Siswa A: Eh, kamu udah belajar buat ujian fisika besok?
Siswa B: Udah sih, tapi gue cuma hafal rumus, yang penting lulus ajalah.
Itulah sepenggal percakapan 2 siswa SMA yang hanya sekadar menghafal rumus fisika ketika ujian. Kejadian ini biasa terjadi oleh sebagian besar siswa SMA. Apalagi para mahasiswa, pasti sangat mengingat betul percakapan tersebut. Sebagai mahasiswa, kita sering melihat rumus fisika hanya sebatas rumus saja. Usaha untuk mengerti fisika hanyalah bentuk keterpaksaan agar bisa sesegera mungkin lulus dan berkuliah di bidang non-sains. Padahal di balik rumus fisika yang ‘aneh-aneh’ itu, ada kemuliaan Tuhan yang dinyatakan melalui rumus itu. Dosa yang menjadi penyebab utama mengapa kita sulit melihat kemuliaan Tuhan di dalam rumus fisika.
Perpecahan antara Sains dan Allah
Permasalahan yang membuat kita sulit melihat keindahan Tuhan di dalam fisika, salah satunya yaitu pandangan dualisme antara sains dan agama. Belajar sains dan mengerjakan soal ujian tidak ada kaitannya sama sekali dengan ibadah kepada Tuhan. Sehingga seolah-olah kehidupan rohani hanya sekadar ibadah di gereja. Sedangkan menyelesaikan ujian fisika adalah pekerjaan yang tidak ada rohaninya sama sekali.
Tapi, apakah betul sains dan agama itu saling bertentangan? Atau sebenarnya ada hal yang lebih mendasar daripada itu? Menurut Merriam-Webster, “Science is knowledge about or study of the natural world based in facts learned thorugh experiment and observation”[1]. Kata “experiment” dan “observation” memberi arti bahwa ada tindakan respons manusia terhadap alam dalam bentuk pengetahuan dan pembelajaran. Sedangkan agama adalah suatu bentuk ekspresi atau respons manusia terhadap adanya suatu pribadi ilahi yang mereka sadari keberadaan-Nya dan harus tunduk pada-Nya.
Jika kita bandingkan antara kedua definisi di atas, maka ada satu kesamaan yaitu adanya respons manusia terhadap sesuatu. Padahal manusia adalah makhluk yang terbatas dan bisa salah dalam berespons. Sehingga menjadi sangat wajar jika terjadi benturan antara sains dan agama. Yang menjadi masalah utama adalah adanya usaha untuk mempertentangkan antara alam ciptaan dan Allah. Umumnya pertentangan itu terjadi akibat perbedaan cara pandang (worldview). Yang satu berpandangan bahwa tidak ada kaitan antara dunia materi (alam) dan ilahi. Sedangkan Alkitab berkata bahwa dunia ini adalah ciptaan Tuhan dan dikatakan baik oleh Allah (Kej. 1:31a[2]). Bagi manusia dunia materi hanyalah sesuatu yang bersifat jahat dan mengikat manusia pada kejahatan. Sedangkan sesuatu yang baik dan suci hanya ada di dunia yang bersifat ilahi. Sehingga dualisme terjadi akibat adanya worldview yang memisahkan antara dunia materi dan dunia ilahi.
Pertentangan antara dunia materi dan ilahi merupakan pemikiran yang berasal dari Plato. Bagi Plato dunia ide/ilahi adalah sesuatu yang bersifat rasional, baik, dan harmonis. Materi adalah sesuatu yang jahat, tidak beraturan, dan kacau. Sehingga ini menjadi dasar pemikiran dualisme bahwa dunia ide tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi atau alam ciptaan. Kemudian, pertentangan ini menjadi semakin jelas pada pemikiran Aquinas. Ia berpendapat bahwa keadaan “natur yang murni” (alam) harus dilengkapi oleh keadaan anugerah yang ditambahkan (superadditum).[3] Tapi pernyataan tersebut masih kurang dilengkapi dengan penjelasan bagaimana interaksi antara alam dan anugerah yang supranatural. Sehingga orang-orang Katolik setelah Aquinas cenderung berbicara tentang hidup manusia yang mempunyai dua tujuan yang berbeda: satu yang duniawi dan satu yang sorgawi.
