Sacred Music, Cantata, and Bach

Ada yang pernah mengatakan bahwa orang Kristen adalah pembohong terbesar karena mereka menyanyi dengan mulut mereka namun tidak dengan hati mereka. Orang Kristen memang sangat identik dengan bernyanyi. Liturgi ibadah kita penuh dengan nyanyian. Ada himne, nyanyian mazmur, doa yang dinyanyikan, seperti Doa Bapa Kami misalnya, atau beragam format musik yang memang dibuat untuk ibadah seperti mass/misa (biasanya terdiri dari lima bagian; Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus Dei), ataupun requiem yang banyak ditulis oleh komponis seperti W. A. Mozart, L. van Beethoven, F. Schubert.

Banyak sekali format musik yang berkembang di dalam gereja. Namun sering kali kita kurang bersungguh-sungguh dalam menyanyikannya ataupun mengertinya. Kita sering kali berpikir bahwa ibadah hanyalah tentang mendengarkan khotbah, dan mengabaikan unsur lain dalam ibadah. Padahal posisi musik dalam ibadah adalah untuk kita dapat makin memahami firman Tuhan yang biasa digunakan sebagai teks dalam musik-musik tersebut.

Kalau kita melihat ke belakang, jenis musik yang pertama berkembang adalah nyanyian. Selain memang karena adanya pengaruh gereja, juga karena instrumen musik masih belum terlalu berkembang. Salah satu yang mungkin kita kenal adalah Gregorian chant, yang merupakan musik monofoni (satu aliran suara) yang berisi teks berbahasa Latin. Sebenarnya banyak sekali jenis chant yang dipakai di dalam gereja, karena pada dasarnya chant berarti kata-kata yang dinyanyikan. Namun Paus Gregorius I adalah yang pertama mengumpulkan dan membuat standardisasi untuk liturgi gereja. Ada chant yang hanya dinyanyikan sekali tanpa pengulangan, ada yang dinyanyikan secara berulang untuk bait yang berbeda, ada yang dinyanyikan hanya oleh pendeta, ada yang responsorial (responsif)—yaitu pendeta dan umat yang menyahut, ada juga antiphonal—dua grup yang bergantian.

Di masa berikutnya yaitu Ars Antiqua (tahun 1100-an sampai 1300-an) dan Ars Nova (abad 14), bentuk polifoni (dua sampai empat alur suara) mulai makin berkembang. Dalam gereja, ada motet yang umumnya memiliki tiga alur suara yang polifoni (masing-masing sama pentingnya) dan berbeda teks (politekstual). Sedangkan secara sekuler, di Italia berkembang bentuk madrigal yang memiliki tiga sampai enam alur suara, dan tidak menggunakan teks Alkitab melainkan puisi pendek, seperti karya-karya dari Francesco Landini.

Setelah Reformasi oleh Martin Luther, musik gerejawi masih terus berkembang. Bentuk motet dan misa masih dipakai, namun muncul juga chorale di gereja non-Katolik. Luther percaya bahwa firman Tuhan tidak menjadi hidup jika kita tidak bisa memproklamasikannya dan mengontekstualisasikannya. Maka di sini musik tidak lagi seperti chant yang bersifat monodic (hanya sekadar kalimat yang dinyanyikan), tetapi para komponis di Jerman mulai mengembangkan jenis musik himne. Himne memiliki melodi yang lebih animated dan impassioned. Salah satu komponis yang terkenal pada zaman itu adalah Heinrich Schütz. Selain itu, teks dalam himne mulai menggunakan bahasa sehari-hari, bukan lagi bahasa Latin. Himne ini kemudian ditambah dengan alur suara lain secara homofoni (satu suara melodi dan yang lainnya harmoni) membentuk chorale.

Masuk ke dalam zaman Barok (1600-1750), mulai berkembang lagi berbagai macam jenis musik. Musik vokal dan polifoni masih terus ada, dan kini ada unsur emosi, harmonisasi, dan orkestrasi/instrumentasi. Unsur emosi maksudnya adalah penulisan musik yang sesuai dengan arti kata atau teks yang digunakan, dan juga menggunakan instrumen-instrumen yang dapat membangun mood atau suasana tertentu. Harmonisasi, di mana cadence penutup mulai berkembang sehingga tidak lagi terdengar hanya seperti kata-kata yang diberikan nada, dan pergerakan bas juga menjadi penting. Terkadang dalam format SATB, kita bisa melihat bahwa bas bisa memiliki pergerakan yang berbeda dari suara lainnya. Orkestra juga mulai berkembang seiring dengan perkembangan instrumen, khususnya alat musik gesek, walaupun dengan jumlah orang yang masih sedikit.

