Introduksi
Artikel ini merupakan refleksi dan sharing yang terinspirasi oleh buku Truth Is Stranger Than It Used To Be: Biblical Faith in a Postmodern Age, sekuel buku The Transforming Vision: Shaping a Christian Worldview, karya J. Richard Middleton dan Brian Walsh. Refleksi dan sharing ini dilakukan bersama para pemuda GRII BSD di bulan Agustus 2024. Refleksi ini terbagi menjadi dua kelompok bahasan besar. Di bagian pertama sampai keempat saya mencoba untuk mengidentifikasi terlebih dahulu apa yang disebut sebagai kondisi Posmodern ini. Dalam bagian kelima dan keenam, Metanarasi Alkitab Perjanjian Lama untuk Jeritan Posmodern 1 dan 2, Yenty Rahardjo akan mengajak kita untuk bergumul dengan Kitab Suci, melihat bagaimana Kitab Suci dapat memberikan dasar kita dapat merespons secara benar abad di mana kita saat ini hidup. Bagian kelima dan keenam dapat dibaca terpisah sebagai pembelajaran Kitab Suci yang merespons analisis kondisi Posmodern di bagian pertama hingga keempat.
_____________________________________________________________________________________
Istilah “Posmodern” sepertinya sudah tidak asing bagi kita saat ini. Dalam berbagai pembicaraan yang dilakukan di kalangan orang Kristen, “Posmodern” memiliki beragam konotasi, mulai dari yang sangat negatif, berimbang, dan yang juga sangat positif. Refleksi ini dapat dikatakan merupakan ajakan untuk melihatnya dengan berimbang, dengan tidak simplistik. Sebenarnya sudah banyak materi yang tersedia untuk membantu kita menggumulkan respons orang Kristen dalam Abad Posmodern, yang sering menjadi masalah adalah kita cenderung memilih mendengar hanya yang mengafirmasi apa yang ingin kita dengar. Masalah berikutnya adalah bahwa rumitnya Posmodernitas perlu dilihat dari berbagai ranah ilmu yang berbeda. Menyimpulkan menurut pertimbangan satu perspektif saja (misal: theologi saja atau filsafat saja) senantiasa menghasilkan suatu respons yang tidak memadai, dan seringkali tidak bisa dihidupi dengan konsisten. Mengapa masalah di atas ini perlu kita sadari sejak awal? Karena sikap berpikir yang hanya mengafirmasi apa yang ingin kita dengar dapat dikatakan merupakan salah satu elemen kritik utama Posmodernisme terhadap zaman sebelumnya.
Sebelum memulai refleksi saya mengikuti alur buku Middleton dan Walsh, saya terlebih dahulu ingin menyapa para pembaca PILLAR dari generasi yang… sebenarnya hanya berjiwa muda, namun sudah tidak bisa dibilang muda lagi (saya termasuk di sini hehehe). Kita perlu menyadari bahwa untuk kita yang berusia di atas 45 tahun (generasi Baby Boomers dan X) refleksi mengenai Posmodernisme akan cukup berbeda dipahaminya dengan teman-teman pemuda (generasi Milenial dan Z). Mengapa demikian? Ketika kita sering bernostalgia dan mengatakan zaman sudah berbeda, mungkin merasa gamang atau terganggu dengan segala perubahan pola pikir teman-teman pemuda saat ini, kita mungkin akan menemukan sedikit petunjuk dari refleksi mengenai Abad Posmodern ini. Buat teman-teman pemuda yang memang tulen masih muda, semoga refleksi ini membuat kita makin dapat bersekutu dengan generasi lain dan setia merespons panggilan Tuhan di zaman ini bersama-sama.