Pemikiran dualisme semakin memuncak ketika munculnya pemikiran teori evolusi. Jika ditelusuri lebih lanjut teori evolusi tidak hanya sekadar teori di bidang sains, tapi ada makna filosofis di dalam dasar pemikirannya. Filosofi teori evolusi biasa disebut juga sebagai Darwinisme. Pandangan ini memberikan jawaban alternatif terhadap 3 pertanyaan utama mengenai agama yaitu asal usul dunia, tujuan hidup, dan makna realitas. Hal ini sangat unik karena seolah-olah darwinisme telah menjadi agama baru yang sangat bertentangan dengan kekristenan. Di saat bersamaan kekristenan juga telah semakin kendor di dalam hal membangun intelektualitas Kristen. Jonathan Edwards pernah berkata, “Masyarakat kita lebih memerlukan hati mereka disentuh daripada kepala mereka diisi”.[4] Perkataan Jonathan Edwards berkait dengan konteks terjadinya perpecahan antara 2 kubu kekristenan di Amerika. Kubu yang satu menghendaki kehidupan spiritual yang bersifat emosional, sedangkan kubu yang lain menekankan kehidupan spiritual berlandaskan pemahaman theologis.
Munculnya teori evolusi dan kemunduran intelektualitas Kristen semakin membuat jurang yang dalam antara sains dan Allah. Kekristenan menutup mata terhadap keindahan Allah di dalam sains. Dan di saat bersamaan orang-orang dunia membuat sains yang sangat tidak berkaitan dengan Allah. Pandangan ini pun juga menyebar di antara orang-orang Kristen di Indonesia. Bagi mereka menjadi Kristen hanya cukup berbuat baik, rajin beribadah, dan rajin melayani. Tapi belajar di sekolah, kuliah di universitas, dan bekerja hanyalah kegiatan yang sama saja dengan yang dilakukan oleh orang nonKristen. Tidak ada unsur spiritual di dalam kegiatan tersebut. Sehingga sulit bagi orang Kristen untuk menumbuhkan spiritualitas mereka melalui melihat keindahan Tuhan di dalam sains.
Kaitan antara Sains dan Allah
Bagaimanakah Alkitab menghadapi dualisme ini? Apakah benar bahwa Allah hanya sampai di dalam urusan penciptaan, sedangkan sains adalah urusannya manusia? Seolah-olah pengembangan sains bisa berdiri sendiri tanpa kehadiran Allah. Tapi firman Tuhan berkata lain, bahwa sains harus tunduk di hadapan Tuhan seperti manusia pun harus tunduk pada Penciptanya. Sains adalah produk manusia yang masih bisa salah. Sehingga ketika manusia memberontak kepada Allah, maka pasti sains yang dikembangkan juga akan melawan Allah. Begitu pula sebaliknya, orang Kristen yang taat akan mengembangkan sains dengan pandangan yang berbeda.
Tapi, Alkitab berkata bahwa ada kesinambungan antara alam ciptaan dan Allah. Karena kita percaya bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Hal itu secara eksplisit tertulis di Kitab Kejadian. Lalu apa yang bisa mengaitkan antara alam ciptaan seperti sains dan Allah itu sendiri? Alkitab berkata bahwa kemuliaan dan keindahan Allah hadir di dalam alam ciptaan melalui sifat-sifat-Nya. Bahkan Ia merepresentasikan sifat-Nya itu melalui peristiwa-peristiwa alam. Mazmur 19:2[5] dengan sangat jelas menggambarkan kemuliaan Allah yang bisa dilihat melalui ciptaan-Nya.
