Semua orang pasti merasakan pentingnya the power of sound. Seperti yang terjadi bulan awal tahun 2018 ini, muncullah film musikal berjudul The Greatest Showman. Banyak orang berbondong-bondong mengantri tiket bioskop untuk menonton film tersebut. Ada yang memang karena tidak mau ketinggalan trend, banyak orang juga yang sadar bahwa film semacam ini dapat dinikmati lebih baik jika didukung dengan sound system yang baik seperti dalam bioskop. Dalam kata yang lain, akan sangat rugi jika hanya mengandalkan download dari torrent dan menonton dengan speaker abal Rp 300.000 di rumah. Sensasi yang mirip juga terjadi ketika menonton film horor. Apabila kita mematikan suaranya, pasti perasaan takut dan gemetar sudah tidak separah jika kita nyalakan suaranya. Maka dapat kita lihat bahwa kehadiran suara itu mengambil peran yang sangat penting.
Suara memiliki kuasa yang sangat powerful, bahkan bisa melebihi gambar. Yang saya hendak katakan, bukan suara memiliki status yang lebih tinggi dari gambar, tapi mengenai kemampuan suara yang bisa membentuk persepsi orang lebih besar daripada gambar. Seperti kata Michel Chion dalam bukunya Audio-Vision, “Ketika berbicara mengenai kultur yang sedang terjadi, suara lebih memiliki kemampuan untuk menyerap dengan cepat persepsi kita.”[1] Dalam kata lain, sering kali suara lebih dominan untuk memberikan persepsi kepada sang pendengar. Seperti film horor yang akan lebih seru jika pakai suara, dibandingkan hanya gambar saja. Di sisi yang lain tentu saja kita akan sangat menyesal kalau menonton film yang memiliki recording baik tetapi tampilannya tidak baik. Hal itu pasti mengurangi keseruan yang ingin dicapai dari film tersebut.
Suara atau musik dapat memberikan efek yang besar karena ia bisa menggambarkan realitas kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan yang bisa langsung menangkap asal bunyi suara tersebut. Kemampuan ini disebut sebagai causal listening, menurut Chion. Sebagai contoh, ketika kita mendengar bunyi “kraauukkk”, sang pendengar akan mulai menerka kemungkinan suara tersebut berasal. Mungkin orang mengira bahwa suara tersebut datang ketika seseorang sedang menggigit buah apel. Jika kita telusuri lebih jauh lagi, sebenarnya itulah yang manusia nantikan ketika mendengar sebuah musik. Manusia menantikan musik yang langsung direlasikan dengan hidupnya.
Secara definisi umum, musik adalah organized sound atau suara yang diatur. Hal-hal yang diatur antara lain berupa hukum alam seperti frekuensi (nada) dan ritme yang kemudian diolah dengan jiwa manusia (soul). Musik hanyalah runtunan nada belaka jika hanya kumpulan dari hukum alam tanpa sentuhan jiwa manusia. Musik juga tidak akan menjadi hal yang indah didengar jika hanya mengandalkan jiwa manusia tanpa memiliki organisasi rapi dari suara tersebut. Berdasarkan definisi ini, dua elemen tersebut diambil dari realitas kehidupan. Realitas yang disampaikan bisa berupa fenomena luar seperti alam, ataupun realitas jiwa dalam manusia seperti depresi, bahagia, dan yang lainnya.
Penyataan realitas ini pun memiliki banyak macam muka yang kompleks, sehingga membutuhkan berbagai macam warna atau cara untuk menyatakannya secara lebih setia dan menyeluruh. Hal tersebut dapat dinyatakan misalnya dengan permainan ritme yang cepat maupun lambat, permainan nada yang mayor atau minor, permainan pencampuran instrumen, dan banyak lainnya. Artikel kali ini akan membahas lebih banyak mengenai penggunaan atau pemilihan instrumen.
Setiap instrumen memiliki karakteristik warna suara atau sering disebut sebagai timbre. Timbre digunakan oleh komposer seperti pelukis yang memakai warna untuk membuat atmosfer tertentu di kanvas. Nada register tinggi dapat menghasilkan suasana yang cemerlang dan tajam dibandingkan dengan nada register rendah yang menghasilkan suasana yang gelap. Berbagai macam timbre jika digabung juga akan menghasilkan atmosfer yang berbeda pula.[2]
Misalnya suara oboe atau cello menggambarkan perasaan orang dewasa yang sedang berduka, biola menggambarkan anak kecil yang sedang bermain-main atau sedang menangis, flute menyatakan kasih yang dibisikkan ke telinga sang pasangan, bass drum menimbulkan efek gemuruh ataupun gempa bumi, dan lain-lain.
