silhouette of people in cave

Where Should I Place Art?

Bagaimana seharusnya kita meletakkan seni di dalam kehidupan ini? Pertanyaan ini sering kali muncul di tengah konteks kehidupan manusia yang sudah direduksi sedemikian rupa. Misalnya, ada orang yang menempatkan seni sebagai ajang mencari uang semata atau melihatnya sebagai pengisi waktu luang semata, dan lain-lain. Meskipun demikian, kita hidup tidak akan pernah lepas dari seni. Anda yang membaca artikel ini, mungkin adalah peminat seni secara aktif ataupun penikmat seni secara pasif. Dalam artikel ini, saya tidak sedang berusaha untuk memberikan nilai lebih kepada seni, memuji orang yang berkecimpung di dalamnya, dan mengolok orang yang merendahkannya. Di sini, saya sedang berusaha untuk menempatkan kembali seni ke tempat di mana seharusnya salah satu aspek kehidupan ini diletakkan.

Banyak orang yang memperdebatkan mengenai apa yang sebenarnya menjadi prioritas dalam hidup manusia. Pemerintahan suatu negara bisa saja menaruh perkembangan teknologi sebagai prioritas utama di dalam mengembangkan masyarakat, dan tidak mementingkan aspek yang lain. Seorang businessman mungkin hanya mementingkan aspek keuntungan secara materi bagi dirinya, dan tidak mementingkan kesejahteraan karyawannya. Demikian juga para seniman, yang mungkin hanya mementingkan latihan seni itu sendiri, tanpa peduli akan pengaturan keuangan, dan lain-lain. Sebagai manusia berdosa, sering kali kita terlalu fokus pada yang satu sehingga melupakan yang lainnya. Kita terlalu fokus kepada teknologi sehingga melupakan budaya. Kita terlalu fokus kepada budaya tetapi melupakan politik, dan seterusnya. Sebagai makhluk sosial, kita pasti terpengaruh dengan semua hal di sekitar kita, baik secara aktif maupun pasif. Setiap aspek pasti memberikan pengaruh dengan caranya masing-masing. Pengaruh tersebut pada akhirnya akan memberikan dampak yang menumbuhkan pengenalan kita akan Sang Pencipta kita, atau sebaliknya? Begitu juga dengan seni, seni akan memengaruhi keberadaan kita di hadapan Sang Pencipta.

Seni Membentuk Karakter Manusia
Ruang (space) di mana kita hidup memiliki pengaruh besar dalam kehidupan kita. Istilah ruang di sini bukan hanya menyangkut tempat kita tinggal, tetapi juga termasuk budaya sekitar kita yang memengaruhi cara berbicara, berpakaian, bahkan sampai desain pintu yang kita pakai. Kesadaran akan hal ini sering kali luput dari pikiran orang pada umumnya. Orang lebih sadar akan pengaruh dari pengajaran secara textbook, analisis, dan aplikasi, namun melupakan suatu hal yang sesungguhnya sangat kental memengaruhi komunitas kita, yaitu ruang di mana kita huni.[1] Ketika kita membuka mata, hal pertama yang kita lihat adalah ruangan yang telah didesain, mungkin itu berupa desain langit-langit di kamar kita ataupun gambar di seprai kita. Kita mungkin mendengar kicauan ayam berkokok, suara gesekan kertas ketika ayah sedang membuka koran, keharuman nasi goreng dari dapur, dan sebagainya. Suara membuat sensori audio di telinga sadar dari manakah suara tersebut berasal. Keahlian tangan kita membuat selimut yang besar tersebut sudah terlipat rapi dalam satu menit. Kemudian mandi dan memakai baju warna yang cocok, ikat pinggang diikat dengan pas agar tidak kesempitan atau kelonggaran, dan kegiatan terus bergulir. Bagaimana kita bergerak, apa yang kita dengar, bagaimana kita menilai sebuah desain, dan sebagainya—semuanya membentuk karakter kita dan bahkan etika kita.

Mari kita coba bandingkan antara orang-orang yang terbiasa dengan memakai dasi tempel dibandingkan dasi lipat manual, perempuan yang memakai simple midi dress dengan dress zaman dulu yang berlapis-lapis. Karakter orang yang melipat dasi dan yang memakai dress lapis adalah lebih sabar daripada orang yang memakai dasi tempel dan simple midi dress. Orang yang terbiasa mendengar musik dengan hentakan kencang lebih memiliki karakter keras daripada orang yang lebih sering mendengar musik adem-adem.

Hal-hal seperti ini digali secara khusus dalam bidang seni. Tidak ada seorang pun yang bisa menghindari keberadaan seni, baik saat dirinya hadir secara pasif terhadap seni ataupun saat dirinya menjadi seorang aktivis seni. Seni pasti akan memengaruhi kita yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, setiap manusia harus sadar pentingnya jenis seni yang hadir di sekitarnya agar dipertumbuhkan oleh seni yang baik dan melaluinya dapat menjadi manusia yang lebih baik.