Maka dari itu, ini membuktikan bahwa ada keterkaitan langsung antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Sang Pencipta yaitu Allah, tidak mencipta dengan sembarangan. Ada hikmat dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam ciptaan-Nya, terutama melalui sains. Pernyataan ini bukan hanya dimiliki oleh orang Kristen, tapi harus diterima oleh semua orang. Bahkan seorang atheis pun harus tetap percaya bahwa ada sifat-sifat Allah yang terlihat di dalam mekanisme hukum alam. Poythress memberikan contoh seorang filsuf Vedantic Hindu yang beranggapan bahwa dunia ini adalah ilusi.[6] Argumen ini menjadi tidak konsisten ketika ia harus menyeberang jalan yang penuh dengan kendaraan. Ia tetap harus mengasumsikan bahwa kendaraan itu nyata untuk ia tetap bisa menyeberang jalan. Sehingga semua orang secara sadar atau tidak sadar harus percaya sains bisa berkembang karena adanya sifat-sifat Allah yang memungkinkan itu terjadi.
Regularity
Setidak-tidaknya ada 4 sifat Allah yang sangat terlihat jelas ada di dalam prinsip-prinsip sains. Pertama, asumsi adanya sifat keteraturan (regularity) atau konstan di dalam hukum alam. Tanpa adanya keteraturan ini tidak mungkin seorang ilmuwan bisa menyatakan suatu teori atau hukum fisika tertentu. Contohnya, ketika matahari terbit dari timur ke barat. Itu adalah peristiwa biasa yang kita alami sehari-hari. Kejadian itu selalu teratur dari hari ke hari maupun dari tahun ke tahun. Manusia menyadari adanya keteraturan tersebut, maka dibuatlah sistem kalender. Bahkan terbentuknya Stonehenge yang sudah ada sejak 3000-2000 SM,[7] bisa dibangun karena prinsip keteraturan posisi dan arah terbitnya matahari. Sifat ini sangat berkait erat dengan sifat Allah yang setia dan berkomitmen penuh pada janji-Nya. Kejadian 8:22[8] menjelaskan bagaimana firman-Nya menopang keteraturan pada hukum alam. Sehingga tidak mungkin ada peristiwa alam yang terjadi di luar keteraturan-Nya (Mzm. 104:20[9], Mzm. 104:14[10]).
Eternity and Omnipresence
Kedua, kita percaya bahwa Allah kita adalah Allah yang Mahahadir (omnipresence) dan kekal (eternity). Kedua atribut ini menggambarkan bagaimana Allah tidak terikat oleh tempat (space) dan waktu (time). Kedua sifat ini sangat terlihat jelas pada hukum-hukum fisika yang ditemukan para ilmuwan. Sifat Allah ini menggambarkan adanya unsur universalitas pada hukum-hukum fisika.[11] Fenomena apel jatuh ke bawah dilihat Newton pada tahun 1600-an, masih tetap jatuh ke bawah pada tahun 2015. Atau pesawat yang terbang dari Jakarta-Tokyo, tidak mungkin selama perjalanan ada pemberitahuan bahwa tiba-tiba hukum fisikanya berubah mendadak. Oleh karena itu, menjadi nyata bahwa sifat Allah yang melintasi ruang dan waktu juga ada di dalam atribut hukum-hukum alam.
Personal Character
Ketiga, hukum-hukum fisika pasti berasal dari pemberi hukum yang memiliki karakter personal. Hal ini disebabkan oleh permulaan hukum fisika itu sendiri yang tidak mungkin ada secara tiba-tiba. Yang namanya hukum, pasti berasal dari pemberi hukum itu sendiri. Sehingga hukum pada fisika maupun sains lainya ada karena Sang Pemberi hukum yang bersifat personal. Siapakah Sang Pemberi hukum itu? Tidak ada pilihan lain, hanya Allah yang berpribadi yang bisa menyatakan adanya hukum fisika pada ciptaan-Nya. Selain itu para saintis juga sangat percaya akan adanya sifat rasional pada hukum fisika. Bagi Poythress rasionalitas tidak mungkin dimiliki oleh batu, pohon, dan ciptaan lainnya, melainkan hanya dimiliki oleh pribadi.[12] Sehingga hukum alam tidak mungkin muncul dari dirinya sendiri, tapi pasti berasal dari sesuatu yang personal, yaitu Allah sebagai Sang Pencipta.
