Ratusan tahun yang lalu, di mana teknologi belum berkembang seperti sekarang, musik hanyalah konsumsi kalangan elitis. Musik hanya dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang, orang-orang kaya yang bisa membayar komponis untuk menggubah lagu sekaligus menyewa musisi untuk memainkan lagu tersebut di dalam rumah mereka. Akibatnya, pemusik bukanlah profesi yang umum pada saat itu. Mereka, para musisi ini, hanyalah orang-orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya kepada seni yang dia cintai atau yang dia kuasai. Rakyat marginal tidak memiliki akses ke dunia musik karena ekonomi yang tidak mencukupi. Musik hanya dinikmati dalam kalangan lingkup yang sempit.
Menuju abad ke-21, perkembangan teknologi memperluas cakupan musik. Teknologi mengusung gaya hidup manusia yang semakin borderless karena kehadiran internet. Segala jenis musik akhirnya dapat diakses oleh segala kalangan hanya dengan satu klik saja. Di mana pun, kapan pun, siapa pun, kita dapat mendengar musik, belajar musik, dan juga menampilkan performa musik kita. Akibatnya, akses kepada musik semakin lama semakin luas dan mudah.
Keberadaan teknologi seperti ini secara tidak langsung berdampak pada sikap kita terhadap musik. Berbicara secara lingkup masyarakat umum, musik tidak lagi menjadi sesuatu yang diidam-idamkan karena musik bisa didapatkan dengan begitu mudah. Berbeda dengan ratusan tahun yang lalu, untuk mendapatkan musik adalah sesuatu yang berharga karena sulit didapat. Akibatnya, orang rindu untuk bersentuhan dengan musik.
Pada zaman ini, begitu “kacang”-nya (murahannya) musik membuatnya ditaruh di prioritas yang terakhir. Khususnya dalam konteks Indonesia, di mana budaya seperti musik bukan menjadi suatu hal yang mendesak untuk diperjuangkan. Hal ini semakin memojokkan aspek musik di dalam kehidupan kita. Hanya dengan men-download aplikasi dan streaming, kita dapat mendengarkan musik secara gratis sebagai pengiring dan pembangkit mood di kala bekerja. Jika kita ada uang lebih, kita sisihkan sebagian untuk berlangganan aplikasi player atau membeli CD. Jika ada waktu dan uang lebih, kita pergi ke konser setahun tiga kali, paling banyak sebulan sekali. Kalau ada kelebihan uang dan waktu, kita pergi belajar musik sebagai hobisampingan.
Perkembangan teknologi memiliki ekses positif dan negatif terhadap perkembangan musik. Positifnya adalah semakin banyak orang dapat “berbudaya” dengan lebih mudah dan murah. Semua orang tanpa melihat status ekonomi dan sosial, sepanjang mereka mempunyai akses kepada teknologi itu, dapat menikmati budaya yang sama. Cukup dengan memiliki smartphone yang dilengkapi dengan koneksi internet, kita dimungkinkan untuk belajar musik tanpa perlu jalan jauh berhari-hari untuk berguru kepada “suhu” seperti ratusan tahun yang lalu. Di sisi lain, teknologi membuat masyarakat akhirnya merasa puas dengan musik rekaman sehingga membuat masyarakat menjadi malas untuk berbudaya secara langsung.[1] Banyak artikel dan berita yang menyatakan efek negatif teknologi seperti kehidupan masyarakat semakin lama semakin malas, selalu menginginkan yang instan sehingga mengakibatkan daya ingat menurun, obesitas, bahkan permasalahan psikologis.[2] Kita terbiasa untuk hidup secara artificial dan tidak lagi secara nyata.[3] Konteks sosial seperti ini secara tidak sadar masuk ke dalam kehidupan berbudaya kita.
Melihat kegawatan dari mayoritas masyarakat Indonesia dalam musik, Pdt. Dr. Stephen Tong mengusung misi untuk pergi ke kota-kota di seluruh Indonesia dalam satu minggu untuk mengadakan konser musik klasik. Tahun 2018 ini merupakan kedua kali Grand Concert Tour diadakan dengan mengelilingi 7 kota – Jakarta, Makassar, Samarinda, Pontianak, Batam, Medan, dan Singapura dari 30 Juni-6 Juli 2018. Concert tour ini bertujuan agar masyarakat di kota-kota yang dikunjungi terpicu untuk mulai terlibat di dalam budaya musik, khususnya bagi generasi penerus. Konser ini juga tidak hanya sekadar memperkenalkan musik klasik kepada masyarakat luas. Ada tiga hal yang saya ingin kita sama-sama refleksikan berkaitan dengan acara ini.
Pertama, Grand Concert Tour menawarkan kepada masyarakat bagaimana cara berbudaya yang lebih baik. Gaya hidup yang terlalu marak dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat kita lupa aspek lain sebagai manusia yaitu berbudaya. Seperti relasi antarmanusia yang memiliki kedekatan yang berbeda ketika kita bertemu secara fisik daripada hanya bertemu secara “awan”, begitu juga dengan musik. Musik perlu dipelihara dengan adanya kedekatan secara langsung seperti menonton konser dan lebih lagi jika kita terlibat secara langsung di dalamnya (bermain musik). Oleh sebab itu, mendengarkan musik hanya dengan rekaman saja tidak cukup. Sayangnya, hidup di dalam zaman postmodern ini membuat kita akhirnya merasa puas dengan ke-artificial-an itu (rekaman) saja. Oleh karena itu, kesadaran akan kebutuhan hal ini perlu diusahakan secara ekstra agar dapat mengerti. Banyak hal yang Pdt. Stephen Tong ajarkan selain memberikan lantunan musik. Pdt. Stephen Tong mengajarkan bagaimana cara menghadiri konser–seperti dengan memakai baju yang rapi, bagaimana menghargai musik–tidak boleh ada suara sedikit pun dan tidak boleh masuk dan keluar ruangan sesukanya, atau tepuk tangan hanya di akhir lagu.
