Introduksi
Artikel ini merupakan refleksi dan sharing yang terinspirasi oleh buku Truth Is Stranger Than It Used to Be: Biblical Faith in a Postmodern Age, sekuel buku The Transforming Vision: Shaping a Christian Worldview, karya J. Richard Middleton dan Brian Walsh. Refleksi dan sharing ini dilakukan bersama para Pemuda GRII BSD di bulan Agustus 2024. Refleksi ini terbagi menjadi dua kelompok bahasan besar, dalam bagian pertama sampai keempat, saya mencoba untuk mengidentifikasi terlebih dahulu apa yang disebut sebagai kondisi Posmodern ini. Dalam bagian kelima dan keenam, Metanarasi Alkitab Perjanjian Lama untuk Jeritan Posmodern 1 dan 2, Yenty Rahardjo akan mengajak kita untuk bergumul dengan Kitab Suci, melihat bagaimana Kitab Suci dapat memberikan dasar bagaimana kita dapat merespons secara benar abad di mana kita saat ini hidup. Bagian kelima dan keenam dapat dibaca terpisah sebagai pembelajaran Kitab Suci yang merespons analisis kondisi Posmodern di bagian pertama hingga keempat.
Krisis Zaman Kita: Posmodern
Pada bagian pertama kita sudah menelusuri sejarah bagaimana modern berbeda dengan zaman pra-modern sebelumnya. Kita juga sudah mencoba membandingkan antara zaman pra-modern dan modern dengan menggunakan kosakata yang sama untuk memudahkan melihat perbedaan dan kesamaannya. Pada bagian ini kita akan melanjutkan dengan analogi Menara Babel yang diberikan Middleton dan Walsh. Cerita bagian kedua ini ibarat mengikuti pembangunan menara modernitas tersebut, mulai dari fondasi menara yang dimulai di abad ke-15, sampai kepada saat di mana pembangunan menara ini terhenti oleh kehancuran kesatuan dan bahasa yang mereka gunakan. Posmodern dapat kita baca sebagai saat di mana kesatuan bahasa yang memungkinkan zaman modern mendominasi selama hampir 5 abad kehilangan dukungannya.
Lantai Dasar Modernitas: Sains
Dimulai dengan bangkitnya Revolusi Sains di abad ke-16 dan abad ke-17 di Eropa, sains hingga saat ini menjadi fondasi dari gagasan perkembangan terus-menerus (progress), salah satu esensi dari Cerita Besar Modernitas. Kita dapat melihat bagaimana tokoh-tokoh sains seperti Francis Bacon meletakkan dasar dari metode saintifik yang kita gunakan hampir dalam segala sesuatu. Lantai pertama ini membangun suatu asumsi dan optimisme akan proyek besar pembangunan modernitas. Dari keberhasilan manusia mengetahui segala sesuatu melalui sains, bangkit mitos akan kepastian akal budi manusia dalam mengetahui segala sesuatu, dan ada suatu keyakinan yang begitu besar bahwa sains selalu berhasil dan benar dalam menjawab semua pertanyaan yang ingin diajukan oleh manusia. Orang yang dididik untuk mengimani modernitas cenderung menekankan bukti dalam relasinya dengan mengetahui segala sesuatu. Sampai saat ini, sains masih sering ditempatkan lebih tinggi dari segala perspektif yang dihasilkan oleh ranah pengetahuan lain. Sains dianggap melampaui kepercayaan religius, dianggap menggantikan segala ketidaktahuan manusia yang ditemukan dalam agama. Lantai pertama ini memberikan pengetahuan dan pemahaman.
