pembentukan alam semesta yang dipelopori oleh Allah sendiri. Dimulai dari ketiadaan, yang Alkitab elaborasikan sebagai gelap, tidak berbentuk, dan kosong, Allah kemudian memulai kreasi-Nya dengan memunculkan terang, membentuk langit, dan tanah. Hari demi hari Dia mengisi “container” tersebut dengan berbagai macam ciptaan seperti tumbuhan, bulan, bintang, dan binatang. Pada puncaknya, Allah membuat makhluk yang mirip seperti Dia untuk melanjutkan pekerjaan-Nya, yaitu manusia. Pekerjaan apa? Melanjutkan apa yang telah Allah ciptakan, yaitu menaklukkan, menguasai bumi, dan melanjutkan jejak kemuliaan Allah di dunia ini.   

Cerita indah ini berlanjut dengan ironi ketika Adam dan Hawa tergiur dengan pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat. Pohon ini Tuhan tempatkan untuk mengingatkan status manusia sebagai ciptaan, sehingga menuntut akan ketaatan dan penyandaran penuh pada Allah. Klimaks cerita dimulai dengan munculnya sebuah karakter musuh Allah, yaitu setan. Dia mempertanyakan kebaikan Allah dan memutarbalikkan kepercayaan dengan mengatakan, “Apakah benar Allah katakan seperti itu?” Setan, si penantang Allah itu, juga memberikan alternatif, “Sesungguhnya matamu akan terbuka, kamu tidak akan mati, dan kamu akan menjadi seperti Allah.”

Setelah peristiwa kejatuhan tersebut, seluruh alam (tidak hanya manusia) ikut tercemar. Ini adalah sifat dosa: ominous crescendo,yaitu bergema di setiap ranah kehidupan manusia.[1] Akhirnya segala yang baik terpolusi oleh dosa menjadi sesuatu yang tidak baik: pekerjaan yang menjadi hal yang menyengsarakan (3:17), persaudaraan yang saling membenci (4:8), pernikahan yang disalahgunakan (4:19), serta puisi yang dipakai sebagai perayaan pembunuhan dan balas dendam (4:23). Saking jahatnya manusia, Tuhan mengirimkan air bah untuk menghabiskan manusia (6:5-7). Meskipun begitu, air tidak menghapuskan keberdosaan hati manusia yang paling dalam. Puncak dari cerita ini adalah ketika di Menara Babel kerusakan dosa sudah memutarbalikkan arah komunikasi, arsitektur, urbanisasi, dan agama.[2] Dosa telah merusak sampai ke sumsum tulang. Apa pun yang dilakukan menjadi hal yang rusak dan tidak berguna.

Cerita tidak diakhiri dengan kekecewaan. Cerita kekristenan dilanjutkan dengan sebuah pengharapan. Alkitab sudah memberikan spoiler-nya bahwa ciptaan yang baik (dahulu) itu akan kembali. Sebelum masuk ke episode itu, Alkitab menyatakan bahwa ada seorang tokoh kunci yang meyakinkan bahwa spoiler tersebut pasti akan terjadi. Tokoh tersebut adalah Tuhan Yesus yang dikirim ke dunia untuk membayar semua hukuman dari murka Tuhan akan dosa dengan cara mati di atas kayu salib. Tidak berhenti sampai di situ, Tuhan Yesus juga bangkit, menandakan restorasi ciptaan yang pasti akan terjadi.   

Cerita yang Alkitab sajikan ini menjadi dasar untuk perilaku kita. Pertama, kita belajar untuk bekerja mengembangkan dunia ini seperti cara Allah menciptakan dan menjaga dunia ini – yang berlimpah dan terus berkembang (luxuriant and thriving).[3] Pekerjaan manusia ini sering disebut shalom dalam kitab nabi-nabi Perjanjian Lama. “Shalom” di sini bukan hanya sekadar mencari kedamaian dan menghindari konflik, tetapi penuh kelimpahan dan berkembang dengan berkarakter adil, kasih, syukur, dan sukacita.[4] Kedua, kejatuhan membuat kita sadar bahwa baik dalam diri kita maupun luar diri kita sudah rusak. Tetapi adanya restorasi dalam ciptaan oleh Tuhan Yesus membuat kita bisa bangkit untuk melakukan hal yang benar.

Masalahnya, yang kita hadapi tidak semudah yang kita baca. Kita dikelilingi oleh berbagai macam budaya dan kesenian yang menyampaikan cerita tertentu. Kita sering kali tidak sadar sudah dipengaruhi olehnya. Sedangkan di sisi lain, warisan kekristenan banyak yang sudah dimuseumkan dan tidak dikembangkan lagi. Suaranya meredup oleh kebisingan cerita-cerita dunia yang menyeleweng dari kebenaran. Pengaruh itu benar-benar menyerap sampai ke dalam sumsum tulang kita sehingga kita tidak merasa aneh lagi. Cerita yang membawa kepada keputusasaan, kesia-siaan hidup, dan berpegang pada kesementaraan, itulah yang memenuhi hidup kita.

Lalu bagaimana caranya kita bisa hidup? Tidak dapat dipungkiri keberadaan dunia ini Tuhan tetapkan untuk menjadi tempat tinggal kita. Berikut ada beberapa macam reaksi orang Kristen menghadapi bahaya yang terjadi dari budaya sekitar.

