Di edisi bulan lalu saya membuat proposal bahwa manga, seperti tawaran lainnya dari dunia, hanya berusaha untuk mengalihkan manusia dari menemukan the real thing. Pembahasan yang pertama memperhatikan bahwa individualisme sebetulnya menghalangi manusia untuk sepenuhnya menjadi dirinya sendiri sebagai satu pribadi di hadapan Sang Pencipta. Dan kali ini kita akan melihat, bahwa intelektualisme yang mengklaim mengenal kebenaran pun masih meleset jauh dari kebijaksanaan Yang Maha Tinggi.
2. Intelektualisme
Dalam manga sama seperti dalam hidup nyata kita mengenal banyak orang yang dikaruniai kepandaian luar biasa. Bisa jadi mereka punya pengetahuan yang luar biasa, kuat di logika, fasih dalam berdiskusi, cepat mengerti, menyeluruh dalam analisa, dan lain sebagainya. Tapi dibanding dengan film-film Barat yang sudah bosan dengan rasionalisme dan suka memunculkan tokoh freak, orang-orang yang memakai dua pantat botol di muka alias kacamata setebal teleskop, manga menampilkan para jenius yang sangat mempesona. Mereka bisa muncul dalam berbagai bungkusan: anak sekolah yang polos dan baik hati, ilmuwan dari pihak antagonis yang merebut simpati kita, sang penasihat yang murah senyum, atau si pendiam yang misterius, dan lain sebagainya.
Susah untuk menemukan cacat cela pada diri tokoh-tokoh ini. Sementara tidak semua orang ingin lain sendiri, atau penuh perasaan, atau dikejar-kejar lawan jenis (maupun sesama jenis), saya belum menemukan ada orang yang tidak ingin pintar. Dalam berbagai masalah, satu keluhan yang sering sekali muncul adalah, “Aduh, habis saya bodoh sih.” Di balik ungkapan spontan ini ada satu asumsi, seandainya saja saya pintar, maka saya tidak akan menghadapi masalah. Atau kalau saya kurang pintar untuk mencegah munculnya kesulitan, paling tidak saya ingin cukup pintar untuk bisa memecahkan problematika yang ada tanpa perlu menderita.
Tapi orang-orang pandai di manga tetap mengalami kesulitan. Memang ada keperluan dramatik terhadap konflik dan klimaks, yang membuat orang tertarik untuk membaca. Siapa yang mau membaca mengenai seseorang yang menjalani hidup “biasa-biasa saja”, tiap hari bangun pagi dengan bahagia, pergi ke sekolah atau bekerja dengan bahagia, pulang dengan bahagia, bertemu dengan teman atau keluarga dengan bahagia, begitu seterusnya? Menulis kalimat terakhir ini saja saya malas, apalagi Anda yang membaca. Tapi dengan itu kita mengakui, sadar atau tidak sadar, bahwa hidup yang tanpa perjuangan itu bukanlah hidup!—hanya satu keberadaan semata.
Jadi dari satu pengamatan ini kita mempelajari satu hal: kepandaian mempersiapkan orang untuk menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi—bukan membuat orang bisa lebih enak-enak. Meskipun begitu, banyak orang tetap terbenam dalam ilusi yang mustahil: untuk bisa begitu pandainya sehingga dapat mengetahui segala sesuatu, seperti detektif Conan yang tahu siapa si pembunuh hanya dengan melihat berkas darah di keyboard komputer.
Saya pun terjebak dalam ilusi tersebut karena untuk menulis artikel ini saya harus benar-benar menggunakan kapasitas intelijensia saya dengan maksimal agar dapat menemukan kelemahan dari tokoh intelektualis di manga. Tapi saya tidak memperhatikan petunjuk yang sudah diberikan sang editor yang berkali-kali mengirimkan draft artikel yang Saudara sedang baca ini kembali kepada saya. Komentarnya tetap sama, “Tidak ada semangat dan dinamika.” Pertanyaan yang muncul di kepala saya: bagaimana saya harus membahas intelek berkaitan dengan dinamika? Saya baru menyadari bahwa persis itulah kelemahan kaum intelektualis.
