“Belajar itu seumur hidup.” Sejak kita bayi, kita sudah belajar bagaimana memahami bahasa yang dipakai oleh orang tua kita, bagaimana berjalan agar tidak jatuh, bagaimana makan sendiri, dan sebagainya. Kita kemudian belajar di sekolah, dileskan oleh orang tua, masuk ke universitas, yang dengan kata lain kita dimasukkan ke dalam sebuah sistem untuk mempelajari berbagai bidang. Setelah menyelesaikan kuliah, kita masih terus belajar dalam dunia kerja, keluarga, masyarakat, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup kita penuh dengan pembelajaran.
Apa pun, di mana pun, kapan pun, kita terus belajar. Aspek dunia yang begitu luas dan kemampuan adaptasi manusia yang besar memungkinkan kita untuk belajar hanya dengan dipengaruhi oleh lingkungan tempat kita hidup baik secara sadar maupun tidak sadar. Sayangnya, banyak orang yang masih berpikir bahwa pembelajaran diperoleh hanya sebatas dari bahan pelajaran kognitif di sekolah, sehingga hal-hal seperti apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan kurang diperhatikan dalam perkembangan seorang manusia (sudah sedikit dibahas dalam artikel yang lalu). Oleh karena itu, tidak heran mengapa orang sering mengatakan bahwa pornografi itu berbahaya karena hal itu memengaruhi pola pikir dan sensasi manusia dari aspek visual. Anak yang tinggal di keluarga broken home (aspek sosial) dengan terus mendengar ayah ibunya yang saling teriak (aspek pendengaran) akan memengaruhi mental dan cara berkomunikasi (misalnya gagap) anak tersebut. Begitu juga dengan musik yang dengan berbagai macam cara mempresentasikan dirinya (seperti konser, video musik, film) akan memengaruhi kita.
Belajar itu memerlukan suatu keluasan. Sayangnya, masih banyak orang yang terjebak dengan pemikiran bahwa prioritas utama dalam belajar adalah pelajaran di sekolah, padahal kehidupan sehari-hari kita juga sangat memengaruhi kita. Salah satu contoh ilustrasi: Kita pasti akan kasihan dengan anak yang dari bayi hingga dewasa hanya dibesarkan di dalam kamar, tanpa mengenal dunia luar, tidak pernah berlari-lari di taman, tidak pernah tahu apa itu pohon, tidak pernah bertemu dengan orang lain. Mengapa? Karena kita tahu bahwa itu tidak baik untuk perkembangan seorang anak. Anak tersebut akan menjadi anak yang pikirannya sempit, mungkin kurang gizi, tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih luas. Seorang anak justru harus diperkenalkan kepada dunia yang lebih luas untuk dapat tumbuh dengan baik. Begitu juga dengan kita, untuk menjadi manusia yang memiliki hidup lebih utuh, diperlukan keluasan. Kita akan menjadi orang yang rendah hati karena sadar bahwa dunia ini terlalu luas. Jika hanya fokus kepada satu aspek saja, maka kita akan menjadi orang yang dingin, picik, tetapi sombong dan merendahkan orang lain. Ini ironis.
Di sisi yang lain, di zaman ini mungkin banyak juga kita temui orang yang tidak sempit dan justru sangat tahu banyak hal, karena kita hidup dalam zaman yang borderless. Keberadaan internet dan globalisasi yang begitu marak membuat seseorang pasti mau tidak mau akan bersentuhan dengan dunia secara luas. Kita dapat mengenal kebudayaan Korea hanya dengan teknologi di tangan kita tanpa perlu menghabiskan waktu perjalanan ke sana. Kita dapat merasakan makanan-makanan negara lain hanya dengan berjalan ke restoran seberang rumah kita. Kita semakin banyak bersentuhan dengan berbagai macam bentuk seni dan kreativitas. Kita dapat melihat perspektif budaya yang berbeda tentang bagaimana memakai baju, apa itu cantik, apa itu indah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, bahaya dari fenomena ini adalah kita bisa menjadi terbiasa dan cepat puas dengan hal yang luas namun dangkal. Kita terbiasa untuk makan mie instan Korea daripada mie Korea itu sendiri. Kita terbiasa puas melihat foto keindahan alam di Google tanpa rindu untuk pergi langsung ke tempat tersebut. Kita puas menelaah organ hewan tanpa membedahnya sendiri. Kita puas mendengarkan musik dari rekaman tanpa pergi ke konser itu sendiri. Kebiasaan yang serba instan meresap ke dalam kehidupan kita, dan termasuk juga ke dalam rasa seni kita. Kita kehilangan sensitivitas dan kedalaman.
