Ada seorang yang sudah lulus sekolah teologi selama 6 tahun menulis surat kepada rektornya. Pak Rektor, saya sekarang kewalahan, karena setelah sekolah 4 tahun, di dalam 3 tahun khotbah saya sudah habis. Saya coba bersabar dan tekun, dan Tuhan beri tambahan kekuatan 3 tahun lagi, dan sekarang sudah betul-betul kering. Saya harus berbuat apa. Ada yang memberitahu saya, setelah 6 tahun melayani, libur Sabat setahun untuk mengisi kembali, lalu melayani lagi 6 tahun dan kemudian libur Sabat lagi satu tahun, ternyata akhirnya sama saja. Jadi, ketika engkau tidak mempelajari bagaimana menteologikan dan melogikakan sesuatu, engkau tidak akan pernah maju.
Banyak orang sudah pulang dari luar negeri, sudah belajar ke jenjang yang tinggi, khotbahnya lebih kering. Hal ini terjadi karena ia belum mengerti rahasia yaitu bagaimana memperkembangkan relasi antara belajar dan berpikir. Berpikir untuk belajar lagi. Dan ini proses berulang untuk kita mendapatkan pengertian kebenaran. Ada suatu perkembangan menggali diri di dalam mengerti kebenaran. Rahasia ini harus dimengerti sedalamnya untuk memperkuat kemampuan belajar kita, yaitu: melakukan dengan sungguh-sungguh apa yang kita pelajari untuk mempraktekkan apa yang kita tahu, sehingga dengan demikian kita mendapatkan pengertian yang lebih mendalam lagi. Jadi untuk satu topik yang sama, pengertiannya bisa berpuluh-puluh lapisan. Sama-sama membicarakan ”Tuhan mencintai manusia” seorang yang baru mendapatkan cerita atau pengajaran tentang itu, akan sangat berbeda tingkat pemahaman dan kedalamannya dengan seseorang yang pernah mengalami berbagai pengalaman yang menakutkan, yang begitu banyak penderitaan, dan di dalamnya ia mengalami cinta Tuhan yang begitu nyata.
Ketika seseorang baru ikut ujian lalu diberi kredit dan lulus, dengan pengertian kebenaran yang hanya sampai di batas kognitif saja, dan belum masuk di dalam pengalaman mempraktikkan apa yang ia pelajari itu dan diintegrasikan dengan kehidupannya, bukanlah metode yang baik. Konfusius mengatakan seseorang harus belajar berulang-ulang diingatkan dan dipraktikkan lagi. Inilah xuexi. Ilmu yang sudah kita ketahui harus sering diulangi dan dipraktikkan. Ini akan menjadi suatu sukacita besar. Orang yang sudah belajar, sering diulangi, sering dibaca kembali, sering dipikirkan kembali, sering diingat kembali, sering dipraktikkan kembali, dan itu menghasilkan sukacita yang tidak habis-habis. Kiranya kita pernah mengalami pengalaman seperti ini.
Banyak orang sudah pulang dari luar negeri, sudah belajar ke jenjang yang tinggi, khotbahnya lebih kering. Hal ini terjadi karena ia belum mengerti rahasia yaitu bagaimana memperkembangkan relasi antara belajar dan berpikir. Berpikir untuk belajar lagi. Dan ini proses berulang untuk kita mendapatkan pengertian kebenaran. Ada suatu perkembangan menggali diri di dalam mengerti kebenaran.
Buku yang bermutu dibaca lagi dan lagi, dan setiap kali membaca kembali mendapatkan pengertian baru, lalu ketika dipraktikkan mendapatkan pengalaman dan kedalaman integrasi hidup yang baru. Demikian pula kaset khotbah yang bermutu, ketika didengarkan kembali akan mendapat pengertian yang baru. Khotbah yang tidak bermutu kalau didengar kembali akan mulai terlihat ketidakberesannya, kesalahan-kesalahannya di mana saja. Khotbah yang bermutu ketika ditranskrip menemukan begitu banyak dan limpah makna di dalamnya. Makin dipikirkan makin dirasakan kedalamannya. Banyak orang mengatakan khotbah saya betul-betul ketika ditranskrip akan menemukan banyak kedalaman pengertian dan data yang saya paparkan jika diuji di kamus betul sesuai.
