Ev. Alwi Sjaaf bukanlah seseorang yang asing untuk sebagian besar dari kita. Talenta sebagai penginjil dan arsitek yang dimilikinya mendukung Ko Alwi (panggilan akrabnya) dalam menjalankan tanggung jawab besar yang dipercayakan Tuhan kepadanya dalam pembangunan gereja Graha Reformed Millenium. Mari kita simak interview Pillar (P) dengan Ko Alwi (A) berikut ini.
Personal Background:
Ko Alwi lahir di Medan pada tanggal 11 November 1960. Beliau menempuh kuliah di Jerman dalam bidang Arsitektur. Ko Alwi dan istri (Katarina) dikaruniai tiga orang putri: Floriani (14 tahun), Florencia (12 tahun), dan Florianti (11 tahun).
P: Sejak kapan Ko Alwi menerima Kristus dan apa latar belakang gereja tempat Ko Alwi beribadah sebelum mengenal gerakan Reformed Injili?
A: Sejak SD saya mendapatkan pendidikan di sekolah Katolik, sampai pada tahun 1979 menerima sakramen Baptisan di Gereja Katolik, dan tahun 1990 saya menikah di gereja Katolik. Tahun 1991, saya mempunyai seorang klien yang setiap minggu selalu bertanya kepada saya, “Hari Minggu lalu kamu dapat apa di gereja?” Pertanyaan itu terus membayangi saya, dan saya mulai tergerak untuk mencari Firman Tuhan. Saya sempat keliling mencari gereja yang mampu memberikan jawaban itu, sampai kemudian Tuhan memimpin saya datang ke GRII secara on and off. Tahun 1994 saya diatestasi.
P: Mengapa Ko Alwi mengikuti gerakan Reformed Injili dan apa keunikan gerakan ini?
A: Kalau bicara mengenai gerakan Reformed Injili, saya pikir kita harus mulai dengan Reformed theology, yang bagi saya merupakan satu-satunya yang mampu menjawab jauh lebih komprehensif atas setiap pertanyaan dalam hidup manusia, demikian juga di dalam menghadapi arus zaman yang berubah-ubah. Dengan kembali dan konsisten kepada Alkitab, kita percaya akan kehendak Allah yang kekal dan tidak pernah berubah. Dari pengajaran dan khotbah di GRII, kita dikenalkan kepada lima pilar dari Reformed theology yaitu Sola Scriptura, Sola Gratia, Sola Fide, Solus Christus, dan Soli Deo Gloria. Namun ketika tiba ke masalah praktek, sepertinya ada dualisme di dalam menghidupi Firman. Hanya Reformed theology yang mengintegrasikan antara hidup sehari-hari kita (mandat budaya) dengan Firman Tuhan (mandat Injil). Pdt. Stephen Tong di dalam gerakan Reformed Injili sangat mempraktekkan mandat budaya, demikian juga mandat Injil. Selain terus berjuang membawa manusia kembali kepada Alkitab, beliau juga sangat menekankan agar kita aktif menginjili orang lain. Prinsip-prinsip ini hanya bisa saya temukan keharmonisannya di dalam gerakan ini. Kesempatan untuk lebih memahami ini adalah ketika terlibat dalam pelayanan bersama beliau, kita akan lebih lagi dibukakan oleh prinsip-prinsip yang sangat membangun dan merubah paradigma.
P: Kegiatan pelayanan apa saja yang pada saat ini sedang Ko Alwi kerjakan?
A: Sejak tahun 2004 saya mendapat anugerah yang luar biasa besarnya untuk melayani dalam pembangunan gereja GRII Pusat. Kemudian sejak pertengahan tahun 2005 saya juga dipercayakan untuk melayani di kantor sekretariat GRII Pusat (sejak akhir 2005 juga melayani sebagai penasihat Buletin Pillar, Red.). Di samping itu saya masih menyelesaikan tahap terakhir kuliah saya di Institut Reformed. Di luar pelayanan gerejawi, sejak tahun 1991 saya menjadi konsultan untuk sebuah perusahaan furniture dari Itali dalam pengembangan produk mereka di Indonesia. Di sela-sela kesibukan, saya juga menulis artikel tentang arsitektur, interior, dan desain di beberapa majalah dan juga di surat kabar non-Kristen. Namun kedua kegiatan yang terakhir ini sudah sangat jauh berkurang dibanding beberapa tahun yang lampau.
P: Tantangan paling besar apakah yang ko Alwi hadapi ketika memutuskan untuk masuk Institut Reformed?