Lantai Kedua Modernitas: Teknologi
Setelah Revolusi Sains pada abad ke-17, tiba abad ke-18 yang disebut sebagai Abad Pencerahan. Cerita Besar Sains mencatat abad ini sebagai zaman di mana rasionalitas sains telah menghasilkan buahnya, dan manusia akhirnya dibebaskan dari masa kegelapan dan kebodohan takhayul dan berbagai keyakinan yang tidak berdasar. Abad ke-18 juga merupakan abad Revolusi Industri, abad mesin, peralihan peradaban menuju industrialisasi, teknologi, dan produksi massal. Revolusi Industri dan kemajuan teknologi dirayakan dan dielu-elukan sebagai salah satu tonggak pencapaian peradaban manusia yang membawa manusia satu lantai lagi makin mendekati cita-cita modernitas. Keyakinan akan kepastian kemajuan (progress) ini sedemikian kuat sampai akhir abad ke-20. Bagi generasi Baby Boomers dan generasi X, mereka hidup umumnya dalam asumsi bahwa yang lebih baru pasti lebih baik dari yang lama. Tanpa sadar, seluruh orientasi nilai hidup kita sudah didikte oleh Cerita Besar Modernitas dalam pilihan-pilihan keseharian. “Yang lebih baru pasti lebih canggih”, “lebih cepat lebih baik”, dan masih banyak lagi ucapan-ucapan yang seakan disetujui semua orang tanpa berpikir lagi. Teknologi masih menjadi objek iman dari sebagian besar orang modern, para tokoh teknologi menjadi pahlawan dan idola banyak orang. Cerita-cerita mengenai tokoh-tokoh penemu teknologi menggantikan cerita mengenai orang baik, martir, dan pembela keadilan dari zaman sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Borgmann, cerita-cerita tersebut sudah kalah menarik dibandingkan dengan cerita-cerita modernitas yang menggantikannya. Mengapa demikian? Karena keyakinan akan kebenaran Cerita Besar Abad Pertengahan sudah perlahan disingkirkan oleh Cerita Besar baru modernitas. Lantai kedua ini memberikan kekuasaan melampaui batas-batas fisik manusia. Manusia dengan perpanjangan kapasitas melalui teknologi kini dapat melakukan apa yang dahulu hanya dapat dilihat dalam alam supranatural. Manusia kini dapat memproyeksikan kehendak dan hasratnya melampaui batas-batas fisik dan materiel tubuhnya. Kini manusia dapat menguasai lingkungan dan alam ciptaan.
Lantai ketiga: Ekonomi
Apa yang dilakukan oleh manusia ketika pembangunan modernitas telah mencapai lantai yang kedua? Menggunakan pengetahuan, pemahaman dan kekuasaan manusia dengan percaya diri, berusaha mewujudkan cita-citanya akan kejayaan (nama besar) dan kemakmuran (kesejahteraan dalam segala bentuk kualitas hidupnya). Sains dan teknologi kini disubordinasikan di bawah kepentingan ekonomi, untuk melayani hasrat ekonomi akan kekayaan, kenikmatan. Ekonomi pasar menggantikan sistem ekonomi Abad Pertengahan yang feudalistik, semangat entrepreneurship menjadi simbol dari kualitas hidup seorang manusia. Indikator-indikator keekonomian menggantikan semua standar dan indikator lain untuk menilai keyataan hidup seorang manusia. Indikator ekonomi bukan hanya diberlakukan di wilayah ekonomi, namun juga masuk dan menjajah seluruh ranah pengetahuan dan aspek kehidupan manusia yang lain. Tidak ada wilayah yang tersisa untuk digunakan mencapai cita-cita masyarakat yang ideal. Pertumbuhan dan keberhasilan ekonomi menjadi bagian dari identitas seseorang, sejak saya lahir saya akan dinilai berdasarkan apa yang saya kenakan, apa yang saya makan, berapa nilainya. Ketika saya bekerja, saya sepenuhnya akan dinilai dari berapa keuntungan ekonomi yang saya bisa hasilkan. Ketika saya menjadi bagian dari masyarakat, saya dikategorisasikan berdasarkan strata pendapatan. Bahkan negara sekalipun, seluruh asumsi dan strategi geopolitik antar umat manusia dibedakan dan dijalankan berdasarkan asumsi ekonomi.
Dari Otonomi ke Kecemasan
Suatu peradaban yang begitu percaya diri dan yakin akan kejayaannya sendiri menatap masa depan dengan begitu optimistis. Homo autonomous (manusia adalah mahluk yang sepenuhnya otonom). Eropa pada puncak kejayaan modernitas di abad ke-19 ditandai dengan kemakmuran yang melimpah dari kolonialisme dan Revolusi Industri. Seakan tidak ada yang dapat menggulingkan prinsip kemajuan (progress) yang diyakini. Sepertinya tidak ada yang dapat gagal dalam pembangunan menara modernitas ini. Lalu apa sebenarnya yang terjadi sehingga zaman berubah menjadi seperti saat ini?
Problem dari modernitas adalah bahwa segala gagasannya bukan merefleksikan kenyataan atau realitas yang sejati. Modernitas adalah “kenyataan” yang semu, yang menutupi, mereduksi, membatasi segala sesuatu yang tidak ingin dilihatnya. Modernitas bukan fakta yang bisa dibuktikan, namun iman pada kemampuan manusia. Apakah salah meyakini kapasitas dan kemampuan manusia? Bukankah sudah terbukti betapa dahsyat kemajuan peradaban dunia yang dihasilkan, buah dari modernitas? Di manakah kesalahannya? Ketiga lantai menara yang dibangun tadi berubah menjadi ilah dari zaman modern. Teman-teman mungkin sudah merasakan ini ketika membaca deskripsi yang saya berikan sebelumnya. Terjebak dalam keyakinan mutlak akan otonomi manusia, sains, teknologi, dan ekonomi berubah menjadi ilah zaman modern. Middleton dan Walsh menggambarkannya seperti ini:
Menara modernitas dibangun di atas dasar otonomi manusia, suatu kebebasan untuk menentukan sendiri secara radikal. Ini bukanlah sesuatu yang valid, yang membebaskan, namun ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan dalam Kejadian 3 mengenai dosa yang menyebabkan kematian: otonomi. Mendeklarasikan independensi kita secara moral dari Pencipta kita dan mendeklarasikan diri kita sendiri sebagai tuan atas nasib kita, memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Ketika kita mencoba mengatasi segala norma yang diberikan Allah, kita juga kemudian mengangkat keyakinan kita akan “ketidakterbatasan akal budi manusia” sebagai pengganti Allah. Ketiga lantai menara modernitas menghasilkan ilahnya masing-masing. Ilah saintisme, ilah teknisisme, ilah ekonomisme.
