Sekitar 65 tahun yang lalu, ada seorang remaja yang bingung dengan imannya. Pada saat itu, dia sedang bergumul berat dengan kehidupan. “Dari mana asal kita? Apakah dari monyet menjadi manusia melalui proses evolusi? Mengapa hidup ini sungguh tidak adil? Banyak sekali orang miskin yang melarat dalam hidup ini. Di manakah Tuhan ketika aku mengalami kemiskinan, ketika makan pun aku dan keluargaku susah, apa yang menjadi jalan untuk menyelesaikan semua masalah ini? Marxisme dan atheismekah? Kalau Tuhan orang Kristen sungguh ada, mengapa semua ini bisa terjadi?”
Demikianlah pergumulan seorang anak lelaki yang berusia 17 tahun pada saat itu. Peperangan rohani di dalam jiwa yang begitu kuat menjadi sebuah pergumulan tanpa henti. Sang ibu yang memandang anak remaja tersebut juga merasa sangat khawatir. Bagaimana jika buah hatinya terhilang? Bagaimana jika anak ini selama-lamanya akan ditelan oleh pemikiran dunia, kepahitan hidup, dan kuasa kegelapan? Dari situ, sang ibu mengirimkan anaknya untuk hadir di dalam sebuah camp remaja yang bertema, “Serahkanlah Hidupmu kepada Tuhan”. Tentunya, remaja yang cerdas dan berambisi ini akan menentang keinginan sang ibu, belum lagi kalau camp tersebut lama, membosankan, dan khotbah-khotbahnya membongkar dosanya.
“Engkau tahu bahwa aku tidak mau menyerahkan hidupku kepada-Mu, aku tidak mau! Kalau malam ini Engkau tidak membuatku menjadi bersedia melayani-Mu, Engkau boleh melupakan niat-Mu dan itu adalah salah-Mu!” ujar kata sang remaja itu kepada Sang Pencipta sambil kembali ke ruang ibadah.
Saya kira apa yang dialami oleh anak remaja dan orang tuanya adalah hal yang sangat real dan relevan. Itu bukanlah sebuah pengalaman seorang diri, tetapi turut menjadi pengalaman masing-masing orang yang menghadap Tuhan. Setiap jiwa kita terjepit di tengah tegangan tali tambang. Di satu sisi ada tangan Tuhan yang sedang menarik, tetapi di sisi yang berlawanan ada kuasa kegelapan yang ingin merebut jiwa manusia.
Mungkin saja, ada di antara kita yang tidak bergumul dengan evolusionisme, tetapi dengan hal-hal lain. Dengan cita-cita yang penuh kegalauan, dengan rasa insecure, ketakutan untuk dikata-katain oleh orang lain (body shaming), dengan masalah mental health, self-pity, negative self-talk, depresi, kecanduan game untuk membangun jati diri di dunia maya (character level), keinginan untuk berkoneksi, keinginan untuk mencari intimasi secara spontan melalui pornografi, dengan akar kepahitan yang terkubur dalam jiwa oleh karena masalah keluarga, dan masih banyak lainnya—itu pun masih merupakan permukaan dari seluruh masalah yang ada. Berapa banyak di antara kita yang mengalami semua ini dan merawatnya, sudah terbiasa dengannya sampai saja duri-duri dosa sudah menyatu dengan daging kehidupan menjadi sebuah new normal?
Barangkali, di tengah pandemi COVID-19, permasalahan yang lebih besar adalah pandemi kerusakan relasi. Mohon maaf, mungkin saja, itu bukan lagi menjadi pandemi, tetapi menjadi endemi, sebuah “kebiasaan baru” yang dilewati hari demi hari, tahun demi tahun, yang membentuk jiwa seorang remaja menjadi penuh dengan kekosongan dan kepahitan. Pelarian yang paling cepat adalah dengan game seperti Mobile Legends, Genshin Impact, drama Korea, tayangan video yang penuh dengan gambar-gambar seks dan agresi. Orang tua merasa bahwa itu sudah menjadi hal yang lumrah (common), padahal itu adalah hal yang abnormal. Remaja dan pemuda merasa itu adalah “obat”. Padahal, itu hanyalah obat bius untuk mematikan rasa sakit, tetapi belum dapat menyembuhkan luka yang lebih dalam, terlebih lagi memberikan sukacita sejati.
Kembali lagi kepada kisah anak remaja tadi. Ketika dia mendengar Tuhan mati di kayu salib oleh karena semua akar pahit dan dosa manusia, dia bertobat. Tuhan memanggilnya menjadi hamba-Nya, dan dia berkata, “Iya Tuhan, ini aku. Utuslah aku.” Selama belasan tahun kemudian, api Roh Allah yang menghidupi anak miskin dari seorang janda telah memimpinnya menjadi seorang pendeta. Di malam hari itu, dia adalah seorang yang minder, fatherless, dan terhilang. Akan tetapi, Tuhan memanggilnya. Dan dia berkata, “Iya.” Masalah keluarga, kemiskinan, kepahitan, kebingungan yang begitu dalam dapat diubah Tuhan menjadi bagian dari rencana-Nya. Dari hati dan bibir seorang remaja yang berkata, “Ya,” Tuhan memungut jiwa yang hancur untuk membangun Kerajaan-Nya. Alhasil, di dalam camp remaja itu, majulah seorang remaja Stephen Tong. Dan di dalam camp NRETC kali ini, remaja yang menjadi pendeta tua itu kembali memanggil anak-anak muda.