Allah itu ada di dalam detailnya (kerinciannya). Ketika saya naik ke Katedral di Koln di paling atas, seluruh sudut betul-betul 90 derajat. Rapi luar biasa. Di banyak tempat, bagian atap seringkali tidak rapi karena tidak dilihat orang. Tetapi orang Jerman ketika membangun Gereja, mereka sadar Tuhan itu detail dan Tuhan akan melihat dari atas apa yang mereka kerjakan, sehingga semua harus akurat, tepat 90 derajat. Semua ukiran tepat tidak ada yang bengkok. Semua yang dibuat manusia, kalau diberi kaca pembesar akan terlihat kekacauannya; tetapi semua yang dicipta Tuhan, makin diberi kaca pembesar, makin diberi mikroskop, makin terlihat kerincian dan kerapiannya. Disitu kita melihat kuasa Tuhan di dalamnya. Semua orang yang berbobot tidak usah takut, tidak perlu kuatir dikritik, dianalisa pun tidak masalah. Emas tidak pernah takut masuk ke dalam api. Makin besar apinya makin membuktikan kemurniannya. Ini mutu.
Ketika kita mengulangi pelajaran yang lama, kita boleh menemukan kesadaran yang baru di dalam pelajaran yang lama itu. Ini adalah kalimat yang terkenal di dalam sejarah Tionghoa. Mengulangi, mempelajari yang sudah pernah dipelajari, maka akan mendapat pengertian yang baru. Jadi, kebenaran itu memiliki kesegaran yang senantiasa menggali dan merangsang kita mengetahui sesuatu yang baru, yang sebelumnya kita pikir tidak ada.
Namun, untuk kitab yang bermutu seperti Kitab Suci, setiap kali kita baca lagi, baca lagi, khotbah lagi, khotbah lagi, kita renungkan lagi, tidak ada habis-habisnya kita akan menggali dan menemukan sesuatu yang baru di dalamnya. Ketika saya mendengar khotbah saya sendiri yang saya khotbahkan lima tahun sebelumnya, saya kembali mendapatkan pencerahan baru. Konfusius di 2500 tahun yang lalu, terus menggali teori, pemikiran dari orang-orang kuno dan terus mendapatkan inspirasi yang baru. Jadi dengan belajar yang lamapun engkau akan menemukan guru.
Seorang gentleman (orang yang agung) belajar seluas-luasnya di dalam segala sastra, tetapi dia harus mengikat diri di dalam tata krama. Hal ini sangat penting. Belajar seluas mungkin, sebanyak mungkin, membaca buku sebanyak-banyaknya, tetapi tetap membatas diri untuk tidak melakukan yang tidak sesuai tata krama, tidak melakukan hal yang tidak sopan. Ada paradoks antara keluasan dan kesempitan. Belajar luas, tetapi membatas dan menyempitkan diri dalam tata krama. Hal ini sejalan dengan Mazmur 119. Dengan segenap hati aku mau belajar dan mencari Tuhan, mengejar hal yang harus aku mengerti, tetapi di dalam semuanya itu, aku hanya akan membatasi untuk berjalan di dalam batasan perintah-perintah Tuhan. Hati boleh semakin luas, tetapi kaki semakin sempit. Hatinya dibuka oleh Tuhan seluas mungkin, aku memikirkan segala kebenaran, tetapi aku hanya berjalan di dalam prinsip yang digariskan oleh perintah Tuhan.
Konfusius belajar segala sastra, segala pengertian ilmu seluas mungkin, tetapi ia hanya membatasi kelakuannya di dalam batasan tata krama. Semua yang tidak sopan harus dibuang, tidak boleh dilihat, tidak boleh dijalankan, tidak boleh dikerjakan. Ini pelajaran yang sangat indah, yang sangat membangun kehidupan. Belajar segala sesuatu, tetapi hanya menjalankan yang benar, sesuai tata kesopanan yang baik.
