,

Grand Concert Tour 2017: Suatu Refleksi

Henry Ward Beecher mengatakan, “That is true culture which helps us to work for the social betterment of all.” Dalam kata lain, masyarakat dalam sebuah negara akan berkembang jika memiliki kebudayaan yang baik. Tapi, apakah kebudayaan yang baik itu? Menurut Milan Kundera, kebudayaan yang baik tidak mungkin dapat terjadi tanpa adanya keinginan untuk terus menerobos sejarah. Hal ini baru terjadi ketika berusaha mempelajari pendahulunya dan mencoba untuk melebihinya.

“High culture is nothing but a child of that European perversion called history, the obsession we have with going forward, with considering the sequence of generations a relay race in which everyone surpasses his predecessor, only to be surpassed by his successor. Without this relay race called history there would be no European art and what characterizes it: a longing for originality, a longing for change. Robespierre, Napoleon, Beethoven, Stalin, Picasso, they’re all runners in the relay race, they all belong to the same stadium.” – Milan Kundera

Ciri-ciri tersebut terdapat pada musik klasik. Flashback sejarahmusik dunia Barat, dimulai dengan munculnya notasi musik pada abad ke-9 dalam biara dan terus dikembangkan hingga kita mengenal macam-macam simfonia untuk orkestra maupun opera pada zaman setelahnya. Musik ini yang kemudian dikembangkan dan memengaruhi berbagai jenis genre lainnya. Meskipun beberapa genre muncul karena konteks sosial tertentu, seperti jazz, tetapi pengaruh musik klasik begitu besar. Contohnya perkembangan Jazz dan musik abad ke-20 selama lima dekade dari Bebop ke Cool Jazz/Hardbop sampai Fusion Jazz dipengaruhi oleh seorang Miles Davis yang menjalani edukasi musik klasik di Julliard pada masa mudanya. Melihat kebudayaan-kebudayaan yang sudah maju karena pengaruh musik klasik, bagaimana dengan perkembangan musik di negara kita?

Sepertinya ada yang hilang dengan perkembangan budaya Indonesia. Ketertarikan akan musik klasik belum terlalu marak di kalangan masyarakat Indonesia. Adanya orang-orang yang sudah berprofesi memainkan musik klasik, dan munculnya berbagai jenis institusi pendidikan maupun gedung konser (Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Aula Simfonia Jakarta, Ciputra Artpreneur, dan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail) tidak dapat menutup fakta bahwa musik klasik belum terdengar suaranya terlalu jelas di Indonesia. Hanya beberapa kota besar dengan jumlah yang dapat dihitung dengan jari, seperti Yogyakarta yang memiliki Institut Seni Indonesia (ISI) maupun Jakarta, Surabaya, dan Medan yang memiliki akses kursus dan pendidikan musik klasik yang memadai. Lalu bagaimana dengan kota-kota lainnya?

Melihat keadaan Indonesia seperti ini, banyak yang merasa prihatin namun tidak banyak yang berani melangkah banyak, tidak banyak yang berani mendorong lebih lagi, dan tidak banyak yang berani bekerja besar untuk perkembangan musik klasik di Indonesia. Hal ini menggelisahkan sang pencetus rangkaian acara Grand Concert Tour 2017 yaitu Pdt. Dr. Stephen Tong, sehingga terjaga pada subuh hari dan tidak bisa tidur. Beliau berpikir untuk ke kota-kota dan mulai memperkenalkan musik klasik yang indah. Maka tercetuslah rangkaian konser keliling Jawa-Bali pada minggu kedua bulan Juli yang lalu. Keinginan ini membuat beliau mencari waktunya yang kosong di tengah padatnya jadwal akan rangkaian acara Reformasi 500. Berharap dengan serangkaian konser ini, dapat memberikan sepercik ketertarikan bagi orang-orang di tujuh kota tersebut dan dalam harapan jangka panjang, musik klasik di Indonesia akan mulai berkembang.

