Kita sampai kepada bagian terakhir dari artikel ini, dan akan membahas dua tokoh sekaligus, perwujudan dari sentimentalisme dan hedonisme. Biasanya tokoh sentimentalis ditampilkan dalam manga sebagai tokoh utama yang polos, luar biasa baik hati, apa adanya, entah dia sedang senang, sedih, marah, kecewa, atau terharu. Sedangkan tokoh hedonis muncul dalam bentuk tokoh pria playboy, yang kemana-mana selalu bisa membawa diri, luwes, dan mendapatkan cewek cakep, karena dia sangat percaya diri dan tidak tanggung-tanggung dalam usahanya menarik perhatian calon korban. Kedua tokoh ini memiliki kesamaan dalam sifat “apa adanya” mereka. Berbeda dengan tokoh individualis maupun intelektualis, kedua tokoh terakhir ini biasanya tidak banyak menghabiskan waktu untuk berpikir, melainkan langsung bertindak. Dasar tindakan mereka sebenarnya sama: yang satu tidak melawan perasaannya, dan yang satu lagi tidak melawan kesenangannya.
Kedua tokoh ini selalu disukai orang banyak. Tokoh individualis biasanya membuat orang hampir mati kedinginan, kecuali seseorang memiliki kasih (atau kebencian) yang sangat hangat, tidak banyak orang yang tahan dekat-dekat mereka. Tokoh intelektualis nampak hampir tidak manusiawi dengan kepintaran mereka — mungkin mereka android, ya, mungkin juga — dan cukup menakutkan. Tapi tokoh sentimentalis dan hedonis ditampilkan sebagai “manusia sejati” yang hidup sebebas-bebasnya, berdasarkan perasaan dan perut mereka, apa adanya mereka. Mereka sangat dinamis dan cepat tanggap terhadap situasi sekitar. Orang-orang menyukai mereka karena mereka sangat natural dan memancing senyum atau tawa dari yang lain dengan tingkah “polos” mereka.
Pada dasarnya, kita semua setuju bahwa bergaul dengan orang-orang semacam ini sangat menyenangkan. Mereka sulit berpura-pura, dan yang mereka katakan adalah apa yang mereka sungguh-sungguh rasakan — penuh “kejujuran”. Sulit bagi mereka untuk menjaga rahasia lama-lama, karena mereka transparan dan mudah dibaca seperti seorang anak kecil yang bebas.
Kita ingin bisa seperti itu, bukan? Kita ingin bebas seperti waktu kecil atau bahkan melampauinya, melakukan apa yang kita mau, kapan kita mau, di mana kita mau, dengan siapa kita mau. Indah sekali hidup seperti itu. Sewaktu saya merasa sedih, saya menangis; waktu marah, ngamuk; waktu senang, ketawa; waktu ingin dengan si A, cari A; waktu bosan dengan A, buang A. Saya adalah tuan dari hidup saya sendiri. Merdeka! Mungkin bahkan lebih dari manusia sejati, saya sudah jadi Übermensch1, mahluk yang lebih tinggi daripada manusia.
Mari kita coba amati orang-orang dalam hidup nyata yang adalah sentimentalis dan hedonis. Ada seorang sentimentalis kenalan saya, yang tidak pergi ke gereja kalau dia sedang bertengkar dengan pacarnya. Saya tidak pernah bertanya sendiri kepada dia, apakah dia juga tidak pergi kerja, makan, dan lain sebagainya, kalau dia sedang bertengkar dengan pacarnya. Tapi yang mana pun jawabannya, saya kira ada pelajaran menarik yang mencerminkan kehidupan kita yang penuh ketidakbebasan dan penuh kontradiksi.
