Musik dan Gerakan Reformed Injili
“Dahulu adalah sebuah mimpi jika bisa mendengarkan anak-anak dapat bernyanyi lagu klasik dengan begitu indah,” begitulah kata Pdt. Stephen Tong setelah anak-anak Jakarta Oratorio Society – Youth Chorale (JOS-YC) dan Jakarta Oratorio Society – Children Chorale (JOS-CC) selesai bernyanyi di kebaktian GRII Pusat, tepat satu minggu sebelum konser Haydn’s Nelson Mass. Memang benar apa yang dikatakan Pdt. Stephen Tong, karena mengajarkan anak-anak untuk menyanyikan lagu-lagu klasik bukan merupakan hal yang mudah, khususnya mengingat anak-anak di zaman sekarang sudah banyak terekspos dengan lagu-lagu yang kurang berkualitas, baik dari musik maupun liriknya. Tidak banyak anak-anak yang sadar akan pengaruh lagu-lagu seperti ini bagi mereka. Jika dahulu hanyalah sebuah mimpi untuk mendengarkan anak-anak memuji Tuhan dengan lagu-lagu yang indah, melalui konser ini Tuhan memberikan kesempatan terutama bagi anak-anak untuk mengenal sedikit dari lagu-lagu yang begitu indah.
Chorale concert dari Haydn’s Nelson Mass yang ditampilkan oleh JOS-YC dan JOS-CC dengan Ndaru Darsono sebagai conductor diadakan pada tanggal 9 Juni 2007 yang lalu di Graha Gepembri, Kelapa Gading. Sebagai acara pembuka, konser ini menampilkan permainan instrumental Flute Duet oleh Ulung Mikhael Tanoto dan Caroline Djojonegoro yang memainkan Op. 102 No. 1 Allegro Assai karya Kuhlau. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan Violin Solo oleh Natalia Peggy Seputra dan pianis Eunice Sudargo yang membawakan Praeludium and Allegro (in the style of Pugnani) karya Fritz Kreisler. Penampilan ketiga adalah JOS-CC yang membawakan lagu I Will Praise You (Psalm 138:1) dan God Will Provide karya Mark Patterson. Lalu JOS-YC melanjutkan dengan menyanyikan lagu Blessing (Zhu Fu Ni) karya Cainan Mui dan The Lord Bless You and Keep You (Numbers 6:24) karya John Rutter. Dua performance terakhir sebelum acara puncak pada malam itu adalah Piano Solo oleh Jonathan Koe yang menampilkan Piano Sonata No. 17, Op. 31 No. 2 “The Tempest” Movt. 1, Largo-Allegro karya Beethoven, dan dilanjutkan dengan Soprano Solo oleh Michelle Sugiarto dengan pianis Jonathan Koe yang membawakan Gloria karya Handel. Yang sangat menarik dari konser ini adalah semua soloist dan pemain musik yang disebutkan di atas masih berusia sangat muda namun diberikan talenta yang luar biasa oleh Tuhan.
Setelah mendengarkan renungan singkat yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong, acara puncak pada malam itu segera dimulai. Haydn’s Nelson Mass dalam konser ini ditampilkan oleh conductor Ndaru Darsono dengan pianis Stephen Cahyadi, bersama dengan JOS-YC dan JOS-CC (Choir), Michelle Sugiarto (Soprano), Elsa Pardosi (Alto), Agus Santosa (Tenor), Alexander Ganda (Tenor), dan Lukman Sabtiyadi (Bass). Mass in D Minor atau Missa in Angustiis (Mass in Time of Distress) karya Haydn ini merupakan salah satu dari 12 buah mass yang diciptakannya di masa hidupnya. Mass ini lebih dikenal dengan nama “Lord Nelson Mass” karena setelah Haydn menciptakan karya ini, tentara Inggris yang dipimpin oleh Admiral Horatio Nelson berhasil mengalahkan Napoleon dalam Battle of the Nile. Kemenangan ini merupakan kejadian yang sangat dirayakan oleh Austria, yang telah berkali-kali kalah dalam perang dengan Napoleon, maka lambat laun Mass in D Minor ini mendapat julukan Nelson Mass untuk menghormati keberhasilan Admiral Nelson dalam perang melawan Napoleon tersebut.