Sebagai generasi X awal, saya hidup dalam masa peralihan dua zaman besar. Dari zaman yang disebut Modern menuju ke zaman Posmodern. Perlu diingat, bahwa kategorisasi zaman Modern-Posmodern ini diadopsi dari kategorisasi peradaban Barat yang mendominasi dunia kita selama beberapa abad terakhir. Ketika kita berbicara secara lokal di Indonesia misalnya, tentu akan ada perbedaan mengenai bagaimana zaman bisa dikategorikan dan dijelaskan. Meskipun demikian, konsekuensi dari globalisasi, kita juga sepenuhnya terdampak oleh perubahan zaman di dunia Barat. Banyak pendapat yang beranekaragam mengenai kapan kedua zaman ini dimulai. Untuk memahami secara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa awal zaman selalu ditandai dengan perubahan paradigma pemikiran manusia secara signifikan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan kebudayaan. Dalam refleksi ini saya akan mengajak teman-teman sekalian bolak-balik melihat perbedaan zaman Modern dan Posmodern.
Krisis Zaman Kita: Modern
Mungkin kita perlu merenungkan sejenak, apakah benar semua orang setuju bahwa zaman kita sedang krisis? Anggap saja benar bahwa seluruh penduduk dunia setuju kita sedang memasuki krisis, ada begitu banyak perbedaan bahkan permusuhan, ketika kita mau menyepakati krisis apa yang melanda zaman kita. Bukan hanya demikian, ketika kita bisa sepakat adanya krisis tertentu, tidak ada kesepakatan mengenai alasan, akibat dan solusi terhadap krisis tersebut. Saya memilih menceritakannya sebagai kondisi. Saya mengajak kita untuk tidak berhenti hanya melihat krisis yang terlihat di hadapan kita, namun bergumul untuk memahami apa yang ada di balik krisis yang terlihat tersebut. Krisis identitas, etika dan moral, lingkungan hidup, ketidakadilan sosial-ekonomi, konflik, dan masih banyak lagi tampil di atas panggung, namun sesungguhnya krisis zaman ini tersembunyi di balik panggung, krisis worldview. Ibarat rusaknya segala sesuatu di bangunan ternyata bermula pada bergesernya batu fondasi di mana seluruh bangunan tersebut didirikan.
Hampir seluruh bangunan peradaban manusia modern di abad ke-20 dan ke-21 yang kita hidupi hingga saat ini dibangun dan dikembangkan di atas fondasi worldview yang dimulai di sekitar abad ke-15 di Eropa. Inilah Modernitas dunia modern global yang kita hidupi saat ini. Modernitas sebagaimana yang saya kenali, apalagi yang dikenali oleh generasi Baby Boomers (bagi pemuda, ini generasi kakek nenek Anda) adalah kenyataan dunia yang mereka hidupi sejak lahir, sesuatu yang pasti, diyakini memang benar dan sepertinya selalu terbukti benar adanya. Sebaliknya, bagi teman-teman pemuda yang lahir di generasi Milenial dan Z, kalian hidup di zaman di mana “kenyataan” menurut yang dilihat melalui Modernitas sudah dalam proses kerusakan dan penghancuran. Teman-teman pemuda hidup di zaman di mana “kenyataan” yang dipahami melalui Posmodernitas sudah makin mendominasi, menggeser “kenyataan” versi Modernitas. Sebagai generasi X, saya dilahirkan dan dibesarkan dalam zaman kejayaan Modernitas, namun di saat saya menjadi dewasa dan mulai bergumul mengenai segala makna dan tujuan hidup, saya berhadapan dengan mulai gagalnya cara melihat melalui Modernitas, “kenyataan” yang dihadapi makin tidak sesuai dengan “kenyataan” yang saya selama ini yakini. Saya akan bicara lebih lanjut mengenai “kenyataan” atau “realitas” ini di sub-topik berikut. Sebelum saya bisa lebih bercerita mengenai “kenyataan” yang berbeda di dua zaman ini, baiklah saya melanjutkan dahulu mendefinisikan kondisi yang tak terlihat, di balik berbagai krisis yang terlihat.