The Beauty of God
Keempat, adanya sifat keindahan sejati di dalam diri Allah. Bukankah di dalam Alkitab tertulis bahwa Allah menyatakan diri-Nya melalui bentuk yang indah? Seperti keindahan rancangan kemah suci, nyanyian mazmur yang begitu indah, hingga bagaimana Tuhan Yesus menyampaikan hikmat dalam bentuk perumpamaan yang elegan. Bahkan Allah di dalam merancang kemah suci tidak hanya memerhatikan secara visual, tapi juga dari sisi kesederhanaan (simplicity) bentuk geometrinya.
Coba perhatikan ilustrasi di samping. Kita bisa melihat adanya bentuk yang simetris dan sederhana.[13] Panjang dan lebarnya sama-sama sebesar 10 hasta (cubits) pada bagian ruang Mahakudus (Most Holy). Sehingga jika ini dikaitkan dengan penciptaan alam semesta, keindahan Allah tidak hanya hadir dalam bentuk visual, tapi juga dalam bentuk yang simpel dan elegan pada rumus-rumus fisika. Seperti hukum mekanika Newton, F = ma ataupun rumus Einstein E = mc2. Kedua rumus matematika ini menjadi begitu indah karena mampu menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia fisik. Bukankah ini suatu bentuk harmoni antara prinsip matematika dan proses fisik yang terjadi. Suatu prinsip harmoni yang juga ada di dalam antarpribadi Allah Tritunggal. Sehingga antara sains dan Allah tidak dapat dipisahkan terutama dalam hal keindahan.
Beauty and Simplicity in Newton’s Laws
Setelah memahami bagaimana sifat-sifat Allah hadir di dalam hukum-hukum alam, maka sekarang kita akan melihat lebih detail keunikan dan keindahan pada rumus fisika. Kita akan mengambil contoh hukum fisika yang sangat terkenal yaitu hukum mekanika Newton. Salah satunya adalah hukum yang ke-2 dari 3 hukum mekanika Newton berbunyi seperti ini, “Perubahan gerak (percepatan) adalah proporsional terhadap gaya yang bekerja; dan berada pada garis lurus terhadap gaya itu bekerja.”[14]
Hukum II Newton ini juga bisa ditulis dalam bentuk rumus di bawah ini.
F = ma
Yang mana F adalah gaya (force), m adalah massa (mass) dan a adalah percepatan (acceleration). Jikalau dilihat baik-baik, ternyata rumus yang diformulasikan oleh Newton sangat elegan (Elegance), indah (Beauty), sederhana (Simplicity), dan proporsional (proportionality).[15] Disebut demikian karena satu rumus yang sederhana itu mampu merangkum segala permasalahan fisika yang kita lihat saat ini. Pergerakan fisika yang terjadi di dunia bisa dijelaskan secara sederhana oleh rumus tersebut. Coba bayangkan benda-benda yang bergerak seperti mobil yang menelusuri jalanan, burung yang terbang di langit, dan berlari di pagi hari. Bukankah itu gerakan dengan kecepatan yang kadang bisa cepat dan bisa lambat? Ketika kita berlari, ada saatnya kita mampu terus menambah kecepatan. Tapi, ada saatnya kecepatan lari kita semakin lambat. Ini terjadi karena ada gaya yang kita kerahkan dalam tubuh kita melalui otot-otot kaki. Gaya inilah yang menghasilkan suatu percepatan pada saat kita berlari.
