Nasionalisme Datuk Meringgih dan Fighting Spirit Kita

Jika namanya tidak menjadi judul novel, mungkin ketenaran Siti Nurbaya tidak akan melampaui Datuk Meringgih. Orang Indonesia hampir dapat dipastikan lebih mengenal sifat Datuk Meringgih daripada Siti Nurbaya. Banyak yang tahu bahwa Datuk Meringgih itu kurus, jelek, licik, jahat, dan pelit, tetapi mereka belum tentu tahu bahwa Siti Nurbaya itu matanya seperti janda yang baru bangun dari tidur, kulitnya kuning langsat, pintar berpantun, polos, tetapi otaknya tidak cemerlang.

Di sepanjang novel itu, penokohan yang dilakukan Marah Rusli atas Datuk Meringgih sangat konsisten, kecuali kejutan di bagian belakang yang menjadi bahan pembicaraan seru di antara kritikus sastra. Jika kita hanya membaca bagian akhir dari penceritaan tentang Datuk Meringgih, tentulah kesan kita terhadapnya akan berbeda 180 derajat. Datuk Meringgih mengangkat senjata membela tanah air untuk melawan kompeni Belanda. Sementara itu, Samsulbahri yang dari awal menjadi protagonis telah menjadi opsir kompeni untuk memberantas pemberontakan-pemberontakan oleh orang Indonesia yang merebak di sana-sini. Banyak kritikus yang menunjukkan ini sebagai kelemahan atau ketidak- konsistenan penokohan oleh Marah Rusli.

Namun, jika diteliti lebih jauh, sebenarnya masih terdapat konsistensi dalam penokohan dua orang tersebut. Dalam renungan ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk memikirkan tokoh Datuk Meringgih. Mari kita mundur ke saat sebelum kakek tamak ini “membela” negeri tercinta Indonesia. Apa yang kita lihat di situ? Datuk Meringgih bangkit berdiri di pertemuan rapat warga dan bersuara untuk memprovokasi warga agar melawan Belanda karena Belanda memberlakukan wajib pajak bagi mereka. Marah Rusli menjelaskan motivasinya dengan gamblang, “Karena ia mengerti, kalau jadi dijalankan belasting[1] itu, tentulah ia yang banyak harus membayar.” Datuk Meringgih tidak rela uangnya dihisap oleh Belanda. Selama ini ia menjadi lintah darat di tengah-tengah masyarakat Minang dan entah sudah berapa banyak rumah tangga yang ekonominya dihancurkan olehnya. Ternyata cerita utuh dari Datuk Meringgih tidak seindah cerita parsialnya.

Dalam kehidupan bergereja, kita juga sering kali berinteraksi dengan orang lain dalam kepingan kisah hidup yang parsial. Saya ingin mengajak kita mengambil sebuah perspektif, bukan untuk melihat orang lain, tetapi mendiagnosis diri sebagai kemungkinan model Datuk Meringgih dalam gereja dan pelayanan. Bukankah mudah sekali untuk menampilkan sebuah keping kisah kehidupan kita kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang giat pelayanan dan cinta Tuhan? Apakah kita siap menampilkan kisah yang lengkap, yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya? Ingatlah, kita tidak dapat menipu Tuhan dengan kepingan-kepingan yang parsial. Dari dulu, Tuhan sudah melihat seluruhnya dan akan menghakimi kita berdasarkan cerita kita yang utuh.

[1] pajak