Kondisi yang tidak terlihat itu secara sederhana dapat dipahami sebagai pergantian Cerita Besar (Narasi Besar, kadang juga disebut sebagai Grand Narrative). Manusia adalah Homo Narrans, mahluk yang pada hakikatnya bercerita. Artinya apa ya? Manusia dalam menyadari keberadaannya, dalam memahami segala sesuatu yang adalah “kenyataan” dirinya dan sekelilingnya, senantiasa menyadari dan memahaminya dalam bentuk cerita. Setiap zaman ditandai oleh adanya Cerita Besar, dan setiap manusia yang hidup di zaman tersebut menyadari keberadaan diri dan “kenyataan” hanya di dalam Cerita Besar tersebut. Tidak ada manusia yang bisa hidup sebagai manusia seutuhnya tanpa ada dan menjadi bagian dari Cerita Besar zamannya masing-masing. Ketika saya lahir, saya tidak punya pilihan mau hidup dalam Cerita Besar zaman yang mana. Setiap kali saya membuka mata, mendengar, meraba, mengecap, saya sedang mengakumulasi “kenyataan yang dihidupi”, yang terkait pada suatu cerita kecil. Orang tua saya adalah praktisi medis, keunikan mereka dalam membesarkan saya menjadikan saya sepenuhnya berbeda dengan siapa pun dalam dunia ini. Melalui cerita kecil keluarga saya, saya tumbuh menjadi seorang manusia yang sadar akan keberadaan saya dalam dunia di mana saya hidup. Saya belajar dari yang paling sederhana, apa itu sakit, pahit, panas, dingin, lalu makna kata yang diucapkan, atau intonasi suara ternyata menunjukkan emosi, dan lanjut memahami nilai-nilai moral yang tidak terpisahkan dari tradisi keluarga saya. Tradisi keluarga saya adalah cerita kecil yang selalu menjadi bagian cerita yang lebih besar dari komunitas, etnis, kepercayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan masih banyak lagi. Hanya melalui setiap cerita kecil tersebut saya sadar, saya tahu, saya bisa berelasi, saya bisa merespons “kenyataan” di sekeliling saya. Tanpa saya sadari, setiap cerita kecil yang tak terhitung sejauh ini tidak bisa dipisahkan dari cerita-cerita besar yang mempengaruhi bagaimana saya berespons dalam cerita kecil saya. Cerita Besar itu adalah fondasi terbawah “kenyataan” saya yang seringkali tidak saya sadari. Seperti apa contoh cerita besar yang mempengaruhi semua cerita kecil? Sejak awal peradaban manusia, setiap peradaban memiliki Cerita Besarnya masing-masing. Tanpa adanya Cerita Besar, mustahil manusia dapat menemukan alasan untuk berelasi dan membangun sesuatu bersama. Albert Borgmann dalam Crossing the Postmodern Divide mengatakan bahwa suatu Epos mendekati akhirnya ketika keyakinan-keyakinan mendasar mulai melemah dan tidak lagi menginspirasikan antusiasme di antara mereka yang membelanya.
Saya sangat menggemari cerita, kisah-kisah kepahlawanan, legenda. Sama seperti banyak generasi X lainnya, saya dibesarkan terinspirasi dari cerita-cerita ini. Saya ingin sanggup menolong sesama seperti Livingstone, menjadi penemu mesin waktu, menjadi seniman dan penemu seperti Da Vinci, penjelajah seperti Columbus. Saya membangun identitas saya dengan meniru teladan di sekitar saya, atau mengambil sebagian dari cerita-cerita ini untuk merumuskan siapa diri saya saat itu dan kelak. Pernahkah terpikir mengapa banyak cerita-cerita ini kini tidak lagi disukai teman-teman di zaman ini? Banyak yang dahulu pahlawan kini dianggap penjahat. Banyak cerita tersebut sudah tidak lagi dianggap keren, bukan suatu inspirasi, namun kenangan buruk masa lampau. Sebagian bahkan berpikir lebih ekstrem, semua cerita zaman Modern harus dibuang, dilenyapkan, atau setidaknya dimodifikasi sedemikian rupa supaya mencerminkan worldview zaman ini. Untuk mengenali elemen-elemen apa dari Cerita Besar yang berubah, kita akan mengikuti empat pertanyaan diagnosis worldview yang diperkenalkan oleh Middleton dan Walsh dalam buku The Transforming Vision. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
- Di manakah kita? Seperti apakah natur dari realitas (kenyataan) yang di dalamnya kita sekarang berada?