Ilah saintisme berkorespondensi dengan keyakinan iman modern bahwa sains berfungsi sebagai sumber pewahyuan yang serba mengetahui, dan merupakan satu-satunya otoritas atas segala pengetahuan, yang artinya otoritas untuk menilai apa yang penting, yang benar, dan yang berharga. Ilah teknisisme berkorespondensi dengan keyakinan iman modern bahwa terjemahan dari pengetahuan saintifik adalah kuasa dan kekuatan manusia untuk mencapai apa pun yang kita inginkan. Ilah ekonomisme adalah mahkota dari berhala modern, berkorespondensi dengan keyakinan iman manusia bahwa peningkatan kualitas hidup secara ekonomi adalah tujuan ultimat dari hidup manusia dan satu-satunya jalan menuju ke kebahagiaan dan harmoni sosial.
Masalah dari semua ilah adalah bahwa mereka adalah allah yang palsu dan tidak sanggup menyelamatkan manusia. Apapun berkat dan kejayaan yang dijanjikan berakhir dengan kematian. Bukan hanya keyakinan diri atas otonomi manusia tidak lebih stabil dari patung berhala masa lampau, bangunan apa pun yang dibangun di atas dasar fondasi ini tidak pernah sanggup menahan beban berat ekspektasi menara yang sedang dibangun. Menara ini runtuh pada awal abad ke-20, secara berturut-turut dunia Barat berhadapan dengan Perang Dunia I tahun 1914-1918, kemudian Depresi Ekonomi 1930-an. Bahkan setelah para tokoh peradaban Barat mendeklarasikan bahwa Perang Dunia I adalah perang besar terakhir, Perang Dunia II pecah tidak sampai 20 tahun kemudian. Holocaust dan kehancuran bom atom di Hiroshima dan Nagasaki membunuh perdamaian yang dijanjikan. Eksistensialisme bangkit di Eropa, baik dari kalangan Kristen maupun atheis, mempertanyakan arti dan makna hidup manusia di zaman modern. Meskipun diselingi sejenak dengan bangkitnya optimisme dunia Barat, setidaknya di Amerika Utara di era 1950-an, segala kehancuran baru muncul di tahun 1960-an, diikuti pergolakan perlawanan budaya yang dilakukan generasi muda saat itu. Segala gejolak tersebut menelanjangi segala kekejian dibalik ilusi kemajuan Eropa dan Amerika, kerusakan lingkungan, eksploitasi pekerja industri di bawah umur, perbudakan, kolonisasi, ideologi-ideologi, pemusnahan etnis, fragmentasi dan tribalisasi seluruh dunia. Pada akhir abad ke-20 segala optimisme dan ilusi akan kemajuan yang tidak terhenti sudah berakhir. Mitos modernitas sudah kehilangan pendukungnya di semua lini, ranah ilmu pengetahuan. Bahkan generasi Baby Boomers yang sempat menikmati mimpi ini di dekade 1950-1960-an tidak melihat hal yang sama dialami oleh generasi anak dan cucu mereka, dunia yang tadinya menawarkan penuh kepastian menjadi makin tidak menentu.
Salah satu yang paling mengerikan adalah goncangnya segala landasan normatif dalam berbagai aspek hidup. Apa yang dahulu dibangun dilandasi mitos modernitas dan diajarkan, disebarkan, dipercayai dalam seluruh peradaban kini tergoncang dan banyak yang tidak bisa dipertahankan. Bukan hanya landasan, semua kosakata modern yang kita gunakan untuk membayangkan apa itu “kenyataan” kehilangan kekuatan maknanya. Cara kita menjelaskan dan menceritakan “kenyataan” makin tidak bisa diterima dalam dunia yang makin kehilangan kesatuan bahasa untuk memahami “kenyataan”-nya.
