Komik Jepang, atau dalam bahasa aslinya, manga, adalah buku yang lebih sering dibaca oleh anak-anak sampai pemuda daripada buku cerita tanpa gambar, buku pelajaran, dan juga Alkitab. Waktu toko buku belum membungkus komik dengan plastik, bukanlah pemandangan yang aneh jika terlihat orang yang sibuk membaca, sambil duduk di lantai atau berdiri di samping lemari buku, di antara rak-rak manga. Versi film kartunnya yang disebut anime bukanlah merupakan saingan dari versi manga yang dicetak, melainkan lebih merupakan suatu pelengkap.
Sebagai seorang Kristen, yang perlu kita tanyakan adalah bagaimanakah posisi Alkitab terhadap manga? Sebab kita tahu, tidak ada sesuatu yang netral.
Sama seperti literatur lainnya memiliki genre-genre besar seperti prosa, drama, dan puisi, saya pikir komik Jepang adalah satu genre tersendiri yang mencakup banyak sekali jenis, mulai dari adventure, tragedy, comedy, horror, romance, detective story, sport, dan lain sebagainya. Keluasan semacam ini mungkin kelihatan menakutkan bagi orang yang berusaha menganalisa komik, namun bukan pencinta komik. Komik, sama seperti media massa lainnya, sebenarnya hanyalah merupakan suatu medium bagi filsafat yang menguasai zaman itu untuk menjalankan pengaruhnya, sehingga manusia, di zaman apa pun, di mana pun, dengan kepandaian dan etika setinggi apa pun, tidak akan pernah lepas dari pengaruh Zeitgeist atau roh zaman atau semangat zaman. Maka perlunya menyelidiki Zeitgeist atau semangat zaman di dalam komik dengan ketajaman Firman Tuhan sangatlah mendesak. Kita akan mulai dari pemalsuan-pemalsuan zaman oleh Zeitgeist yang dibungkus di dalam manga, dan tidak lupa mencantumkan ‘the real thing’.
Filsafat Timur, yang mungkin kita kenal dengan nama pantheisme dan monisme, tidak suka mendiskriminasikan baik dan jahat sebagai the ultimate good and the ultimate evil. Sebaliknya, baik dan jahat hanyalah saling melengkapi untuk membentuk satu keseimbangan universal (bandingkan Yin dan Yang). Melalui manga, para fans juga dipengaruhi akan hal ini secara tidak sadar. Hal ini bisa kita lihat melalui adanya pemujaan terhadap tokoh-tokoh antagonis. Tokoh-tokoh fiktif yang saling bermusuhan memiliki fans manusia sungguhan yang juga saling menyerang mengikuti posisi idola mereka. Sedangkan para fans yang dipersatukan di bawah penyembahan satu figur komik memiliki persekutuan yang am meskipun tidak kudus.
Anti-diskriminasi ini menyebabkan suatu manga bisa mengajarkan berbagai macam filsafat melalui tokoh-tokoh yang berbeda-beda, yang saya klasifikasikan berdasarkan worldview yang akan kita bahas; tokoh anti-sosial (individualism), tokoh intelektual (biasanya rasionalis), tokoh sentimental (sentimentalism), dan tokoh playboy (hedonism).
1. Individualisme
Latar belakang kultur Jepang, seperti juga kebanyakan negara di Asia, mempunyai orientasi yang tinggi pada masyarakat. Berbeda dengan negara penganut kapitalisme, seorang pekerja di Jepang ‘pantang’ berpindah-pindah perusahaan demi mencari gaji yang lebih besar untuk dirinya, karena itu adalah suatu tindakan pengkhianatan. Demikian juga seorang siswi sekolah Jepang tidak boleh melawan trend yang sedang in di antara teman-teman sekolahnya. Ia akan diteror jika ia lain sendiri, misalnya dalam cara berpakaian.
Karena itulah manga suka menampilkan tokoh-tokoh yang berani berdiri sendiri melawan arus mayoritas dan tradisi. Mereka ditampilkan sebagai tokoh-tokoh yang attractive dan sangat berkharisma, yang memiliki cara berpikir dan cara hidup yang unik. Mereka tidak takut disalahmengerti orang lain dan terlihat hidup sangat bebas, namun mereka tetap merupakan orang-orang yang ‘tidak jahat’ di mata pembaca. Mereka tidak kesepian, karena bagaimanapun tidak sopannya mereka, pasti ada seseorang atau sekelompok orang yang memihak mereka dengan ngotot.
Allah menciptakan setiap manusia unik adanya dan tidak pernah menjatuhkan nilai unik seorang pribadi semata-mata untuk memproduksi orang-orang Kristen seragam seperti hasil produksi massal dari pabrik. Tuhan memiliki rencana yang begitu indah dan kompleks bagi anak-anak-Nya dan setiap orang diciptakan dengan unik untuk memenuhi panggilan yang istimewa untuk setiap pribadi. Kita bermasalah bukan karena kita unik, bukan karena kita menjadi diri kita sendiri, melainkan karena kita kurang menjadi diri kita sendiri. Menjadi diri sendiri berarti menjalani proses menuju apa yang Tuhan rencanakan untuk kita masing-masing.