Di dalam Mazmur 119 sangat banyak ayat-ayat yang sangat penting untuk kita hafalkan dan hidupkan. Ayat-ayat dalam Mazmur 119 saya pelajari dan saya kontraskan satu dengan yang lain, khususnya di kaitkan dengan sebelum dan sesudah mengalami kesengsaraan. Selalu di setiap ayat pasti muncul kata Taurat Tuhan, perintah Tuhan, ajaran Tuhan, aturan Tuhan dan semua kata setara itu. Semua ini mengajar kita untuk kembali kepada pengetahuan yang sejati yang menghubungkan saya dengan kebenaran yang sejati. Pencarian pengetahuan harus menuntut pengetahuan yang sejati; dan pengetahuan yang sejati harus jujur, yang tidak tahu diakui sebagai tidak tahu.
Kalimat penting Konfusius yang terkenal di dalam epistemologi adalah: Jika engkau tahu, jalankanlah apa yang engkau tahu; dan jika tidak tahu, akuilah bahwa engkau tidak tahu; Inilah pengetahuan sejati. Ketika engkau mengetahui sesuatu, engkau harus jujur mengakui engkau mengetahuinya dan jika engkau tidak tahu, engkau juga harus jujur berani mengakui engkau menang tidak tahu, itulah pengetahuan sejati. Orang yang jujur tidak pura-pura tahu, karena pura-pura tahu adalah sama dengan tidak tahu. Pengetahuan yang tidak sejati adalah pengetahuan yang tidak berguna. Jadi jika engkau mau tahu, engkau harus mengetahuinya sungguh-sungguh.
Pengakuan yang jujur seperti itu akan membuktikan seseorang adalah orang yang betul-betul tahu. Yang tahu tidak lebih baik daripada yang menggemarinya. Jadi tahu tidak sama dengan suka. Kalau engkau tahu engkau tidak boleh judi, dan engkau tidak suka judi maka itu baik. Engkau tahu engkau tidak boleh judi, tetapi engkau suka judi, maka engkau tidak beres. Yang belajar musik secara pengetahuan, berbeda dari orang belajar musik karena ia cinta musik. Jadi tahu tidak sama dengan suka. Berbeda sekali antara orang yang mengerti teologi dengan orang yang suka dan mencintai Tuhan sungguh-sungguh. Mengetahui tidak bisa dibandingkan dengan suka. Jadi engkau bisa mengetahui New York Philharmonic, Berlin Philharmonic (dari Berlin Barat), dan Berlin Symphoniker (dari Berlin Timur). Tahu berbagai simfoni ini bukan berarti kita mencintai musik simfoni. Engkau mengetahui musik, belum tentu engkau pecinta musik. Jika engkau pecinta musik, engkau akan mengejarnya di sepanjang hidupmu. Jadi, pengetahuan dan pendidikan seharusnya adalah mencari kebenaran sampai ketingkat lebih tinggi, bukan berhenti hanya mengetahui, tetapi menggemari kebenaran itu; dan bukan hanya menggemari kebenaran itu, tetapi akhirnya mencintainya, dan berkecimpung memasukkan diri ke dalamnya, mabuk di dalamnya. Yang tahu tidak lebih baik dari yang gemar. Ini artinya. Yang tahu tidak lebih baik dari yang gemar, yang gemar tidak lebih baik dari yang mencintai dan bersukacita di dalamnya.
Sama-sama dua orang bekerja bisa berbeda sama sekali. Yang satu bekerja sambil rasa tidak rela, jengkel; tetapi ada yang bekerja, sambil bersukacita, dan sangat menyukai pekerjaan itu. Sama-sama banting tulang, ada yang sambil marah-marah, dan ada yang sambil menyanyi. Ada yang menggendong anak sambil jengkel dan ada yang menggendong anak sambil bersukacita. Ini karena yang satu tidak mencintai anak dan satunya mencintai anak; yang satu menggendong untuk uang dan yang satunya menggendong anak sendiri. Keduanya berbeda sekali. Ada yang sama-sama gendong anak sendiri; yang satu sambil gendong sambil marah-marah jewer anaknya; yang satu lagi menggendong sambil menyayangi anaknya. Mengapa bisa demikian? Karena yang satu suaminya tidak sayang sama dia, maka dia balas ke anaknya; yang satu lagi suaminya sayang sama dia, jadi dia juga sayang anaknya.