Saya akan menutup cerita panjang ini dengan satu pertanyaan: apakah kekristenan luput dari zaman modern ataupun posmodern? Jawaban singkat: tidak sama sekali. Kekristenan dan Kitab Suci berbicara mengenai Allah kita yang berdaulat, yang melampaui batas-batas realitas dunia ciptaan, namun pada saat yang sama adalah Allah yang masuk dan berkarya di dalam sejarah, dalam batas-batas ruang dan waktu. Pekerjaan Allah dalam sejarah tidak kemudian memanggil orang-orang Kristen dan Gereja-Nya untuk tidak berada dalam sejarah, bukan bagian dari perjalanan peradaban manusia ini. Allah memanggil orang-orang Kristen dan Gereja-Nya untuk setia terhadap firman dan kebenaran-Nya, masing-masing pada masa dan zaman di mana Tuhan mempercayakan kehidupan tersebut. Kondisi posmodern ini menuntut orang-orang Kristen dan Gereja Tuhan bukan mengutuki zaman ini, namun melayani dan setia di tengah krisis yang sepenuhnya terjadi dalam kedaulatan Allah atas masa ini.
Pengalaman hidup saya sebagai generasi X yang bergumul dengan kedua zaman ini selama dua puluh tahun terakhir? Terlalu banyak orang Kristen dan gereja yang masih menghidupi kekristenan yang tidak sepenuhnya berdiri di atas firman dan pimpinan Roh, melainkan berpijak secara tidak sadar pada ilah-ilah modernitas. Kekristenan dan gereja-gereja seakan mendeklarasikan nama Allah Tritunggal, sambil berdiri di puncak Menara Babel Modernitas. Mengapa bisa terjadi demikian? Dalam banyak kasus, kita tidak rela melepaskan ilah-ilah zaman Modernitas yang selama ini “meminjamkan” landasan keyakinan dan kepastian kita mengenai “kenyataan” dan juga kebenaran Kitab Suci. Apakah landasan pinjaman itu? Ada banyak landasan pinjaman yang asing yang kita gunakan. Asumsi mengenai kemajuan terus menerus misalnya, saya ingat sekali ada masa di mana persekutuan dan gereja mengajarkan, bahkan menghakimi pergumulan seorang Kristen ketika ia jatuh bangun dan jujur menangisi dosanya. Ada banyak ekspektasi modernitas yang sudah dikawinkan dengan kebenaran Kristen selama seratus tahun terakhir, kesuksesan ekonomi dan kemakmuran sebagai indikator spiritualitas hanyalah salah satu dari berhala modernitas yang berhasil dibaptiskan masuk ke dalam gereja. Teologi kemuliaan dalam pencapaian hal-hal spiritual sebagai monumen dari kejayaan politik, sosial, budaya, ekonomi, pengetahuan kekristenan juga masih sangat umum ditemukan. Kosakata kepastian dalam iman masih sering tidak digunakan atas dasar dari ketergantungan mutlak akan kedaulatan dan kasih Allah Tritunggal, namun tanpa disadari justru dibangun diatas keangkuhan penalaran dan argumentasi theologis dan ilmu pengetahuan semata. Kita yakin sebenarnya karena nalar kita dipuaskan, bukan karena kesadaran akan keberdosaan kita, diikuti dengan ketakjuban akan kedaulatan dan kasih karunia Allah. Selama orang-orang Kristen yang dipanggil untuk melayani zaman posmodern tidak rela terlebih dahulu menelanjangi diri dari semua landasan dan jaminan kepastian yang salah, jangan harap kita bisa melayani dunia yang sudah begitu kehilangan kepercayaan akan Cerita Besar Modern tersebut. Apa yang lebih kita butuhkan saat ini bukanlah sebatas menghakimi zaman ini (pesan ini khususnya bagi generasi yang sebagian besar hidupnya hanya mengenal modernitas sebagai “kenyataan”), namun meratapi dan mendoakannya. Bergumul dengan tanda-tanda zaman dan bahkan bersyukur bahwa ilah-ilah zaman telah berakhir dengan penghakiman Allah. Dalam keterserakan dan ketakutan yang amat sangat ini, biarlah anak-anak Tuhan mengakui keterlibatan dan partisipasinya dalam berbagai ilah modernitas yang sudah kita kawinkan dengan kebenaran Tuhan, biarlah kita mohon ampun, menangisi zaman ini, dan memohon hikmat dan kedaulatan Allah memimpin kita menavigasi zaman yang serba tidak menentu ini. Hanya dengan kembali pada Cerita Besar Allah yang sudah dibersihkan dari segala kotoran mitos Modern, maka The Greatest Story Ever Told akan berkumandang kembali di dunia yang sangat membutuhkannya. Coram Deo. Soli Deo gloria.
Bersambung dalam Musafir Iman di Abad Posmodern: Kenyataan Sudah Tidak Seperti Dahulu Lagi (3)
Elya Kurniawan Wibowo
GRII BSD