Pertama adalah grace against nature: Dosa telah merusak realm alam sehingga tidak lagi baik. Mereka percaya bahwa keselamatan yang diberikan Tuhan justru membawa mereka keluar dari natur yang rusak ini. Konsekuensinya adalah nostalgic medieval, di mana kita kembali hidup seperti biarawan Abad Pertengahan yang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia luar. “Good Christians escape from the world”, itulah semboyan mereka. Pemikiran ini baik dalam hal menekankan efek dosa yang perlu ditanggapi secara serius. Akan tetapi, penekanan terhadap efek dosa seperti ini (keluar dari dunia) membuat kekristenan sulit menjadi berkat bagi dunia karena mereka melepaskan kehidupannya dari relasi dengan orang dunia yang memerlukan anugerah keselamatan. Inilah penyimpangannya.

Kedua adalah grace above nature: Grace bersifat supernatural, di atas dari alam. Pemikiran ini diambil dari Thomas Aquinas yang dapat dianalogikan seperti dua lantai. Lantai atas adalah semua yang bersifat rohani seperti keselamatan, gereja, penyembahan, theologi, dan lainnya, sedangkan lantai bawah adalah segala kegiatan yang non-religious, seperti belajar fisika dan biologi yang tidak dipengaruhi oleh keselamatan. Alhasil, kita tidak perlu membawa Alkitab ketika belajar biologi. Ketika naik ke “lantai atas” kita baru membawa Alkitab. Sikap positif pemikiran ini adalah melihat masih adanya hal baik di dalam dunia berdosa ini. Penyesatannya yaitu ketika tidak melihat keseriusan dosa yang berakibat fatal terhadap lingkup “lantai bawah”. Mereka tidak percaya bahwa dosa itu merusak secara keseluruhan baik lantai atas maupun bawah.

Ketiga adalah grace alongside nature:Pemahaman ini dikenal dengan “two kingdoms” oleh Luther. Keselamatan dan alam berada dalam dua realm yang berbeda secara paralel–kerajaan spiritual dan kerajaan alam. Allah berkuasa atas dua kerajaan tersebut tetapi dengan cara yang berbeda. Dalam kerajaan spiritual, Allah lebih bekerja dalam aspek keselamatan. Dalam kerajaan alam, Allah bekerja lewat wahyu umum dan anugerah umum. Kelemahan dari pemikiran ini adalah merendahkan kekuatan dosa dan gagal membawa pekerjaan keselamatan untuk masuk ke dalam tiap realm.

Keempat adalah grace restores nature: Injil keselamatan masuk (infuse) ke dalam ciptaan sehingga dapat merestorasi dari dalam. Ciptaan pada dasarnya adalah baik meskipun memang ada peperangan antara kerajaan Tuhan dan kerajaan setan. Ciptaan dianalogikan seperti bayi yang baru lahir, yang dalam kondisi baik dan bisa berkembang. Bayi tersebut tidak imun terhadap penyakit sehingga suatu hari dia juga akan terkena penyakit. Tetapi ketika penyakit itu datang, yang kita lakukan adalah bukan membunuh anak tersebut, atau memutarbalikkan waktu ke masa dia bayi, tetapi mencari obat untuk menyembuhkan penyakitnya.

Cerita apakah yang memengaruhi kita? Biarlah narasi yang Allah sudah berikan dalam Alkitab lebih menguasai kita dibanding narasi dalam dunia ini. Kita harus pintar-pintar memilah baik apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, maupun dengan siapa kita berelasi, karena itu semua membawa narasi tertentu yang belum tentu satu garis dengan narasi Alkitab. Tidak berhenti sampai di situ, kita justru harus terjun untuk membuat Injil keselamatan tersebut nyata di dalam bidang kita. Kita belajar menjadi berkat untuk sesama kita. Kita usahakan keadilan dalam etika hidup. Puisi yang kita karang, lagu yang kita nyanyikan, gambar yang kita buat, film yang kita produksi, semuanya itu menyatakan prinsip yang Allah perintahkan untuk kita kerjakan, yaitu membawa semuanya yang berkarakter adil, kasih, penuh ucapan syukur, dan sukacita di dalam Tuhan.

Dalam gerakan ini, kita belajar untuk mengondisikan keadaan sekitar kita dengan prinsip kekristenan, seperti lagu yang indah, lukisan yang berbobot, etika yang baik, analisis yang bertanggung jawab, kepercayaan yang berdasar, dan lainnya. Maka itu, marilah kita mulai mencemplungkan diri kita ke dalam kondisi lingkungan seperti ini dengan ikut dalam pelayanan, menonton konser yang baik, pergi ke museum, memiliki komunitas untuk belajar dan bertumbuh, sampai mengembangkan fakultas masing-masing secara bertanggung jawab.

Perjalanan ini tidaklah mudah karena kita akan berhadapan dengan dosa yang merintangi di dalam hidup kita. Tetapi anugerah keselamatan yang Tuhan berikan dan menjadikan kita ciptaan baru membuat kita justru harus makin terlibat di dalam dunia ini. “The kind of critique of culture we need must engage believers at all levels of the church with a view to challenging their unexamined assumptions concerning culture matters, quickening their interest in this subject, and shaping their involvement with culture in a manner more consistent with the kingdom of righteousness, peace, and joy in the Holy Spirit.”[5]

Christians are recalled to be conscious of serving the interest of Christ and to demonstrate the reality of the kingdom of glory. Soli Deo gloria.

Sarah Charista
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] Cornelius Platinga Jr., Not the Way It’s Supposed to Be: A Breviary of Sin (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 30.
[2] Albert M. Wolters, Creation Regained: Biblical Basic for a Reformational Worldview, (Grand Rapids: Eerdmans, 2005), 53-68.
[3] Nicolas Wolterstorff, Education for Shalom: Essays on Christian Higher Education (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 23.
[4] Platinga, 10.
[5] Michael Goheen and Craig Bartholomew, Living at the Crossroads: An Introduction to Christian Worldview, (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 148.