- Siapakah kita? Apakah natur dan tugas dari manusia sebagai mahluk?
- Apa yang salah? Bagaimana kita dapat memahami dan menjelaskan adanya kejahatan dan kerusakan?
- Apa obatnya? Bagaimana kita dapat menemukan jalan melalui (bukan tidak melewati) keremukan kita menuju pada keutuhan?
Cerita Besar dari setiap zaman mempunyai jawaban yang berbeda untuk keempat pertanyaan diagnosis worldview di atas. Ketika Modernitas bangkit di Barat, Modernitas membandingkan dirinya dengan cerita besar sebelumnya (Abad Pertengahan yang didominasi oleh agama) dan mungkin menjawabnya demikian:
- Kita ada di dunia yang sudah maju secara peradaban, kita telah mencapai kemakmuran dan kesempatan untuk meninggalkan kegelapan, kebodohan Abad Pertengahan. Kemajuan peradaban manusia tidak lagi membutuhkan segala bentuk kepercayaan yang dibutuhkan untuk melawan rasa takut, ketidaktahuan.
- Kita adalah mahluk yang memiliki nalar dan sanggup mengetahui, memahami, menjawab, dan menemukan segala sesuatu untuk kemajuan, kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia. Kita berkuasa atas seluruh alam dan akan memanfaatkan segala sesuatu demi tujuan ultimat manusia. Manusia modern memiliki otonomi atas diri dan takdirnya, tidak butuh diselamatkan, manusia senantiasa terus berkembang makin maju dan mencapai kesempurnaannya.
- Yang salah adalah manusia dahulu terikat oleh berbagai tradisi, kepercayaan, penindasan, baik oleh sistem kemasyarakatan yang salah, ataupun karena berbagai keyakinan/kepercayaan agamawi yang tidak sesuai dengan kenyataan dunia yang didiami oleh manusia. Modernitas menolak kuasa agama atas manusia, menggantikan otoritas dengan kekuatan nalar manusia, metode saintifik, pengalaman dan refleksi manusia untuk menemukan kebenaran.
- Obatnya adalah ilmu pengetahuan, sains, dan pencerahan akal budi manusia untuk membebaskan pikiran manusia dan kapasitasnya untuk mengatasi segala sesuatu. Obatnya adalah membebaskan manusia dari penindasan hal-hal yang tidak dapat dinalar oleh akal budi manusia. Hanya dengan kemajuan yang sepenuhnya berdasarkan akal budi manusia maka manusia dan dunia dapat mencapai puncaknya. Modernitas tidak lagi tertawan oleh hal-hal supranatural, namun menikmati apa yang natural, yang di dalam dunia ini dan yang sekuler.
Sungguh suatu worldview yang dahsyat dan meyakinkan! Yang juga menarik dari Modernitas adalah bahwa Modernitas mengklaim dirinya bukan sekadar cerita, melainkan menawarkan sesuatu yang melampaui cerita. Suatu kebenaran tunggal yang ultimat, yang ada di atas segala cerita yang berbeda dari berbagai peradaban. Dia bukan lagi cerita, melainkan suatu abstraksi murni nalar manusia yang berlaku universal tak terkecuali, menembus kurun waktu maupun lokasi tempat. Zaman mitos dan cerita sudah berakhir, kebenaran yang lebih tinggi dan akurat, yang netral dan tidak memiliki bias dari sudut pandang lokal sudah ditemukan. Melalui kesatuan di bawah pimpinan nalar manusia ini maka pastilah manusia mencapai puncak potensi dan kejayaannya. Manusia terus maju dalam mengetahui, memaknai, menilai seluruh realitas menurut ukuran nalar manusia sendiri.