Kalau seseorang bertengkar dengan orang yang paling dia kasihi, biasanya orang itu merasa sangat amat tidak enak sekali. Terutama perempuan, kebanyakan ingin masalah diselesaikan saat itu juga. Kembali kepada kasus kita mengenai pergi atau tidak pergi ke gereja atau tempat kerja sesudah pertengkaran, saya yakin apakah teman saya itu akan ke gereja atau ke tempat kerja, perasaannya pasti sama kacau sesudah bertengkar. Kemungkinannya sekarang ada dua, pertama, dia tidak pergi baik ke gereja maupun tempat kerja atau kedua, dia tidak pergi ke gereja tapi pergi ke tempat kerja.
Kalau dia juga tidak pergi ke tempat kerja, saya rasa orang-orang bukan Kristen pun bisa menemukan kesalahan pada keputusan ini. Entah mengenai uang, tanggung jawab dan nama baik di tempat kerja, atau bahkan mungkin kenapa harus pacaran dengan orang itu, apa saja. Tapi yang lebih menarik buat saya adalah kalau dia tetap pergi ke tempat kerja. Dengan perasaannya yang sama kacau, dia melakukan tindakan yang berbeda. Mengapa bisa demikian?
Saya ingin mengajak kita melihat hal ini dari kacamata kebebasan yang sudah kita sebut di atas. Dari contoh di atas, nampak bahwa kebebasan yang dipuji-puji para sentimentalis maupun hedonis ternyata tidak ada. Pertama, dia tidak bebas untuk pergi ke gereja, ini jelas. Kedua, sebagai tambahan, dia tidak merasa bebas untuk bisa bolos kerja, berlawanan dengan perasaan alaminya, yang biasanya mengatur keputusannya. Atau bisa juga dikatakan, justru dia bebas, karena dia bisa pergi ke tempat kerja meskipun perasaannya gundah gulana. Benarkah? Hmm …
Kalau dipikir lebih jauh, maka sebenarnya seorang sentimentalis (dan juga seorang hedonis) sama sekali tidak bebas. Dia pertama-tama bukan karena terikat pada perasaannya, melainkan pada kebiasaan. Ada bidang-bidang di mana seseorang terbiasa untuk mengikuti perasaannya, dan pada kemungkinan kedua dari kasus di atas, pekerjaan tidak termasuk dalam bidang perasaan melainkan kebiasaan. Demikian seorang hedonis juga sama tidak bebasnya. Dia terikat pada pola kehidupan berdosanya, dan bagi saya pribadi kedua macam orang ini cepat jadi membosankan.
Semua orang punya perasaan dan semua orang menginginkan kesenangan. Itu jelas! Kita tidak dituntut untuk memutuskan segala ikatan dengan perasaan maupun kesenangan. Kita tidak perlu “mengosongkan diri” dari segala perasaan dan kesenangan seperti robot yang dingin tanpa ekspresi apa pun kecuali beberapa lampu yang berkedip. Tapi kita perlu menyadari bahwa perasaan dan kesenangan kita baru bisa memperkaya hidup kita sewaktu kita mengembalikan mereka ke tangan Tuhan dan membiarkan Tuhan menaruh mereka pada tempatnya. Di situlah kebebasan sejati kita sebagai manusia. Saya bukan menulis sebagai seorang yang kebal terhadap sentimentalisme ataupun hedonisme. Sebaliknya, sampai sekarang ini masih merupakan perjuangan, tapi ada breakthrough atau terobosan yang Tuhan berikan. Yang paling terakhir adalah waktu saya dibawa untuk melihat, kebanyakan tindakan-tindakan yang saya buat dalam hidup ini bukanlah hasil dari satu pertimbangan yang matang, dengan sepenuh hati yang bulat, atau perasaan yang sungguh damai, apalagi hasil suatu kebebasan mentaati Tuhan melainkan semata-mata hanyalah hasil kebiasaan. Padahal, kuasa kebangkitan Kristus pasti mampu mematahkan pola hidup berdosa kita, kalau saja kita rela berlatih satu kebiasaan baru dalam kebebasan untuk taat dan bergantung kepada-Nya.