Ketika saya melihat orang-orang menyanyi di gereja, mereka menyanyi tanpa emosi. Hal ini berbeda sekali dengan para penyanyi Rock-n-Roll. Ketika mereka menyanyi seluruh totalitas dirinya masuk ke dalam musik yang dia nyanyikan. Saya tidak suka musiknya, tetapi saya suka semangat mereka. Ketika mereka menyanyi, mereka sudah lupa dirinya seperti apa, wajahnya bagaimana, ia seolah lupa diri, dan masuk sepenuhnya ke dalam musiknya. Di dalam filsafat Tionghoa itu dilihat sebagai harmoni. Diri dan tubuhmu sudah menjadi satu, yaitu terjadi kesatuan dan ketercampuran antara jiwa dan diri kita. Jadi kalau engkau tidak memiliki pengalaman sedemikian, engkau bicara (berkhotbah) sambil sadar setiap hal, tangan harus diangkat atau tidak, mata harus melihat ke sebelah mana, apa yang harus dipegang, kepala miring kemana, dan semua detail lainnya, engkau tidak akan bisa berbicara (berkhotbah) dengan baik. Pada saat kita berbicara atau berkhotbah atau berpidato, seluruh gerak tubuh kita akan menyatu dengan diri dan semangat kita untuk kita bisa menyampaikan pesan kita secara totalitas. Ketika berpidato, seseorang harus lupa dia ada dimana, yang dia tahu adalah dia sedang menyampaikan kebenaran yang harus dimengerti oleh pendengarnya. Kita harus melupakan ”si aku” ini dan menyatu dengan berita kebenaran yang kita sampaikan untuk kita boleh menjadi pembicara yang baik. Tubuhmu sudah bergabung menjadi satu, sehingga akhirnya tidak ada lagi kesadaran eksistensi dirinya. Orang yang bekerja dengan serius akhirnya seluruh dirinya masuk ke dalam pekerjaannya, sampai ia lupa makan, lupa minum, bahkan lupa isterinya.
Thomas Alfa Edison terkenal sebagai seorang yang begitu tekun bekerja. Sesudah pernikahannya selesai, dalam perjalan pulang, di mana dia masih berpakaian pernikahan, isterinya masih memakai gaun pernikahan, kereta yang mereka tumpangi melewati laboratoriumnya. Dia menghentikan kereta, turun, dan berkata, ”Sebentar ya.” Lalu dia masuk ke laboratoriumnya, bekerja dan lupa pulang. Dia tidak keluar-keluar dari laboratoriumnya, isterinya terus menunggu di luar. Ya, mungkin sebaiknya jangan menikah dengan orang seperti ini, tetapi andai menikah, mungkin juga bisa terkenal seperti menjadi isteri Thomas Edison. Jadi yang disebut sebagai pengetahuan sejati di dalam pendidikan bukanlah suatu kepingan-kepingan pengetahuan, kita harus menuntut Firman, melalukan penyelidikan yang menyeluruh terhadap kebenaran alam semesta. Pengetahuan yang sejati bukan dimengerti secara fragmentaris, bukan comot sedikit di sini dan sedikit di sana. Kita harus mengertinya sampai total. Itulah Firman, kebenaran yang kekal, dan bisa mengerti kebenaran apa di dalam alam semesta. Inilah pengertian yang pertama dan utama akan pengetahuan dalam pendidikan.
Konfusius menjadi agung karena Kitab Konfusianisme mengandung pengertin dao (firman) yang digabungkan dengan xi. Jika orang Tionghoa ingin mengatakan ”Tahu tidak?” ia akan berkata: ”Dao xi” yaitu mengetahui Friman. Orang yang tahu firman barulah tahu; jika belum mengerti Firman maka belum dianggap tahu. Pengetahuan di luar Firman, di luar logos, di luar dao, di luar kebenaran alam semesta adalah pengetahuan yang bersifat fragmentaris, yang terpecah berkeping-keping. Tetapi pengetahuan Firman yang kekal barulah merupakan pengetahuan yang sungguh-sungguh. Tetapi apa yang disebut sebagai ”Firman” itu akhirnya tetap kosong, kecuali Sang Firman itu sendiri datang menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. Dialah Firman yang berinkarnasi, barulah bisa memberikan jawaban yang total dan kekal. Dalam hal ini, kita berbeda dengan Konfusianisme. Amin.