A: Tantangan yang paling besar? Diri sendiri! Mengalahkan diri sendiri, merendahkan hati, dan menyangkal diri. Saya menyadari bahwa segala yang didapatkan di dalam hidup ini adalah hanya karena anugerah Tuhan. Kesadaran akan pengertian ini Tuhan bentuk melalui khotbah-khotbah dari mimbar GRII. Hal ini mengubah seluruh pola hidup, pandangan hidup, dan rencana hidup saya. Meskipun demikian, fakta kehidupan yang dihadapi tetap sangat sulit untuk ditundukkan. Karena ketika tantangan terhadap diri sendiri sudah dapat diatasi, hal lainnya yang tidak kalah sulitnya adalah menghadapi lingkungan keluarga dan rekan-rekan di dalam dunia usaha. Banyak orang, termasuk pihak keluarga, yang tidak dapat mengerti akan keputusan yang saya ambil. Tetapi dari tahun ke tahun, dengan melihat konsistensi pelayanan, saya percaya mereka mulai diyakinkan akan panggilan yang saya jalankan. Yang pasti adalah semua yang dilalui itu menjadi begitu indah, karena Tuhan sendiri yang memimpin dan menunjukkan langkah demi langkah.
P: Adakah panggilan Tuhan di dalam bidang bisnis? Misalnya mengintegrasikan Firman Tuhan dengan dunia bisnis?
A: Secara jujur saya harus katakan, tawaran bisnis masih terus mengalir. Godaannya cukup besar. Saya bersyukur bahwa di dalam akhir setiap pergumulan, saya tetap kembali kepada satu titik: untuk apa semuanya itu kalau Tuhan tidak dipermuliakan. Integrasi itu memang sulit sekali. Saya masih sangat kuat menggumuli panggilan saya dalam kaitannya dengan mandat budaya—bagaimana mengintegrasikan arsitektur atau desain dengan Firman Tuhan—ini merupakan pergumulan awal ketika saya masuk ke Institut Reformed mengambil program MCS. Salah satu jalan yang dapat saya tempuh adalah menulis artikel mengenai desain.
P: Apakah dalam mendesain sebuah bangunan seperti Graha Reformed Millenium dapat diintegrasikan dengan Reformed theology?
A: Reformed theology menegaskan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan Tuhan. Tuhan memilih kita bukan karena kemampuan ataupun jasa kita, tetapi karena anugerah-Nya kita diberikan talenta di dalam menjalankan tugas kita. Dengan demikian starting point-nya pasti akan beda sekali. Misalnya saja ketika seorang arsitek mendesain sebuah bangunan, starting point-nya adalah lebih terfokus ke salah satu aspek: seni, budaya, kepuasan diri, kepuasan klien, dan untuk hidup. Karena kita membicarakan hal ini berkaitan dengan proyek pembangunan gereja, maka saya harus kembali “meminjam” nama Pdt. Stephen Tong. Dalam menyaksikan beliau mendesain Graha Reformed Millennium, kita akan merasakan dengan kuat bahwa semua yang dipikirkan oleh beliau adalah untuk kemuliaan Tuhan, tidak ada sedikit pun untuk kemulian diri. Selain dari kemampuan, beliau sangat berpengalaman di dalam melihat setiap aspek, terutama di dalam sebuah gedung ibadah. Saya sering terpesona melihat “approach” beliau dalam mendesain, sangat komprehensif. Bagi saya, seorang arsitek itu pada hakekatnya bukan sekedar “tukang gambar”, tetapi dia harus menguasai filsafat, budaya, seni, tradisi, ekonomi, politik, etika… ya segala aspek, di mana yang paling utama, tetapi sayangnya jarang dimiliki olah arsitek paling hebat pun, adalah berkarya dan mendesain untuk Tuhan. Kita kan bisa mendesain karena Tuhan kita adalah Pencipta. Kembali lagi ke pembangunan gereja, saya menekankan kepada sebuah kalimat yang sering diucapkan oleh Pdt. Stephen Tong, yang bagi saya mengandung makna dan semangat untuk hanya memuliakan Tuhan, yaitu: “No one comes to help, no one comes to contribute, everybody comes to serve and comes to learn.”
P: Apakah dampak terbesar gerakan Reformed Injili dalam kehidupan Ko Alwi?
A: Gerakan ini memimpin saya setahap demi setahap untuk lebih mengerti hidup, di dalam mengintegrasikan mandat Injil dan mandat budaya. Hidup menjadi tidak dualis, ini sangat penting karena kalau manusia tidak mengasihi Tuhan, manusia sebenarnya tidak mampu mengasihi siapa pun (dan apa pun), termasuk diri sendiri dan orang lain. Singkatnya gerakan ini memampukan saya merenungkan Firman yang membuka jalan nan lebar untuk menghidupi Firman.
P: Apakah pengalaman yang paling tidak terlupakan selama melayani di GRII?
A: Wah, banyak sekali! Sebenarnya setiap saat di dalam kehidupan sehari-hari kita adalah hidup ibadah di hadapan Tuhan—Coram Deo.
P : Apa rencana pelayanan Ko Alwi ke depan?
A: Tolong didoakan ya agar saya dapat mengerti kehendak Tuhan lebih dalam lagi dan kemudian memohon pimpinan-Nya agar saya mampu menjalankan kehendak-Nya di dalam sisa waktu yang masih Tuhan anugerahkan kepada saya.