Music, Message, and Cultural Mandate

Di dalam seni terdapat berbagai kategori, seperti seni tari, seni lukis, seni suara, seni musik, dan banyak lainnya. Dengan dukungan teknologi, bentuk seni pada zaman ini menjadi semakin luas dan beragam. Salah satu contoh produk dari perkembangan ini adalah video atau film. Video adalah bentuk seni yang umum di kalangan masyarakat dan menjadi alat untuk menyampaikan sesuatu, baik pemikiran filosofis, penelaahan biologis, perhitungan matematis, pertunjukan seni, pertentangan politis, dan sebagainya. Begitu pula dengan seni musik yang terkenal di kalangan umum akhir-akhir ini (alias musik pop) yang menunggangi video baik sebagai alat penyampaian maupun untuk tujuan komersial. Sehingga musik tidak hanya serangkaian nada, ritme, dan lirik, tetapi juga seni perfilman. Musik yang dahulu hanya dinikmati melalui indra pendengaran, sekarang, dengan perkembangan layar dan rekaman, dapat juga dinikmati dengan mata–music video.

Berkaitan dengan hal ini, Leonard Meyer memberikan dua pembagian dalam menilai musik: referential dan embodied. Referential berarti sebuah musik diciptakan untuk sebuah tujuan yang “extra-musical”, seperti ritual keagamaan, nasionalisme, memori pribadi, dan lainnya. Embodied artinya lebih melihat kepada hal-hal abstract, seperti tension dan resolution yang dihasilkan dari permainan ritme, nada, harmoni, warna suara, dan kaitan dengan yang lainnya.[1]

Semua musik pasti memiliki unsur referential. Contohnya, musik zaman dahulu, seperti Dvořák, Glinka, dan Mussorgsky yang diciptakan pada abad ke-19 juga sebenarnya memberikan bau nasionalisme. Atau Flamenco Spanish Caravan memberikan gambaran eksotik negara Spanyol dan style Blues di awal era Rock. Penyanyi seperti The Rolling Stones dan The Yardbirds dikenal sebagai pengusung tema hedonistik dan mencampurkan kultur antara Blues dan Afro-American. Gaya musik juga kadang ditunggangi untuk nilai yang lebih abstrak seperti kreasi dalam rangkaian notasi. Misalnya, Jazz Bossa Nova sebenarnya bukan memiliki intensi memperkenalkan pantai-pantai yang ada di negara Brasil, tetapi sebenarnya sedang berusaha untuk mencari gaya komposisi ritme yang berbeda dari biasanya. Singkatnya, referential dan embodied merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan dari terciptanya sebuah musik.

Seiring berjalannya waktu, perhatian kepada nilai-nilai musik yang abstrak (embodied) akhirnya memudar dan lebih memikirkan nilai referential-nya. Lagu-lagu yang dibuat pada masa kini lebih mudah dicerna dan didengar oleh masyarakat umum guna menyampaikan tujuan referential yang lebih besar. Dengan kata lain, mereka tidak terlalu memperhatikan kerumitan dari notasi, tetapi memperhatikan pesan yang mau disampaikan lewat lagu tersebut. Lirik yang diulang-ulang, didukung dengan nada yang tidak rumit, dipakai untuk “mencuci otak” pendengar akan definisi baru. Ditambah lagi dengan music video yang membuat pesan dari sebuah lagu tersebut semakin jelas dan lebih menempel pada para konsumer. Kekuatan musik yang bercampur dengan visual sangatlah kuat.