Karya untuk vokal dan orkestra yang berkembang di zaman ini adalah opera, oratorio, dan cantata (kantata). Opera dan oratorio lebih bersifat dramatis, menceritakan suatu cerita di mana para aktor menirukan berbagai karakter yang ada dengan cara berdialog. Kantata bersifat liris, lebih mengekspresikan pemikiran dan perasaan yang subjektif.

Di dalam opera, oratorio, dan kantata, terdapat berbagai format. Ada libreto yang adalah teks nyanyian opera; aria yang adalah nyanyian solo dari pemeran utama yang melodiousrecitative (dari bahasa Italia yang artinya recite, membaca) yang merupakan teknik menyanyi yang menyerupai orang bicara; overture yang adalah musik pembuka; dan tentunya juga chorale dalam karya yang sacred. Semua format ini merupakan bentuk pengembangan baik dari motet maupun madrigal. Meskipun di masa ini motet sudah dianggap “kuno”, namun prinsipnya masih terus digunakan. Salah satunya adalah prinsip polifoni di mana masing-masing teks memiliki bentuk melodinya sendiri, dan melodi ini dinyanyikan secara bergantian seperti sahut-menyahut antarsuaranya. Recitative juga biasa mengambil karakteristik madrigal yang mengizinkan kebebasan tanpa terlalu memikirkan baik bentuk musikalitas maupun aturan puitis yang digunakan seperti non-strophic poem. Format musik yang menggunakan recitative dan aria secara bergantian juga adalah bentuk chamber cantata yang berkembang di Italia, tempat di mana madrigal mulai berkembang.

Kalau kita mendengar kata “kantata”, mungkin yang langsung terlintas dalam benak kita adalah J. S. Bach. Dia memang membuat banyak sekali kantata. Dalam tradisi Lutheran, mereka menggunakan kalender liturgi yang berlangsung selama satu tahun, dan semasa hidupnya, Bach membuat kantata setiap minggu, selama lima siklus kalendar liturgi. Tentunya ada banyak kantata lain yang dibuat oleh komponis seperti Dietrich Buxtehude, Christoph Graupner, Gottfried Heinrich Stölzel, ataupun Georg Philipp Telemann. Karya mereka juga tidak kalah indah. Seperti misalnya Jesu meine Freude, meines Herzens Weide dari Buxtehude atau Jauchzet ihr Himmel, erfreue dich Erde dari Christoph Graupner.

Bach sendiri juga tidak hanya menulis sacred cantata. Ada juga yang sekuler. Misalnya Laß Fürstin, laß noch einen Strahl yang adalah funeral ode, atau Was mir behagt, ist nur die muntre Jagd, atau yang dikenal sebagai Hunting Cantata, dan tentunya salah satu yang terkenal adalah Schweigt stille, plaudert nicht, atau lebih dikenal sebagai Coffee Cantata.

Untuk liturgi dalam ibadah, Bach menulis kantata setiap minggunya selama sekitar lima sampai delapan tahun. Namun sayangnya, banyak sekali yang hilang. Hanya sekitar dua ratus kantata yang bertahan sampai hari ini. Setiap minggunya Bach menulis satu atau bahkan kadang dua kantata, dan kantata tersebut baru selesai satu atau dua hari sebelum saat penampilan. Kesannya memang Bach sangat terburu-buru dalam menyelesaikan kantata, namun nyatanya kita tidak pernah melihat adanya kritikan yang menghina Bach karena keterburu-buruannya tersebut. Malahan kita masih terus menyanyikan kantata-kantata tersebut sampai hari ini, karena memang Bach membuatnya dengan kerumitan yang tinggi dan makna yang mendalam.

Bach memang menulis kantatanya dengan terburu-buru. Memang ada orang yang betugas menjadi penyalin yang menyalin karya keseluruhan ke dalam part masing-masing orang atau instrumen, tetapi perubahan tetap ada di tangan Bach, sehingga kalau ia tidak sempat meninjau ulang, kesalahan tersebut tidak akan terdeteksi. Namun demikian, Bach selalu menginspirasi setiap musikus untuk meraih kesempurnaan secara artistik. John Eliot Gardiner pernah mengatakan bahwa Bach memahami bahwa makin sempurna sebuah komposisi diwujudkan, baik secara konseptual maupun melalui pertunjukan, makin Tuhan imanen dalam musik tersebut.