Rangkaian mass ini terdiri dari 12 buah lagu, yaitu Kyrie (Lord have mercy on us) yang menggambarkan rasa ketakutan, kebingungan, dan permohonan belas kasihan dari Tuhan; Gloria (Glory to God in the highest) menyatakan kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang Maha Tinggi; Qui tollis (Thou who takest away the sins or the world) menyatakan Tuhan sebagai penebus dosa manusia; Quoniam (Thou alone art the Lord, Jesus Christ, and the Holy Ghost) menyatakan kemuliaan Allah Tritunggal; Credo (Nicene Crede) yang menyatakan Pengakuan Iman Nicaea; Et Incarnatus (And He was made incarnate) menceritakan tentang kelahiran Tuhan Yesus dari anak dara Maria, menjadi manusia, dan disalibkan untuk menebus dosa manusia; Et Resurrexit (Resurrection) merupakan konklusi dari lagu Credo; kemudian dilanjutkan dengan Sanctus (Holy), Benedictus (Blessed), Osanna (Hosanna in the highest) yang merupakan doxology bagi Allah Tritunggal; dan ditutup dengan Agnus Dei (Lamb of God) dan Dona Nobis (Grant us peace) yang mengganti keputusasaan di awal lagu dengan sukacita dan pengharapan.
Konser ini tidaklah dapat terjadi tanpa visi yang ditanamkan Tuhan dalam Gerakan Reformed Injili, di mana kita tidak hanya berfokus pada mandat Injil, tetapi juga mandat budaya, karena setelah manusia jatuh ke dalam dosa, segala sesuatu sudah tercemar, termasuk kebudayaan manusia. Terutama di dalam zaman ini, generasi muda sudah banyak terpengaruh oleh kebudayaan yang serba instan, tidak menuntut kualitas (asal jadi), dan penuh kekerasan (violent). Dalam mandat budaya, kebudayaan yang sudah fallen ini harus di-redeem atau ditebus kembali, sehingga seluruh kebudayaan dikembalikan kepada Tuhan untuk memuliakan Tuhan.
Visi dalam bidang mandat budaya dalam gerakan ini secara konsisten dikerjakan oleh Pdt. Stephen Tong sejak puluhan tahun yang lalu. Di Jakarta hanya ada satu gedung konser dengan akustik yang cukup baik, yaitu Gedung Kesenian Jakarta, yang hanya dapat menampung sekitar 400 orang. Gedung ini didirikan oleh Belanda pada zaman penjajahan, yang kemudian direnovasi oleh pemerintah Indonesia. Memang tidak ada orang yang mau mendirikan gedung konser yang baik di Indonesia, karena gedung konser merupakan bangunan yang sangat mahal dan tidak dapat menghasilkan banyak profit.
Saat ini, Gereja Reformed Injili Indonesia sedang dalam proses membangun sebuah gedung konser yang terletak dalam lokasi Graha Reformed Millennium. Pdt. Stephen Tong mendesain gedung konser ini untuk dapat memuat sekitar 1200 orang, karena beliau ingin lebih banyak orang dapat mengenal dan belajar tentang karya-karya musik yang indah dan berkualitas. Saat ini ruangan konser telah mencapai tahap pengecoran lantai 4. Kita sudah dapat melihat bentuk dari gedung konser yang cukup unik ini.
Gedung konser bukanlah merupakan bangunan yang mudah dibangun, karena ruangan konser harus didesain dengan akustik yang baik dan juga dengan bentuk yang ergonomis. Semua penonton harus dapat melihat penyanyi dan dapat mendengarkan suara yang keluar dari mulut penyanyi itu dengan jelas. Ruangan yang baik tidaklah cukup, karena untuk dapat mengontrol suara bukanlah hal yang mudah. Sumber suara dapat keluar dari segala arah, seperti suara air conditioner yang dapat menggangu kualitas akustik di dalam ruangan. Karena itu, setelah ruangan ini jadi, ruangan harus dilengkapi dengan bahan-bahan yang mendukung akustik suara, dan bahan-bahan ini bukan bahan yang murah. Interior ruangan harus juga diisi dengan barang-barang yang berkualitas, seperti piano yang baik. Biaya yang digunakan untuk membangun gedung konser ini tidak sepeser pun didukung oleh pemerintah atau organisasi apapun, melainkan dikumpulkan dari persembahan setiap jemaat yang diberikan beban oleh Tuhan dalam mendukung dan mengerjakan mandat budaya di negara Indonesia tercinta. Walaupun memerlukan biaya yang sangat mahal, gedung konser ini akan tetap diusahakan untuk dibangun dengan biaya seminimal mungkin dan semua uang dipakai dengan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Pembangunan gedung konser ini hanyalah merupakan langkah awal bagi kita untuk terus mengerjakan mandat budaya yang Tuhan percayakan kepada kita di dalam dunia ini. Masih sangat banyak hal yang bisa kita lakukan dalam mengambil bagian dalam rencana kekal Allah menebus kembali kebudayaan manusia yang telah rusak. Tuhan mempercayakan kepada kita, peta dan teladan-Nya, untuk mengerjakan dan mengusahakan bumi yang telah Tuhan berikan kepada kita. Marilah kita berespon dengan penuh tanggung jawab kepada Tuhan untuk mengerjakan apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita di dunia ini.
Adhya Kumara
Redaksi Pelaksana PILLAR