Apa yang menjadi duri dan kehancuran (brokenness) di dalam hidup remaja? Apakah keluarga yang berantakan dan dingin? Apakah kesepian? Apakah kepahitan? Kemiskinan? Identitas seksual-emosional sebagai seorang pria dan wanita? Atau bahkan, keinginan untuk mati? Jika itu yang menjadi kepahitan, jangan pernah menyangka bahwa Tuhan melupakan manusia. Tuhan ingin memakai semua kehancuran itu untuk Kerajaan-Nya. “Arsitek dunia selalu memakai bahan-bahan yang paling indah untuk membangun bangunan yang megah di dunia ini. Hanya Tuhan Allah yang memakai manusia-manusia yang hancur hatinya untuk membangun Kerajaan-Nya,” kata Pdt. Stephen Tong.
“Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” – Mazmur 51:19
Camp National Reformed Evangelical Teen Convention (NRETC) adalah sebuah sharing terdalam dari Pdt. Stephen Tong. Sebagaimana dahulu Tuhan memanggilnya saat remaja, Tuhan yang sama juga memanggil remaja-remaja saat ini. Pak Tong sudah melayani generasi ini selama puluhan tahun, dan memercayakan generasi berikutnya kepada remaja-remaja yang terpanggil untuk melayani Tuhan. Pertempuran selanjutnya adalah sebuah pertempuran yang lebih besar, sulit, dan kompleks. Untuk itu, remaja-remaja yang datang ke dalam camp NRETC perlu sungguh-sungguh menggumulkan untuk melayani umat Allah dan menjadi berkat bagi gereja dan bangsa.
Remaja bisa meluangkan waktu belasan jam per hari untuk bermain game, membangun karakter, menonton film romansa yang penuh dengan drama emosional, dan lainnya. Akumulasi jam tersebut bisa lebih lama daripada jam tidur. Anak-anak sekarang kekurangan tidur, tetapi jiwanya tidak pernah mendapatkan istirahat yang tenang. Makin disuntik dengan stimulus-stimulus keasyikan, malah makin bosan dan kering. Bukankah itu alasannya kita terus mencari dan mencari sampai kecanduan, berharap akan adanya pemuasan walaupun tahu tidak akan pernah ada?
Pascal, fisikawan dan filsuf, pernah mengatakan, “Di dalam hati manusia terdapat sebuah jurang yang amat dalam, yang tidak dapat dipuaskan oleh sesuatu ciptaan apa pun, kecuali kasih Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus.” Apakah itu yang sedang kita alami?
Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-selamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” – Yohanes 4:13-14
Mari kita hitung hari-hari kita. Jika kita diberikan hidup sampai usia 75 tahun, itu berarti kita mempunyai 27.375 hari. Sebuah angka yang tidak terlalu besar, tidak lebih besar dibandingkan jumlah angka dalam rekening bank. Lalu, potonglah jumlah hari itu dengan jumlah tahun yang sudah Anda lewati sebagai seorang remaja yang berusia 15 tahun (5.475 hari), berarti masih tersisa 21.900 hari. Pertanyaannya adalah apa yang akan Anda lakukan dengan sisa 20.000 hari yang diberikan oleh Tuhan? Jika selama 3-4 hari remaja bisa mendapatkan bekal terpenting untuk menjalankan ribuan hari yang akan datang, bukankah itu sesuatu hal yang berharga? Untuk itulah 3-4 hari selama NRETC ini dilakukan. Untuk itulah, roti dan air hidup disediakan di dalam camp NRETC ini melalui firman Tuhan.
Di tiap malam, ketika khotbah diberikan oleh para hamba-Nya, mari renungkan firman Tuhan. Apa yang sudah kita isi dengan hidup ini? Apa yang sudah kita lakukan terhadap talenta-talenta yang telah Tuhan percayakan? Apa saja dosa yang kita simpan, kubur, dan rawat? Apa saja penderitaan, air mata, dan kepahitan yang dirahasiakan, yang belum diserahkan kepada Tuhan? Serahkan brokenness hidup kita untuk diterima, ditebus, dan diubah menjadi berlian di dalam Kerajaan-Nya. Ingat, momen remaja di hadapan Tuhan inilah yang akan menentukan arah mengalirnya tahun-tahun di usia dewasa.
Tuhan bukanlah Tuhan yang diam dan jauh di luar sana. Dia bukanlah polisi moral yang suka memukul orang ataupun seorang artis yang hadir untuk menyenangkan perasaan kita. Tuhan adalah Bapa yang memanggil, menegur, menyembuhkan, dan berelasi dengan kita sebagai anak-anak kepunyaan-Nya. Tuhan bukanlah sebuah “itu” seperti barang atau seorang “Dia” yang jauh, tetapi “Bapa kami yang di sorga” yang kepada-Nya kita bisa memanggil nama-Nya. Apa momen kunci yang paling indah dari kehidupan seorang remaja? Tidaklah lain daripada mendengar dan menerima kabar baik Injil Kristus bahwa ada Allah yang mau berelasi dengannya secara personal: Allah mengasihinya sampai turut merasakan setiap air mata, lapisan-lapisan kepahitan, dan tiap sudut pergumulan, bahkan mati dan bangkit baginya. Momen inilah yang paling memuaskan hati remaja. Bukan hanya mendengar rumor tentang Tuhan, tetapi berjumpa muka dengan muka dalam iman dengan Tuhan, dijamah-Nya, dan memilih untuk kembali menjadi milik-Nya, sekali lagi dan selamanya.
Jadi, apa keputusan hatimu?
Apakah kamu mendengar suara-Nya?
Dengar, Dia panggil namamu.
Kevin Nobel Kurniawan
Dosen CIT & Guru SKC