Kadang mungkin orang salah mengerti ‘keserupaan dengan Kristus’. Betul, kita dipanggil menjadi serupa dengan Kristus, tetapi ekspresi keserupaan itu dipancarkan dengan cara yang berbeda pada setiap orang. Keagungan Allah yang direfleksikan dalam pribadi yang berbeda-beda bukanlah sesuatu yang monoton dan membosankan. Sebenarnya kita dapat belajar melalui kisah penciptaan bahwa Allah kita yang kreatif membuat segala sesuatu teratur dan begitu beraneka ragam adanya. Ia tidak menciptakan anjing, anjing, kemudian anjing, dan sekali lagi anjing, tanpa gajah, kepiting, dan lumba-lumba. Bahkan Ia adalah ‘Seniman’ yang begitu handal sehingga satu anjing dengan anjing lainnya pun sangat berbeda, mulai dari warna bulu, panjang ekor, ukuran tubuh, kegesitan, karakter, dan lain sebagainya.
Manga melangkah sedemikian jauh sampai tokoh-tokoh individualis ini bukan sekadar ‘menjadi diri mereka sendiri’, tetapi hidup semaunya sebagai pemberontak melawan setiap aturan main di masyarakat, tetapi tetap menarik lawan jenis maupun teman-teman yang setia ke sisi mereka. Mereka biasanya tidak malu mengakui penyimpangan dalam diri mereka, bahkan mereka tidak melihatnya sebagai kelemahan melainkan bangga akan apa adanya mereka.
Manusia selalu tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang dirinya sendiri. Tes-tes kepribadian, mulai dari yang katanya diturunkan dari Hippocrates (Sanguine, Melancholic, Choleric, dan Phlegmatic) sampai yang merupakan gabungan dari empat oposisi hasil pemikiran Carl Jung (Introvert-Extrovert, Intuitive-Sensing, Thinking-Feeling, dan Judging-Perceiving), selalu menggelitik rasa keingintahuan kita. Dari waktu saya remaja, ibu saya sudah memperingatkan, “Jangan jadikan hasil tes-tes kepribadian sebagai alasan, ‘Iya, aku memang begini, terima dong!’”
Mengenali diri kita dengan segala kelemahan dan kelebihannya berarti juga siap menerima pemotongan ranting-ranting yang tidak Kristiani. Buah Roh (Galatia 5:22-23) adalah apa yang harus ada atau paling tidak, bertumbuh dalam diri semua orang Kristen tanpa terkecuali, dan perbuatan daging (Galatia 5:19-21) tidak boleh ada atau paling tidak, dalam proses pembuangan. Memang kita punya cara kita masing-masing untuk mengasihi, namun lebih sering permasalahannya adalah kita tidak rela minta Tuhan memampukan kita untuk mengasihi. Pemecahannya sama sekali bukan jujur menampilkan kelemahan, lalu bangga pula akan keapa-adaan kita dan kemudian tidak memperbaiki diri.
Eksistensialisme semacam ini tidak membawa kita mendekati surga, sebaliknya menghadirkan neraka lebih jelas di dunia. Kita dipaksa untuk hidup dengan orang yang berdosa dan bangga akan keberdosaannya, yaitu diri kita sendiri. Di mana letak kebebasan dari cara hidup semacam itu?
Akan tetapi mungkin generasi sekarang ini sudah hidup terlalu enak (baca: membosankan) sehingga tidak lagi melihat maupun menemukan sesuatu yang menantang dalam hidup nyata, in real life atau disingkat IRL dalam bahasa chatting, sehingga mencari-cari ketegangan (excitement). Baik melalui menerjunkan diri di dunia maya dalam komik, games, film, ataupun membuat-buat masalah sungguhan. Padahal sebagai orang Kristen, kita sedang bertempur dalam the Battle of Ages. Mungkin kedengaran seperti satu game yang menarik, mungkin teman dari the Age of Empires? Tidak! Ini adalah kenyataan hidup. Kita sedang berada di medan pertempuran. Kita adalah generasi penerus dari pertempuran seru yang sudah berlangsung berabad-abad sejak Adam dan pertempuran ini harus kita menangkan. Di dalam sejarah, sudah begitu banyak pahlawan besar yang termasuk dalam pasukan Kristus, mulai dari Abraham, Daud, Petrus, Paulus, Augustinus, Martin Luther, Johannes Calvin, Jonathan Edwards, Hudson Taylor, John Sung, Cornelius Van Til, dan masih banyak lagi. Dan seperti Frodo dalam the Lord of the Rings, kita yang tidak kuat, tidak bijaksana, tidak memiliki magical power apapun juga, ikut berbaris dalam barisan orang-orang besar ini, digerakkan untuk menerima beban yang berat ini di atas pundak kita. ‘Hanya’ anugerah Tuhan yang memampukan kita. Betulkah ‘hanya’?
“Anugerah-Ku cukup bagimu,” kata Tuhan kepada Paulus, dan anugerah yang mengubah seorang Farisi fanatik menjadi seorang hamba Tuhan yang begitu rendah hati—anugerah dari Tuhan yang sama itu akan memampukan kita untuk meneruskan tongkat estafet dalam memenangkan bagian kita dalam the Battle of Ages.
(Bersambung)