Seni sebagai Panggilan Gambar dan Rupa Allah
Kita adalah manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai image of God. Dalam kata lain, sifat-sifat Allah juga diturunkan kepada kita sebagai manusia. Melalui penciptaan kita mengenal Allah kita adalah Allah yang kreatif. Dia memakai segala bentuk warna, suara, kata-kata untuk membuat ciptaan-Nya menjadi sesuatu yang indah. Kita sebagai gambar dan rupa-Nya juga didestinasikan untuk berkreasi, memakai bahan-bahan yang Tuhan sudah berikan. Kita seharusnya bisa membuat sesuatu menjadi indah, namun dosa sudah mencemarinya secara utuh. Apa pun yang dibuat oleh manusia menjadi rusak dan tidak lagi indah. Namun di dalam kekristenan, kita percaya melalui Tuhan Yesus yang sudah bangkit, kita diberikan pengharapan untuk dapat melakukan hal yang baik, termasuk dalam bidang seni. Meskipun sudah rusak, anugerah Tuhan terus menopang ciptaan-Nya, sehingga tetap ada karya-karya yang lebih mendekat kepada yang sempurna. Inilah tugas kita sebagai manusia untuk berkreasi menuju arah yang sempurna dengan bahan-bahan yang sudah Tuhan berikan walaupun di dalam dunia yang berdosa ini. Dengan demikian kita dapat semakin mengenal Allah melalui hal tersebut. Seperti kata Luther dalam buku yang ditulis oleh Mattes, “For Luther, imaging is at the core of what the human heart does, whether concocting idols or honoring God, but it is also how the proclaimed word portrays or pictures Christ primarily as a gift (and secondarily as an example) to believers who thereby receive God’s favor” (p. 133).[2]

Meskipun setiap orang memiliki panggilan secara berbeda-beda, namun tugas sebagai image of God dalam seni, baik secara aktif maupun pasif, sangat penting agar ruang hidupnya menjadi sehat dan memiliki ruang hidup yang menunjang pengenalan akan Allah secara karakter ataupun etika. Karena seperti yang telah dikatakan di atas, manusia tidak mungkin terlepas dari seni, dan seni pasti memengaruhi kita. Karena itu, kita perlu mulai mengondisikan ruang hidup kita dengan terlibat di dalam aspek seni yang baik. Di Indonesia, Gerakan Reformed Injili memiliki wadah seperti Aula Simfonia Jakarta (http://aulasimfoniajakarta.com) maupun Sophilia Fine Art Center. 

Kesadaran akan kebutuhan ruang hidup dalam aspek seni ini akan mendorong kita untuk mencari, mempelajari, mendalami, serta menikmati seni yang baik. Konser musik di Aula Simfonia Jakarta (ASJ) setiap bulannya merupakan salah satu wadah yang terus disediakan oleh Gerakan Reformed Injili bagi masyarakat Indonesia dalam pengembangan diri melalui aspek seni. ASJ menyajikan musik tradisi Barat yang dipengaruhi oleh kekristenan berabad-abad yang lalu dan diakui seluruh dunia sebagai pemberi tonggak dalam sejarah musik dari banyak genre yang kita kenal sekarang. Musik klasik memberikan pendisiplinan karakter terhadap pemain sekaligus pendengarnya. Dalam hal kerja sama antarpemain, agar terdengar indah, kontrol teknik, tidak egois, dan memberikan ruang bagi orang lain yang lebih utama. Misalnya dalam concerto untuk biola atau piano, bagian orkestra tidak boleh egois kencang sendiri sampai menutupi suara instrumen solonya (ketika orkestra tidak sedang memainkan melodi utama), dan afeksi karakter yang dinyatakan secara halus dan berkesinambungan antarinstrumen. Pada bulan Februari yang lalu, Dr. Jahja Ling sebagai pemimpin konser tersebut dengan Johan Dalene, pemain biola solo, telah mengukir keindahan musik karya Tchaikovsky dan Sibelius dengan sangat baik. Di bulan Maret ini, akan disajikan banyak karya lainnya dari Haydn, Clementi, Reinecke, Dvorak, dan Mascagni. Melatih, mendengar, dan melihat secara langsung, kerja sama harmoni setiap pemain dalam memainkan nada-nada really matters untuk membentuk karakter kita.

Bukan hanya musik yang baik, kita juga diberikan kesempatan untuk melihat bidang seni lainnya seperti tarian balet. Balet merupakan tarian yang sangat mengutamakan disiplin penguasaan gerakan otot, bagaimana menahan diri agar tetap seirama dengan musik, serta tetap gigih dalam kerja sama antarpenari, dan lainnya. Sebagai penikmat, kita belajar bagaimana lagu dapat dinyatakan dengan gerakan yang begitu indah, bagaimana otot-otot dilatih begitu rupa agar bisa mencapai teknik yang tinggi, dan seterusnya. Kita bisa belajar menyatakan ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan atas keindahan musik, kebenaran struktural melalui gerak tarian yang dihadirkan oleh tubuh manusia yang diciptakan begitu uniknya, serta harmoni antara seni musik dan tarian yang memberikan pengertian yang lebih dalam.

So, where should I place art? “Botol” kehidupan kita beserta aspek seni di dalamnya, bagaikan botol air yang berisi minuman kita setiap harinya. Aspek seni akan mengalir memengaruhi segala bidang kehidupan kita. Oleh karena itu, kita harus memilih seni seperti apa yang akan membentuk kehidupan kita? Apakah kita akan meminum air yang hanya sekadar terlihat bersih namun terdapat logam berat di dalamnya? Ataukah kita akan memastikan air yang kita minum adalah air bersih yang akan menyegarkan tubuh kita, bukan mencelakakan? Marilah kita memilih seni yang dapat membentuk kita menjadi orang Kristen yang mampu semakin melihat keindahan Tuhan Sang Pencipta kita, dan yang berkarakter menyatakan Allah kita. Soli Deo gloria.

Sarah Charista
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] Richard B. Hays: Why should we care about the arts?
.
[2] Mattes, Mark C. Martin Luther’s Theology of Beauty: A Reappraisal. 2017. Baker Academic.