Apa itu sebenarnya belajar dengan keluasan? C. S. Lewis mengatakan bahwa dengan melihat “yang bukan kita”, kita akan memiliki perspektif yang lebih luas. Kita melihat dunia dengan perspektif yang berbeda, karena melihat dengan mata orang lain, mengimajinasikan hal yang lain, merasakan apa yang orang lain dengar, dan sebagainya. Menurut C. S. Lewis, pengalaman seperti ini banyak didapat ketika kita menggali literatur (C. S. Lewis adalah seorang literator Kristen terkenal). “We seek an enlargement of our being. We want to be more than ourselves. Each of us by nature sees the whole world from one point of view with a perspective and a selectiveness peculiar to himself…. We want to see with other eyes, to imagine with other imaginations, to feel with other hearts, as well as with our own… This, so far as I can see, is the specific value or good of literature… it admits us to experiences other than our own.”[1] Saya rasa, hal yang sama juga dapat diaplikasikan ke dalam seni.
Kita makin punya banyak akses, tetapi sayangnya kurang memiliki makna yang mendalam. Menggali sesuatu secara mendalam itu penting sebagai usaha kita dalam mengerti, mengembangkan, mensyukuri, serta mempertanggungjawabkan segenap ciptaan ini di hadapan Allah. Treat every aspect of culture as an investment to be developed for the glory of God and the advancement of His kingdom (Mat. 25:14-30). Berbicara aspek seni, salah satu cara untuk memiliki makna yang mendalam terhadap seni adalah dengan kehadiran “live performance” seperti pergi ke museum atau konser. Bagaimana caranya kita mengembangkan diri dalam live performance?
Dari sisi sebagai pelaku seni, tentu kita akan mendapatkan banyak manfaat dari live performance. Adanya pengalaman tampil bagi setiap pemain instrumen akan sangat membangun mental orang tersebut. Keadaan untuk tampil di atas panggung yang tidak dapat diprediksi adalah peran utama dari penampilan musik.[2] Berbeda dari saat kita latihan sendiri di dalam ruangan, kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hal yang salah. Kita sering mengenal istilah “the show must go on”. Mengapa? Karena kita tahu apa pun bisa terjadi di atas panggung (tidak heran di YouTube banyak sekali kompilasi dari video orang yang gagal saat di atas panggung). Dalam sebuah konser musik misalnya, sang pemain trompet tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan nada saat pentas di atas panggung. Pengalaman akan adanya kemungkinan untuk berhasil ataupun gagal itu mengasah kepribadian setiap pemain.[3] Dack juga mengatakan bahwa live performance yang dipupuk dari tradisi dunia Barat memicu pemainnya untuk tetap melanjutkan performanya meskipun salah, mengajarkan kepada kita untuk bagaimana bisa tetap memegang kendali secara penuh tubuh, mental, dan estetika.[4]
Tentu saja menjadi musisi yang aktif dalam sebuah konser memiliki banyak keuntungan lainnya, seperti melatih kerja sama, mengetahui peran masing-masing suara di tengah-tengah suatu orkestra yang besar, dan lain sebagainya. Selain dari itu semua, saya mencoba mengajak para pembaca untuk melihat pentingnya para aktivis musik untuk tampil dalam dunia panggung. Cara seperti ini akan membawa kita kepada eksplorasi dunia yang berbeda dari hanya sekadar latihan di dalam ruang latihan.
Tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk menjadi pelaku seni secara aktif dan tidak semua orang juga terpanggil menjadi seniman. Orang yang berada dalam posisi penonton sering kali dianggap sebagai orang yang berdiri di lingkaran luar, hanya melihat dari jauh, dan imun terhadap seni. Sedangkan pelaku seni dianggap sebagai lingkaran dalam yang dipengaruhi seni secara langsung. Hal tersebut bukan merupakan pemikiran yang tepat. Penonton juga berada dalam lingkaran dalam seni. Semua orang, baik dia adalah pelaku seni secara aktif maupun pendengar atau penonton, akan dipengaruhi oleh seni.
Kita perlu membiasakan pola hidup kita dengan asupan-asupan seni baik secara nyata untuk membangun hidup. Akan tetapi, sejak keberadaan internet, kita terbiasa untuk memperkaya diri kita dengan kedangkalan. Kita lebih biasa mendengar rekaman sehingga pergi ke konser menjadi hal yang secondary.
Ada sebuah jurnal yang memberikan penelitian terhadap penikmat musik dengan membandingkan perubahan yang terjadi ketika seseorang menonton rekaman dengan mendengar pertunjukan secara langsung. Jurnal tersebut memberikan data bahwa detak jantung penonton berubah ketika mendengar secara langsung, sebaliknya detak jantung penonton tidak menunjukkan perubahan ketika mendengarkan rekaman. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan visual dari pemain musik dapat memengaruhi detak jantung penonton. Kedua, pertunjukan secara langsung dapat memberikan interaksi sosial antara pelaku seni dan penikmat seni di saat yang bersamaan. Oleh karena itulah, menonton pertunjukan seni secara langsung akan memiliki rasa yang berbeda daripada hanya sekadar menikmati dari layar kaca. Interpretasi yang dihasilkan secara langsung di atas panggung juga akan lebih natural dan lebih hidup daripada rekaman.[5]
Berdasarkan hal inilah, investasi seni adalah untuk semua orang. Seperti anak-anak yang perlu waktu khusus untuk mengembangkan aspek logika mereka dengan cara pergi ke sekolah, begitu juga kita perlu menyisakan sebagian waktu dan uang untuk mengembangkan aspek keindahan dan aspek perspektif yang lain dengan cara pergi ke pameran seni atau konser.
Salah satu pameran seni yang marak sekarang adalah film, yang menggabungkan aspek acting, aspek pengambilan gambar, aspek musik, aspek kolaborasi, aspek narasi cerita, dan hal lainnya. Sebagai penonton, kita sering kali terbawa dengan kedalaman film karena adanya narasi cerita yang bagus, pengambilan gambar yang menakjubkan, dan tidak lepas dari latar belakang lagu yang membangkitkan suasana. Pada bulan Mei ini, di Aula Simfonia Jakarta akan diadakan konser yang mementaskan lagu-lagu yang melatarbelakangi film yang biasa kita tonton. Kita diajak untuk melihat pada satu aspek yang telah terjadi pada film tersebut, yaitu movie soundtrack, sehingga kita bisa mengapresiasi bagaimana pembuat lagu dapat membuat sebuah atmosfer yang baik dalam mendukung cerita yang telah dibuat.
Mari kita investasikan sebagian dari tenaga, uang, waktu, dan pembelajaran kita terhadap seni untuk membuka pembelajaran kita ke dalam hidup yang lebih luas lagi.
Sarah Charista
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] C. S. Lewis, An Experiment in Criticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1961), 137-39.
[2] J. Dunsby, Performing Music: Shared Concerns (Oxford: Clarendon, 1995), 12.
[3] P. Johnson, Illusion and Aura in the Classical Audio Recording, in A. Bayley (ed.), Recorded Music: Performance, Culture and Technology (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 41.
[4] M. Doğantan-Dack, The Art of Research in Live Music Performance (2012), 38.
[5] Major benefits for students who attend live theater, study finds.