Kekuatan musik sudah diakui sejak berabad-abad sebelum Masehi di Yunani, terlihat dari terimplementasikannya 7 subjek liberal arts yang salah satunya adalah musik. Seorang filsuf dari Yunani mengatakan bahwa dari seluruh seni, musik adalah yang paling abstrak tetapi paling bisa memengaruhi manusia secara langsung tanpa membutuhkan kesadaran manusia yang penuh. Dengan kata lain, seorang individu tidak perlu menganalisis sebuah lagu terlebih dahulu untuk mendapatkan pengaruh lagu tersebut. Dengan memutarkan lagu sekali, kita dapat langsung menilai apakah itu mengandung atmosfer senang, menegangkan, menyedihkan, kebencian, atau yang lainnya. Kekuatan musik juga mempermudah manusia untuk mengingat sesuatu. Seperti ketika kita di sekolah minggu, diajarkan sebuah lagu bertajuk anak-anak Yakub ketika mendapatkan tugas untuk menghafalkan keluarga besar Israel. Selain musik, visual juga memiliki kekuatan yang serupa, misalnya pengaruh pornografi terhadap mental seorang anak. Kedua prospek yang memiliki kekuatan yang sangat besar, ketika digabungkan akan memengaruhi masyarakat secara masif, seperti music video. Melihat hal ini, banyak kelompok memakai cara ini untuk menyalurkan ide-ide mereka dan memengaruhi orang lain.

Contoh musik yang lagi trending sekarang (tercatat dalam Billboard) adalah band Maroon 5 dengan lagu remix-nya Girls Like You ft. Cardi B. Nada dan lirik yang diulang-ulang didukung dengan pengiring yang sederhana membuat pendengar sulit lepas dari nada tersebut (ear worm). Penyajian music video juga sangat sederhana; Adam Levine berada di tengah dan ia sedang bernyanyi dan di belakangnya berdiri perempuan yang berbeda-beda. Perempuan-perempuan tersebut adalah perempuan yang berhasil di dalam bidangnya. Mereka mewakili beberapa bidang: perfilman, talk show, olahraga, agama, LGBT, keluarga, dan sebagainya.

Contoh yang serupa oleh penyanyi lain adalah Jessie J dalam lagunya Queen. Lirik yang diharapkan menjadi anthem bagi para perempuan, “I love my body, I love my skin, I am a goddess, I am a queen,” mengkritik definisi keindahan perempuan yang umum. Melodi dan lirik yang mudah dan berulang-ulang membuat lagu tersebut menempel di pikiran. Dalam music video-nya ditampilkan berbagai macam “jenis” perempuan, dari berbagai ukuran, warna kulit, ras, dan lainnya.

Dua contoh ini sebenarnya menyampaikan satu gagasan yang sama, yaitu feminisme. Yang mereka sedang perjuangkan adalah menaikkan martabat perempuan di tengah masyarakat. Perempuan tidak boleh malu terhadap dirinya sendiri. Perempuan harus bangga dengan apa yang ia punya. Perempuan tidak hidup berdasarkan penilaian para lelaki. Perempuan harus memiliki standar, kategori, dan penilaian yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki adalah sama, inilah yang dikenal sebagai equality between genders.

Postmodern feminism rejects a dualistic view of gender, heteronormativity, and biological determinism, pointing to the inseparability of the body from language and social norms.

Postmodern feminists argue against the assumption that all women share a common oppression; this assumption has, unwittingly totalized and naturalized the category of “woman” into a white, heterosexual, middle-class, able-bodied, young- to middle-aged norm.

Ide ini tidak terlepas dari sejarah perlakuan masyarakat terhadap perempuan. Dalam sejarah, perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah dan lemah daripada laki-laki. Pada masa lampau, perempuan tidak bisa mendapatkan pendidikan, tidak memiliki hak suara, tidak bisa bekerja, dan sebagainya. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan yang Alkitab ajarkan, bahwa semua manusia adalah sama, baik laki-laki maupun perempuan. Perjuangan untuk perempuan mendapatkan posisi di kalangan masyarakat sangatlah penting. Tetapi permasalahannya, ketika feminisme meneriakkan kesamaan, perlu kita kaji lebih lanjut, apa itu sama?

Kekristenan percaya perempuan berbeda dari laki-laki—berbeda dalam kekuatan, kemampuan, dan tugas. Perbedaan ini tidak berarti inequality. Berbeda dengan kaum feminis yang percaya bahwa kesamaan (equality) tidak dapat dicapai tanpa kesamaan (sameness).[2] Lebih dari itu, feminisme yang radikal bahkan memperjuangkan hak, status, dan keberadaan yang melampaui laki-laki dan tidak membutuhkan laki-laki sama sekali.