Yang menarik mengenai gambaran ideal Modernitas di atas, dia bukanlah sekadar iman pada sekumpulan gagasan ideal semata. Dia tetaplah kumpulan gagasan yang membentuk sebuah Cerita Besar. Cerita Besar yang mengklaim bahwa semua Cerita Besar lain tidak cukup besar dan tidak layak merepresentasikan “kenyataan” yang sesungguhnya. Dalam peradabaan-peradaban kuno, bangsa-bangsa saling mengklaim bahwa Creational Myth (Mitos Penciptaan) dan Kosmologi mereka merupakan yang “kenyataan” yang sesungguhnya. Meskipun demikian, mereka umumnya membatasi “wilayah berlakunya” Cerita Besar mereka pada ruang lingkup bangsa mereka sendiri. Di dalam cerita-cerita yang ditemukan dalam Kitab Suci, hanya ada satu cerita yang memberikan pada kita suatu cita-cita yang mirip dengan Modernitas Barat di atas. Perhatikan kisah Menara Babel di bawah ini:
Kejadian 11
11:1 Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. 11:2 Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. 11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik.” Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat. 11:4 Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” 11:5 Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, 11:6 dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. 11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” 11:8 Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. 11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.
Middleton dan Walsh menafsirkan bahwa ada kemiripan kedahsyatan aspirasi antara para pencetus Modernitas dengan Menara Babel. Ada suatu impian untuk bukan sekadar menjadi salah satu cerita dari sekian banyak cerita yang ada, namun sesuatu yang melampaui segala cerita yang pernah ada. Sesuatu yang akan terpisah dan menjadi titik referensi yang ultimat. Bukan hanya demikian, ada ambisi untuk mempertahankan kesatuan seluruh umat manusia untuk tujuan yang tertinggi, dan cita-cita ini diyakini dapat tercapai dengan modal kohesi sosial dan budaya, dimulai dengan memiliki satu bahasa yang sama.
Teman-teman pemuda tentu sebagian besar sudah tahu, bagaimana Cerita Besar yang diwujudkan lewat pembangunan Menara Babel berakhir. Gagal sebelum berhasil diselesaikan. Sebagai pengajar sejarah seni rupa, desain, dan arsitektur, saya menemukan bahwa Cerita Besar selalu membutuhkan wujud atau representasi dalam bentuk bangunan. Setiap agama membutuhkan tempat dan bangunan sakralnya, setiap raja, diktator, aliran, ideologi membutuhkan monumennya. Bangunan adalah alat bercerita, seringkali menjadi simbol kejayaan dan identitas sekelompok manusia. Arsitektur menara, khususnya, sepertinya memiliki pesona tersendiri bagi manusia modern. Lalu bagaimana dengan Modernitas? Apakah Modernitas Barat berhasil mewujudkan cita-citanya? Middleton dan Walsh dalam tafsirannya menganalogikan sejarah Modernitas dengan proses pembangunan Menara Babel. Dalam bagian kedua saya akan mencoba menggunakan analogi Menara Babel Middleton dan Walsh untuk menceritakan ulang apa yang terjadi. Kita akan bersama-sama melihat bagaimana “bahasa” yang sama dari Modernitas sukses membangun menara Modernitas selama hampir 5 abad, sebelum pada zaman Posmodern, berbagai kegagalan, kerusakan kesatuan “bahasa” tersebut membawa krisis yang saat ini kita alami bersama.
Bersambung dalam Musafir Iman di Abad Posmodern: Krisis Zaman Kita (2)
Elya Kurniawan Wibowo
GRII BSD