Kita pasti tahu bahwa dalam pelayanan, kita harus mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan. Namun sering kali kita menganggap waktu yang terbaik adalah allotting a lot of time to it. Padahal memang sering kali waktunya Tuhan bukanlah waktu yang tepat bagi kita. Jangan hanya karena takut nama kita tercoreng sebagai orang yang bisa salah atau orang yang amatir, kita jadi tidak melakukan pekerjaan Tuhan. Karena Tuhan tidak memanggil kita untuk menjalankan kehendak kita, tetapi untuk menjalankan kehendak Tuhan. Sama seperti Bach yang selalu menginspirasi orang untuk tetap meraih kesempurnaan secara artistik, biarlah dalam pelayanan kita, kita juga melakukannya sesempurna yang kita bisa dan menginspirasi orang lain untuk juga mengejar kesempurnaan.

Dalam waktu yang singkat, Bach tetap mampu membuat suatu karya yang kompleks. Ia mampu membuat polifoni seperti dalam motet ataupun madrigal, ia mampu menambahkan orkestrasi ke dalamnya, mampu membentuk harmonisasi yang membangun mood yang menggambarkan kata-katanya (word painting), dan bahkan terkadang bermain dengan pitches ataupun angka di dalam lagunya. Bach sering membuat musical cross menggunakan not B, A, C, H sebagai signature dalam lagunya. Atau menggunakan persis 166 not di dalam choral prelude “Wenn wir in hochsten Nöten sein“. Kalau kita memberikan angka kepada setiap alfabet sesuai urutannya (A=1, B=2), 166 adalah jumlah untuk kata “Johann Sebastian Bach”.

Dalam beberapa aspek, musik memang mengalami simplifikasi dalam perkembangannya. Salah satu alasannya adalah agar kita lebih mudah mengerti dan menangkap makna di balik musik tersebut. Namun, kemampuan memahami hal yang kompleks seharusnya berjalan beriringan dengan latihan dan pengetahuan yang kita miliki. Orang-orang di zaman Bach mampu menampilkan kantata hanya dengan latihan satu sampai dua hari karena memang mereka terbiasa dengan not dan format lagu seperti itu. Bagi kita di zaman ini, kita juga bisa membiasakan diri kita sehingga lebih mudah untuk menangkap bentuk-bentuk polifoni, pergerakan bas, word painting, atau mungkin musical cross yang dibuat oleh Bach.

Kompleksitas musik-musik Bach tidak seharusnya membuat kita meninggalkan karya-karya ini. Banyak hal yang dapat kita pelajari, baik secara musiknya maupun dalam proses kita mempelajari musiknya. Karena bagi Bach, inti dari musik adalah pengabdian kepada Tuhan. Untuk orang non-Kristen di zaman ini saja, musik Bach mampu mendorong mereka untuk memuliakan Tuhan yang mereka percaya. Apalagi bagi kita yang percaya kepada Tuhan yang satu-satunya?

Tetapi lebih daripada kompleksitas ini, salah satu kesulitan yang kita hadapi ketika kita menampilkan dan memaknai karya Bach adalah bagaimana kita mencapai kedalaman yang selfless dan sublime, di mana kita mampu menjadikan karya ini sebagai “milik” kita, dan kita juga turut mencurahkan kerinduan manusia akan Tuhan.

Dalam kehidupan rohaninya, Bach adalah orang yang memiliki relasi yang dalam dengan Tuhan. Ia selalu menulis “Jesus Juva” (Yesus menolong) di awal dan “SDG” (segala kemuliaan bagi Tuhan) di akhir setiap lagunya. Ia juga memiliki banyak commentary Alkitab yang menunjukkan bahwa ia banyak belajar untuk memahami Alkitab dengan sungguh. Menjadi musikus yang disiplin dan mampu mengerti banyak karya adalah hal yang baik, tetapi kita juga perlu live our lives. Kita perlu memiliki persekutuan dengan Gereja Tuhan, mempelajari theologi, dan bahkan menikmati keindahan dunia ini. Karena musik yang mampu menggugah hati kita bukanlah sekadar musik yang sempurna tanpa cela, tetapi adalah musik yang bisa communicate the truth.

Maka marilah kita tidak menjadi orang Kristen yang dangkal. Marilah kita memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, dan senantiasa berusaha mengerti Tuhan baik melalui firman-Nya maupun anugerah-Nya kepada kita. Marilah kita menjadi umat Tuhan yang sungguh-sungguh mengerti bagaimana bernyanyi dan memuliakan Tuhan.

Eunice Girsang
Pemudi FIRES