Dari sini kita belajar bagaimana media sangat berkuasa memengaruhi dan sudah sangat dipakai oleh dunia untuk merasuki masyarakat luas dengan gagasannya yang bukan Kristen. Di sisi yang lain, kita juga perlu refleksi, di mana orang Kristen selama ini? Sering kali kita hanya sibuk pelayanan di dalam gereja, mencoba menjadi seorang Kristen yang baik di dalam gereja, tetapi lupa bahwa ada peperangan di luar yang harus dihadapi. Filsafat yang melawan ajaran firman Tuhan telah membungkus dirinya dengan begitu indahnya sehingga kebanyakan orang lebih cenderung memilih filsafat ini daripada Injil. Injil yang kuno tidak lagi menarik untuk didengarkan, karena sudah ketinggalan zaman.

Dunia begitu besar sehingga Tuhan Yesus tidak mau murid-murid-Nya hanya tinggal di dalam Yerusalem dan puas dengan jemaat dengan jumlah seperti itu. Kerajaan Allah harus dihadirkan sampai ke seluruh dunia. Karena itu, Tuhan Yesus memberikan mandat untuk pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat. 28). Kalimat ini tidak hanya menginisiasikan pergerakan mandat Injil–mengajak orang untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat satu-satunya, tetapi ayat ini juga merujuk kepada keseluruhan hidup yang mencakup setiap bidang di mana Tuhan menaruh kita agar bersaksi bagi-Nya. Filsafat dunia bisa dengan begitu indah dan menariknya memakai berbagai macam bentuk untuk menularkan gagasannya kepada setiap orang. Jika orang Kristen hanya bergerak di dalam, eksklusif, dan tidak berusaha membuat Injil nyata melalui setiap tindak tanduk kita agar orang lain tertarik untuk melihat kepada kekristenan, sebetulnya kekristenan kita adalah mandul adanya. Kita gagal menjadi saksi Kristus!

Menjalankan mandat ini perlu dimulai dengan memperkaya diri kita dengan firman Tuhan sekaligus dengan bidang-bidang yang Tuhan berikan untuk kita kerjakan. Di dalam lingkup bidang seni, tidak semua hal adalah baik. Maka sangat penting bagi setiap kita untuk bisa membedakan seni mana yang lebih baik, mana yang kurang. Memang di dalam dunia ini tidak ada yang benar-benar sempurna, seperti makanan tidak ada yang pernah benar-benar sehat. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh makan apa saja, termasuk makanan yang tidak sehat. Begitu juga dengan seni yang kita “makan”. Seni yang sehat adalah yang bisa menutrisi kita akan keindahan sesuai dengan tanda alam yang Tuhan berikan, membuat emosi kita lebih stabil, serta membuat kita dapat diasah pikirannya, dengan rasa yang lebih tajam dan dalam. Berbeda dengan seni postmodern sekarang yang sangat menekankan kuantitas tetapi kehilangan ketajaman dan kedalaman, sehingga alhasil semuanya dangkal.

Dalam Gerakan Reformed Injili, Pdt. Dr. Stephen Tong sudah secara langsung memberitahukan dan menghimbau kita semua untuk “makan” makanan seni yang sehat. Beliau sadar bahwa makanan yang sehat ini harus dikonsumsi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pemikiran seperti ini, Pdt. Stephen Tong mengadakan Grand Concert Tour 2017 dan 2018. Meskipun hanya sekali dan kemungkinan tidak akan ada kedua kalinya di kota yang sama, paling tidak GCT akan membuat sebagian orang mulai sadar akan seni yang sehat dan baik. Berharap dengan adanya semacam shock therapy ini dapat memicu generasi penerus bangsa dan gereja mulai sadar akan tanggung jawabnya dalam memperjuangkan seni yang baik di kotanya masing-masing.

Sarah Charista
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] Meyer, L. 1956. Emotion and Meaning in Music (Chicago), p.1-3.
[2] Throw Like a Girl.