Ini berarti hukum II Newton sangat mencerminkan sifat-sifat Allah dalam hal keteraturan, maupun sifat yang melampaui waktu dan ruang. Teratur karena hukum ini tetap berlaku walaupun umurnya sudah ratusan tahun. Universal karena bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Tidak ada cerita bahwa hukum ini hanya berlaku di Eropa, sedangkan di Asia ada hukum tersendiri. Atau saat kapan pun kita berlari, pasti tetap berlaku adanya hukum II Newton. Bagi Poythress ini mengindikasikan anugerah Allah bagi manusia. Suatu hukum yang sangat sederhana untuk dipahami dan indah di dalam kesederhanaannya. Bahkan, hukum ini sudah diperkenalkan sejak SMP karena sifatnya yang simpel dan aplikatif.
Salah satu hukum penting lainnya yang ditemukan oleh Newton adalah hukum gaya gravitasi. Hukum ini bermaksud untuk menjelaskan gaya gravitasi[16] yang terjadi antara benda-benda langit (bumi, matahari, planet, dan lain-lain). Rumus gaya gravitasinya adalah seperti berikut.
F = GMm/r2
Yang mana F adalah gaya gravitasi, M adalah massa Bumi, m adalah massa Bulan, G adalah konstanta gravitasi, dan r adalah jarak antara Bumi dan Bulan. Sekali lagi, kita melihat ada sifat proporsionalitas di dalam rumus tersebut. Gaya F proporsional terhadap M, proporsional terhadap m dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak r. Proporsionalitas ini menggambarkan bagaimana mudah dan sederhananya rumus ini, sama seperti halnya dengan hukum II Newton sebelumnya. Tapi kesederhanaan ini mampu menjawab fenomena besar yang terjadi di tata surya kita. Inilah keindahan hukum gravitasi ini yang ditemukan oleh Newton. Sistem yang besar, tapi bisa disederhanakan dengan hukum tersebut.
Selain itu, masih ada satu lagi simplifikasi yang sangat unik. Bahwa ukuran bumi dan bulan yang sangat besar, bisa diasumsikan sebagai titik saja saat menggunakan rumus tersebut. Hal ini dikarenakan gaya gravitasi yang bekerja pada massa yang berbentuk bulat sama besarnya dengan massa yang terkonsentrasi pada 1 titik. Hal ini semakin menyederhanakan persoalan dalam memahami sistem interaksi antarbenda langit. Bahkan Poythress berkata, “Here we see another happy simplification that God’s rule over the world has provided for us.”
Signifikansi bagi Hidup Kita sebagai Orang Kristen
Melalui artikel ini, ada 2 signifikansi penting yang mesti kita cermati sebagai orang Kristen. Pertama, kita perlu kembali mengevaluasi diri kita dalam memandang ciptaan. Bukan hanya sekadar di dalam memandang sains, tapi juga seluruh aspek hidup kita. Sering kali hidup kita tidak sungguh-sungguh mencerminkan orang Kristen. Hidup kita sering terfragmentasi dengan pembeda antara rohani dan sekuler. Seolah-olah pelayanan di gereja lebih bisa terasa dekat dengan Tuhan, dibandingkan belajar sains. Bahkan kita mengganggap remeh orang-orang yang fokus belajar sains seolah-seolah sama seperti orang-orang sekuler.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan Allah yang kita kenal. Allah dengan begitu sempurna menyatakan keindahan diri-Nya di dalam ciptaan. Bahkan di dalam sains, yang adalah penemuan manusia berdosa, tetap ada sebagian kecil keindahan Allah di dalam-Nya. Apalagi terhadap bidang-bidang lainnya yang langsung berhubungan dengan manusia. Ada psikologi, pendidikan, politik, pemerintahan, dan ekonomi. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Ciptaan yang paling bernilai dan paling indah dibandingkan seluruh ciptaan (Mzm. 8:1-10). Hal ini seharusnya semakin menggerakkan kita bagaimana melihat keindahan Allah di dalam seluruh bidang hidup manusia.