Bermacam-macam instrumen dipakai untuk memberikan real sense kepada sang pendengar. Douek mengatakan bahwa musik melebihi kata-kata dalam usaha manusia untuk menyatakan sesuatu, musik dapat mewakili imajinasi manusia dalam menyatakan keadaan lingkungan sekitar, atau seperti echo.[3] Michel Chion juga mengatakan bahwa manusia ketika mendengar tidak hanya mendengarkan tinggi rendahnya sebuah pitch, tetapi juga karakteristik perseptual.[4] Dalam konser Tahun Baru Januari yang lalu, Aula Simfonia Jakarta menampilkan Schubert Military dan Radetzky March. Lagu tersebut menggambarkan baris-berbaris yang akrab dengan ketegasan dan kelantangan, di mana lagu tersebut banyak memakai drum yang didukung oleh alat tiup logam. Mengapa penggambaran mars berbaris lebih cocok menggunakan alat tiup logam dan drum daripada memakai teremin? Hal itu dikarenakan adanya efek lantang yang dihasilkan oleh instrumen tersebut sehingga membawa kita mengimajinasikan tentara dan bukan kondisi patah hati di pinggir danau. Contoh lain lagi dalam Leonore No. 3 Beethoven di mana pada awal lagu menggambarkan kegalauan dan kesulitan hidup. Mengapa untuk menyatakan penderitaan yang tidak stabil seperti lagu ini lebih cocok dengan dominansi instrumen gesek dan alat tiup kayu daripada instrumen tiup lainnya seperti trompet? Hal ini membuktikan bahwa setiap instrumen memiliki karakternya masing-masing, dari vokal, piano, biola, drum, bel, bahkan sampai synthesizer. Sebagai konsekuensi, perlu adanya pertimbangan instrumen mana yang cocok untuk membawakan suatu karya.
Memang, para peneliti sudah mengatakan bahwa setiap orang mempunyai pendengaran dan persepsi yang berbeda. Hal ini karena setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda-beda dan kebudayaan yang berbeda pula. Di sisi lain, Chion melanjutkan bahwa persepsi dibangun bukan dari fenomena seorang diri saja yang berbeda-beda, tetapi merupakan persepsi bersama.[5] Seperti langit yang mendung, secara umum akan lebih dikonotasikan kepada hal-hal yang sedih ataupun depresif. Prinsip yang sama juga berlaku dalam musik. Terlepas dari konteks kehidupan yang berbeda antara sang komposer dan sang pendengar, secara umum orang-orang mengakui bahwa suara flute sangat erat kaitannya dengan suara bunyi burung, atau trompet yang lebih erat dengan perayaan besar. Emosi yang dinyatakan dalam berbagai macam musik di berbagai jenis kebudayaan dapat langsung ditangkap oleh pendengar tanpa mempelajari musik tersebut secara detail.[6]
Dari pembahasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa instrumen dan lagu bukan merupakan suatu hal yang netral. Tetap ada normatif yang menjadi afeksi utama, yang disajikan dalam sebuah instrumen dan musik. Oleh karena itu, perlu adanya pembedaan antara pembuatan musik yang dimainkan di film, konser, dan berjemaat. Kesalahan orang pada umumnya adalah menganggap sepi perbedaan ini. Marilah kita lebih cermat lagi dalam memutuskan instrumen apa yang seharusnya dipakai di dalam konteks beribadah di dalam gereja, dan tidak menganggap sepi perbedaan-perbedaan yang ada. Kiranya nama Tuhan benar-benar ditinggikan melalui musik-musik ibadah kita. Soli Deo gloria.
Sarah Charista
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] Chion, Michel. Audio-Vision: Sound on Screen. New York: Colombia University Press. 1994. 33.
[2] http://wmich.edu/mus-gened/mus170/RockElements.pdf.
[3] Douek, Joel. Music and Emotions: Composer’s Perspective. Front Syst Neurosci. 2013; 7: 82.
[4] Chion, Michel. Audio-Vision: Sound on Screen. New York: Colombia University Press. 1994. 3.
[5] Idem, 29.
[6] Balkwill L.-L., Thompson W. F. (1999). A Cross-Cultural Investigation of the Perception of Emotion in Music: Psychophysical and Cultural Cues. Toronto, ON: York University.