Ada terlalu banyak penipuan yang kita anggap benar, sewaktu kita hidup mengikuti nafsu kita. Salah satunya adalah bagaimana dosa kelihatan begitu enak dan menarik, sehingga saya memilih untuk melakukan yang salah. Pertama-tama memang sepertinya asyik, tapi lama-lama muak. Yang lebih parah lagi, alternatif untuk bertobat kelihatan begitu susah dan hampir tidak mungkin. Nampaknya Tuhan yang suci tidak sudi lagi mengampuni kita. Pada saat itu, sebenarnya justru kita sudah tertipu, pertama tentang dosa, yang nampaknya enak padahal menjijikkan, dan kalau kita tidak hati-hati, kita tertipu lagi tentang pertobatan.
Cara yang paling benar untuk berhadapan dengan emosi ataupun kesenangan adalah memiliki satu kunci “kasih”. Tidak ada orang normal yang akan menyangkal bahwa kasih memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan emosi. Tapi Alkitab lebih tinggi dari sekadar kesepakatan manusia berdosa secara umum, dan menyatakan bahwa kasih meliputi pengertian, kehendak, tenaga, selain dari sekadar emosi (Markus 12:30). Maka sewaktu emosi melanda, kesenangan menuntut, satu pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, “Siapa yang sedang kukasihi saat ini? Diriku sendiri atau Allah?” Para tokoh sentimentalis dan hedonis dalam manga menunjukkan suatu kehidupan tanpa adanya pergumulan atas pertanyaan tersebut dan mereka “rayakan” hal tersebut sebagai suatu kebebasan. Hal tersebut adalah suatu ketidakmungkinan, absurdity, dan tipuan belaka!
Seseorang yang mengasihi orang lain akan belajar untuk mengerti apa yang dapat menyenangkan orang yang dia kasihi, dan sewaktu sang terkasih itu senang, dia sendiri pun akan ikut senang. Itu suatu hal yang kita juga ketahui dari manusia fana. Sukacita dalam Tuhan melebihi sekedar kesenangan individual atau bahkan satu pasangan. Sukacita kita ada dalam mengasihi dan dikasihi oleh Raja di atas segala alam semesta, dan di dalam mengambil bagian dalam rencana yang besar, yang kekal, bahkan sewaktu kita hanya mengerjakan hal-hal yang nampaknya “biasa-biasa saja”. Inilah kebebasan, sewaktu kita bebas dalam segala sesuatu melayani Sang Raja, bukan dunia dan diri! Pada saat seperti itulah kita benar-benar bebas — bebas dari ikatan dosa, diri, dan dunia. Satu-satunya ikatan yang ada hanyalah ikatan kasih penuh ketaatan kepada Sang Raja. Di sinilah kebebasan yang sesungguhnya!
Sekarang ini memang terlihat banyak hal-hal yang melelahkan, membingungkan, bahkan menyakitkan. Tidak aneh, karena kita berada dalam suatu peperangan. Tetapi, jangan lengah, jangan putus asa, karena kita berada di pihak Sang Raja yang pasti menang. Kadang memang sulit bagi seorang serdadu untuk mengerti skala pertarungan yang dia ikuti sementara dia sibuk mengelak panah lawan sambil mengayunkan pedang dan berlari maju. Kita hanya perlu sabar belajar, tekun serta taat kepada setiap komando dari Sang Raja dalam perjuangan peperangan ini. Jangan sampai tertidur, jangan menyerah, mari kita minta Tuhan untuk membuka mata kita supaya mampu melihat besarnya peperangan yang sedang kita ikuti ini, agar kita dapat mensyukuri kesempatan yang diberikan Sang Raja untuk ambil bagian di dalamnya. Bagi Dialah, Sang Raja yang mengasihi kita dengan memberikan nyawa-Nya sendiri, kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.
Note:
1 Istilah Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman (1844-1900), yang juga mempropagandakan “Gott ist tot” (artinya: Allah sudah mati).