Menyatukan kepala yang dingin dengan hati yang panas, seperti Pdt. Dr. Stephen Tong sering katakan, benar-benar bukan tugas yang mudah. Beberapa orang mungkin berpikir memiliki kepala yang berfungsi dengan baik saja sudah sangat susah, tetapi setelah mencapai level kepandaian semacam itu, mempertahankan hati yang berkobar-kobar oleh cinta kasih Tuhan lebih susah lagi.
Secara positif tokoh berotak dalam manga bisa digambarkan sebagai orang yang luar biasa tenang, tapi secara negatif (dan kadang boleh dibilang secara realistis) mereka luar biasa lambat. Selain itu mereka sering nampak tidak tahu bagaimana harus bereaksi kepada emosi manusia, meskipun sebetulnya mereka lebih cenderung dengan sengaja berusaha sebisa-bisanya untuk tidak menggunakan fakultas perasaan dan hanya mengandalkan analisa yang dingin. Mereka tidak nampak manusiawi. Mottonya: keeping the cool.
Istilah yang tepat untuk ini: dualisme—suatu keadaan di mana seorang manusia menahan suatu bagian hidupnya dari Tuhan. Tentu bukan kebetulan bahwa tokoh rasionalisme, René Descartes, adalah seorang dualis yang menarik batas yang tajam antara kenyataan jasmani dan rohani. Dan sesuai namanya, kaum intelektualis memang mengutamakan (kalau tidak mengilahkan) intelek di atas segala sesuatu. Dan pada waktu pemikiran mereka tidak lagi sanggup mengatasi kesulitan, mereka akan benar-benar jatuh terkapar, karena mereka tidak terbiasa menggunakan kemampuan mereka yang lain. Seperti seorang petinju yang biasa hanya mengandalkan tangan kanannya langsung kalah jika tangan kanannya cedera.
Dualisme ini juga yang menjadi penyebab kenapa banyak orang Kristen, terutama Reformed dengan perhatian yang cukup banyak dicurahkan kepada intelek, bisa menjadi begitu apatis. Sepertinya bersemangat tinggi itu lebih mudah sewaktu kita tidak benar-benar punya pengetahuan. Memang ini fenomena yang sangat umum, tapi kita harus sadari, ini sama sekali bukan cara seorang anak Tuhan maju berperang. Seorang pemimpin perang harus pandai melihat kesulitan di depan, tetapi celaka besar jika ia putus asa sesudah melihatnya. Seharusnya justru ketajaman pikiran yang ia miliki dapat digunakan mencari penyelesaian untuk memenangkan peperangan itu dan bukannya mencari alasan bagaimana sebaiknya kita menyerah saja!
Peperangan selalu menuntut totalitas! Peperangan menuntut otak yang tajam sekaligus semangat yang tinggi dalam memperjuangkan kemenangan itu sendiri. Tanpa semangat perjuangan, peperangan sudah berakhir (baca: kalah) sebelum dimulai. Peperangan menuntut kepintaran dan semangat untuk menang, demikian juga peperangan sesungguhnya dalam kehidupan seorang anak Tuhan di dunia yang berdosa ini. Inilah yang sudah dikerjakan oleh para pasukan Kristus, pahlawan iman sebelum kita, yang saya sebut di edisi sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang telah memberikan seluruhnya dalam memenangkan peperangan yang menjadi bagian mereka dalam the Battle of Ages. Mereka adalah orang-orang yang telah memeras seluruh kemampuan rasio tanpa menguburkan semangat mereka.
Berikan seluruhnya karena milik Tuhan, semua yang ada pada kita berasal dari Dia, Sang Alfa. Berikan seluruhnya karena untuk Tuhan, Dialah Sang Omega yang berhak menerima segala hormat dan puji. Untuk itulah kita diciptakan, untuk memberikan seutuhnya, seluruhnya, bukan sebagian, untuk memuliakan Sang Pencipta, Sumber segala sesuatu. Soli Deo Gloria.