Perjalanan konser keliling musik klasik ini membawa orkestra dan paduan suara sebanyak 156 orang ke tujuh kota dalam tujuh hari. Jakarta Simfonia Orchestra dan gabungan paduan suara Jakarta Oratorio Society berkeliling ke Semarang – Surabaya – Malang – Denpasar – Solo – Yogyakarta – Bandung dari tanggal 9-15 Juli. Dipimpin oleh pengaba Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri setiap harinya, konser ini dibuka secara gratis untuk kalangan umum.

Membuat sebuah konser klasik bukanlah hal yang mudah. Perlu adanya akustik ruangan yang cukup baik, lighting yang cukup baik menerangi orkestra maupun paduan suara, stamina dari seluruh pihak (penampil, tim AuVi, tim hospitality), panggung yang kuat menahan ratusan orang, speaker yang baik, dan layar yang lebar agar seluruh penonton dapat melihat apa yang terjadi di panggung. Begitu banyak yang harus dikerjakan, melelahkan, dan juga biaya 3,3 miliar Rupiah agar rangkaian konser ini dapat terselenggara. Namun, kita melihat anugerah Tuhan yang begitu besar. Ruangan yang berkapasitas sekitar dua sampai tiga ribu orang selalu penuh sesak (bahkan sampai ada yang berdiri di pinggir ruangan karena tempat tidak cukup). Orang-orang yang menghadiri konser ini terdiri dari beragam latar belakang, tetapi mereka hadir untuk menikmati musik klasik tanpa melihat perbedaan suku, ras, maupun agama.

Konser dimulai dengan sambutan hangat oleh Pdt. Dr. Stephen Tong. Beliau memberikan edukasi yang tegas bagaimana mengikuti sebuah konser; harus berpakaian rapi, tidak boleh jalan-jalan selama konser berlangsung, dan menjaga ketenangan (bahkan tidak boleh batuk). Beliau juga memberikan pendahuluan singkat setiap lagu dengan menceritakan sejarah lagu yang akan dimainkan.

Konser ini dibagi menjadi dua bagian dan tanpa istirahat di antaranya. Bagian pertama hanya instrumen dan bagian kedua bersama paduan suara gabungan Reformed Injili. Bagian pertama terdiri dari enam karya orkestra, Franz von Suppé – Light Cavalry Overture, W. A. Mozart – Marriage of Figaro Overture, Émile Waldteufel – Skater’s Waltz, Johann Strauss Jr. – Voices of Spring, L. V. Beethoven – Egmont Overture, dan diakhiri dengan Finlandia dari Jean Sibelius. Karya ini dikenal melodinya yang kemudian diambil menjadi himne Be Still My Soul. Bagian ini kemudian ditambah dengan permainan biola solo dari seorang anak berumur 15 tahun, Sarah Faith Oei, memainkan lagu Czardas dari Vittorio Monti tanpa iringan piano.

Pada bagian kedua, paduan suara bersama orkestra dilengkapi dengan enam solois yang bergantian setiap kotanya menyanyikan secara lengkap karya Mendelssohn Lobgesang tanpa bagian overture-nya selama kira-kira 35 menit. Solois soprano adalah Cecilia Yap, Eunice Tong Holden, Evelyn Karunia, Ardelia Vinta, dan Lingkan Mangundap. Solois tenor adalah I Nyoman dengan solois baritone, Samuel Lim.

Perjalanan concert tour ini memang melelahkan, tetapi saat kita melihat kembali pekerjaan yang Tuhan sudah lakukan di seluruh kota ini, kita patut menaikkan ucapan syukur kepada-Nya atas anugerah yang besar untuk Indonesia ini. Tuhan boleh memakai segala keterbatasan seluruh tim untuk menghadirkan berkat bagi tujuh kota ini. Bagi beberapa kota ini, konser ini merupakan pengalaman pertama kali bagi warganya dapat secara langsung menyaksikan konser lengkap orkestra dan koor seperti ini. Diharapkan konser ini menjadi pemicu bagi anak-anak muda maupun orang tua dengan mendorong anaknya untuk belajar musik klasik. Dengan demikian kebudayaan Indonesia yang baik bisa berkembang di tahun-tahun mendatang. Kiranya Tuhan terus memberkati negara kita Indonesia.

Sarah Charista
Pemudi FIRES