Signifikansi kedua yaitu kasih Allah begitu besar sehingga Ia rela menyatakan kemuliaan dan keindahan-Nya di dalam ciptaan. Konsep ini direspons dengan tepat oleh para ilmuwan Kristen. Sehingga mereka bisa merumuskan hukum-hukum sains yang tetap konsisten mencerminkan keindahan dari Allah. Hal ini terjadi karena pada saat itu kekristenan dan sains selaras dan seirama di dalam mengkaitkan antara Allah dan sains. Sains dikembangkan sebagai bentuk pujian dan kekaguman akan adanya hikmat, kebijaksanaan, dan keindahan di dalam tatanan ciptaan Allah. Nancy berkata, “Para cendekiawan yang begitu beragam seperti Copernicus, Kepler, Newton, Boyle, Galileo, Harvey, dan Ray, merasa terpanggil untuk menggunakan karunia ilmiah mereka sebagai pujian kepada Tuhan dan pelayanan bagi umat manusia.”[17]
Kesimpulan
Jadi, marilah kita mengubah paradigma kita dalam memandang sains, bukan lagi sebagai sesuatu yang rumit dan membosankan. Tapi coba melihat keindahan Allah di dalam sains. Bukan berarti hal tersebut bisa menghindarkan kita dari kesulitan mengerjakan soal-soal ujian. Tapi setidaknya kita bisa tetap menghargai anugerah umum yang Allah berikan melalui sains. Anugerah untuk bisa menikmati keindahan dan kebaikan Allah. Hal ini membuat kita semakin diberkati karena kita bisa melihat keindahan Allah dengan begitu limpah; melalui sains sebagai respons dari wahyu umum, dan Alkitab – wahyu khusus – sebagai kacamata dalam menginterpretasikan wahyu umum, serta menghakimi sains yang diciptakan atau dikembangkan oleh manusia, entah itu benar adanya karena sesuai dengan wahyu umum Allah atau salah karena adanya penyesatan (ketidakbenaran) di dalamnya.
Trisfianto Prasetio
Pemuda GRII Bandung
Endnotes:
[1] science diakses pada tanggal 9 Februari 2015.
[2] Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kej. 1:31a).
[3] Pearcey, Nancy. 2013. Kebenaran Total. Penerbit Momentum: Jakarta. Hlm. 80.
[4] Ibid Hlm. 289.
[5] Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya (Mzm. 19:2).
[6] Poythress, Vern. 2006. Redeeming Science. Crossway Books: USA. Hlm. 13.
[7] “Stonehenge”. Stonehenge diakses pada tanggal 10 Februari 2015.
[8] Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti muism menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam (Kej. 8:22).
[9] Apabila Engkau mendatangkan gelap, maka hari pun malamlah; ketika itulah bergerak segala binatang hutan (Mzm. 104:20).
[10] Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia (Mzm. 104:14).
[11] Walaupun pada beberapa kasus khusus seperti hukum Newton tidak benar-benar universal akibat ketidakcocokan ketika menghadapi partikel yang sangat kecil (elektron dan proton) dan kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Tapi ini tidak menghilangkan secara total sifat universalitas pada hukum ini karena pada batasan-batasan tertentu (massa yang besar dan kecepatan yang rendah) hukum ini masih sangat akurat.
[12] Poythress, Vern. 2006. Redeeming Science. Crossway Books: USA. Hlm. 20.
[13] Ibid. Hlm. 318.
[14] Versi bahasa Inggris “The alteration of motion is ever proportional to the motive force impressed; and is made in the direction of the right line in which that force is impressed.” Ibid. Hlm. 293.
[15] Ibid. Hlm. 299.
[16] Gaya gravitasi adalah gaya tarik-menarik antara satu objek dan objek lainnya. Semakin besar massa objek, semakin besar pula gaya gravitasinya. Ini alasan mengapa batu yang dilempar ke atas pasti jatuh ke bawah.
[17] Pearcey, Nancy. Kebenaran Total. Penerbit Momentum: Jakarta. Hlm. 164.