Yang kedua adalah Grand Concert Tour memberitahukan kepada kita bahwa kebudayaan seperti musik adalah aspek yang patut untuk diperjuangkan. Sering kali perjuangan di zaman teknologi ini sudah pudar karena hidup sudah terlalu mudah. Berbudaya musik tidaklah semudah ketika men-download di internet. Berbudaya musik memerlukan ketekunan untuk belajar, ketelitian, stamina yang lebih, konsentrasi, pengaturan uang, dan lain-lain.
Yang ketiga adalah Grand Concert Tour mengajarkan kita yang sudah diberikan anugerah terlalu besar dari Tuhan untuk dapat menikmati musik yang indah, khususnya kita yang berada di Jakarta. Maka melalui concert tour ini kita diajak untuk menjadi berkat bagi orang lain. Dengan kata lain, Tuhan telah memenuhi kita dengan anugerah-Nya dan kita sekarang telah luber dan membagikannya kepada orang lain. Konsep berkat di sini dimulai dari Allah yang terlebih dahulu bekerja, baru manusia yang bergerak. Jika manusia mencoba untuk menjadi berkat untuk orang lain tanpa diberikan dari Tuhan terlebih dahulu, maka yang terjadi adalah ia akan sampai pada titik dirinya terkuras habis karena manusia adalah sumber yang terbatas.
Orang Kristen dimandatkan untuk menjadi berkat yang tidak menuntut timbal balik. Kita sebagai manusia berdosa cenderung untuk memiliki konsep utang yang berlebihan. Ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, maka orang itu harus membalaskan kembali kepada kita. Jika tidak seperti itu, maka kita akan menjadi manusia bodoh dan dianggap mudah dipermainkan orang lain. Itu adalah konsep dunia. Akan tetapi, kekristenan menawarkan sesuatu hal yang lain. Kita ditugaskan hanya memberikan kepada orang lain tanpa memedulikan apakah ada yang kembali kepada kita atau tidak. Terkesan seperti yang kita berikan tersebut akan hilang tanpa kembali kepada kita. Tidak berhenti sampai di situ saja, Allah kita juga berjanji bahwa Dia yang akan terus memenuhi kita.
Sebaliknya, manusia akan selalu berutang kepada Tuhan. Ketika kita ingin membalas kebaikan Tuhan, pasti Tuhan akan memberikan imbalan-Nya yang lebih besar daripada yang kita berikan. Ketika kita mau membalas imbalan tersebut, Tuhan pun dapat mengembalikannya dengan lebih besar. Dengan demikian, utang kita tidak akan pernah lunas di hadapan Tuhan karena Tuhan akan terus beranugerah kepada kita. Inilah kebaikan dan belas kasihan Tuhan. Dengan iman seperti ini, orang Kristen pasti tidak akan berhenti untuk membalas kebaikan Tuhan melalui menjadi berkat untuk orang lain.
Prinsip-prinsip seperti ini yang harus kita adopsi ketika kita merencanakan sesuatu di dalam hidup kita. Kita belajar untuk merencanakan sesuatu dimulai dari anugerah–apa yang Tuhan sudah limpahkan kepada kita dan juga memikirkan bagaimana orang lain dapat menikmati anugerah yang sama seperti kita. Kita belajar bagaimana melayani mulai dari kebutuhan masyarakat di sekitar kita tanpa memedulikan kenyamanan diri kita sendiri. Prinsip seperti ini yang Pdt. Stephen Tong coba tularkan kepada kita. Beliau selalu berpikir hal yang besar, yang jangka panjang, bahkan mungkin yang kita tidak bisa lihat secara langsung hasilnya. Ia selalu berpikir kebaikan orang lain, selalu tidak peduli diri bagaimana, dan selalu memedulikan bagaimana orang bisa berkembang, dan kalau bisa lebih baik dari dirinya sendiri. Pdt. Stephen Tong tidak pernah memedulikan dirinya apakah akan mendapatkan uang banyak atau tidak dari hasil pelayanannya, apakah beliau akan tidur enak atau tidak, bagaimana orang akan memandang dia, apakah orang yang dia bagikan berkat akan menjadi pengikut dia atau tidak. Beliau hanya berpikir kasih dan anugerah Tuhan yang begitu besar kepada beliau menggerakkan beliau untuk terus membagikannya kepada orang lain, baik itu khotbah, pengajaran, maupun budaya.
Akhirnya, kita harus sadar, semakin kita mencoba untuk menarik semuanya untuk diri kita, maka kita akan semakin kehilangan semuanya. Semakin kita mencoba untuk melepaskan keegoisan kita dan menjadi berkat, maka kita akan mendapatkan berkat dengan menyaksikan orang lain yang terberkati melalui pelayanan kita.
“But you are a chosen race, a royal priesthood, a holy nation, God’s own people, that you may declare the wonderful deeds of him who called you out of darkness into his marvelous light.” God has chosen us and brought us from darkness to light so that we would spread his reputation and be for him a name and a praise and a glory. (1Ptr. 2:9)
Sarah Charista
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] Teknologi rekaman dahulu dibuat dengan sebuah motivasi yang baik yaitu untuk bisa menjadi cara untuk kita kembali merefleksikan hasil performa kita, atau menjadi sebuah catatan di dalam sejarah.
[2] Penelitian: Internet Bikin Otak Manusia Malas.
[3] Dalam filsafat Baudrillard memakai kata “simulasi”.