Berbicara tentang dao, ada tiga kalimat besar dari Konfusius, yaitu:
Pertama, seorang gentleman (seorang yang agung) adalah seseorang yang mencari firman, bukan mencari makan. Kebanyakan manusia di dunia hanya hidup untuk mencari makan. Semua mencari makan, manusia mencari makan, monyet juga mencari makan. Hanya saja, jika manusia itu hanya hidup mencari makan, ia mirip seperti monyet. Tetapi seorang gentleman berbeda. Konfusius mengatakan bahwa gentleman mencari kebenaran, tidak sekadar mencari makan. Hal ini sangat mirip dengan perkataan Tuhan Yesus. Yesus berkata, “Manusia hidup bukan hanya bersandarkan roti saja, tetapi bersandarkan setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah.” Perbedaannya, di dalam Konfusius, firman itu tidak didefinisikan terlebih dahulu. Firman di dalam Yesus Kristus adalah setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah. Konfusius mengatakan, “Manusia mencari kebenaran, bukan mencari makan.” Yesus berkata, “Tidak mencari roti saja,” berarti tetap harus mencari makan, bukan hanya terus mencari firman, dan akhirnya lapar. Di sini kita melihat bahwa wahyu khusus selalu lebih unggul dari wahyu umum.
Kedua, yang disebut firman itu tidak boleh sedetik pun kita tinggalkan atau terpisah darinya. Firman memiliki kaitan langsung, berlanjut, konsisten, dan mutlak dengan kehidupan manusia. Firman dan kebenaran tidak bisa kita lepaskan dari hidup kita walaupun hanya sekejap saja, karena kita membutuhkannya. Kata shuyi (meninggalkan) jarang digunakan, masih dipakai di dalam sastra kuno, tetapi hampir tidak pernah lagi dipakai di dalam sastra modern. Ketika kita meninggalkan atau berpisah dari kebenaran, kita nihil. Keberadaan kita sepenuhnya bergantung kepada kata-kata kebenaran. Kita tidak bisa meninggalkannya walaupun hanya satu momen sekalipun dari kebenaran ini, karena kebenaran inilah yang dapat secara konsisten memelihara keberadaan kita. Keberadaan manusia bergantung kepada adanya firman, dan sekejap mata lepas dari padanya engkau sudah tidak bisa apa-apa. Pengertian ini mirip dengan Yohanes 15:5 di mana Yesus mengatakan, “Jikalau engkau terpisah dari pada-Ku, engkau tidak dapat berbuat apa-apa.” Kalimat yang mirip selalu muncul di dalam Kitab Suci dibandingkan dengan wahyu umum.
Konfusius mengatakan, “Manusia mencari kebenaran, bukan mencari makan.” Yesus berkata, “Tidak mencari roti saja,” berarti tetap harus mencari makan, bukan hanya terus mencari firman, dan akhirnya lapar. Di sini kita melihat bahwa wahyu khusus selalu lebih unggul dari wahyu umum.
Kalimat ketiga yang penting adalah jika pada suatu pagi saya mendengarkan firman, maka malam itu aku sudah rela mati. Konfusius begitu mengharapkan untuk dapat mengerti firman, ia sangat berharap bisa mengerti kebenaran total itu. Jikalau di satu pagi ia berkesempatan mendengar dan menemukan firman itu, sorenya mati pun ia rela. Jika pagi hari saya menemukan dan mengerti kebenaran, sore mati pun rela.
Dapat disimpulkan, ada tiga kalimat penting Konfusius yang berkenaan dengan dao (kebenaran) yaitu:
- Gentleman mencari kebenaran, bukan makanan.
- Kebenaran tidak dapat dipisahkan sekejap pun dari hidup kita.
- Pagi tahu kebenaran, sore mati pun rela.
Ketiga hal inilah yang akan memupuk diri untuk mencapai karakter ideal.
Memupuk Karakter Ideal (ren)
Di dalam pemikiran Konfusius, memupuk karakter untuk mencapai satu karakter ideal adalah untuk menjadi seorang agung (gentleman). Konsep gentleman ini yang merupakan ide utama Konfusianisme.
Konfusius melihat bahwa orang zaman dahulu (kuno) sekolah berbeda dari orang zaman Konfusius sekolah. Orang zaman dahulu sekolah dengan bersungguh-sungguh. Pada suatu zaman dahulu kala, ada seorang anak miskin tetapi sangat bersemangat belajar. Tetapi pada zaman itu belum ada listrik dan lampu. Karena anak ini sangat miskin, mereka juga tidak punya cukup penerangan. Rumahnya gelap. Tetapi tetangganya orang yang kaya dan punya banyak lampu (lilin) yang terang. Setiap mulai jam 5 sore, lampu besar-besar menyala dan terangnya luar biasa. Ia mohon supaya diperbolehkan membuat lubang di dinding yang mengarah ke rumahnya supaya ia ada penerangan yang bisa jatuh ke rumahnya dari sinar yang terang di rumah sebelah. Tetangganya yang tahu anak ini sungguh-sungguh dan memang rajin sekali belajar, maka memperkenankan membuat lubang di tembok pemisah rumahnya supaya sinar rumahnya bisa jatuh ke sebelah rumah. Dengan demikian anak ini bisa belajar sampai pukul 12.00 malam sampai tuan rumah sebelah mematikan lampu lilinnya. Akhirnya anak itu menjadi seorang yang terkenal, karena dari sejak kecil sudah memiliki semangat belajar yang luar biasa.
Konfusius berkata, bahwa sekarang sangat berbeda. Orang kuno belajar untuk membentuk diri. Sekarang orang tidak kekurangan cahaya. Punya lampu 200 watt, tetapi tetap saja mengantuk. Orang jadi tidak belajar, karena acara televisi lebih menarik. Hari ini orang sekolah untuk menyenangkan orang lain. Kamu belajar supaya mudah cari makan, supaya hasil belajarnya ini bisa dipakai oleh orang lain dan mendapat gaji yang besar, bukan untuk membentuk diri. Banyak orang belajar bukan untuk mencari kebenaran, tidak mencari kebenaran sejati dan pengetahuan sejati.
Pengetahuan sejati adalah demi menegakkan dan mengisi karaktermu untuk menjadi dewasa. Menjadikan karakter dewasa adalah tujuan hidup manusia yang penting. Orang dahulu belajar untuk membentuk diri, sekarang orang belajar hanya untuk masyarakat dan orang lain saja. Seorang penafsir Konfusianisme dari dinasti Song yang sangat terkenal bernama Zhu Xi. Zhu Xi seperti talmud. Orang Yahudi mengetahui Kitab Suci melalui talmud, orang Tionghoa mengerti Konfusianisme melalui tafsiran yang paling ortodoks, yaitu dari Zhu Xi.
Zhu Xi mengatakan bahwa orang kuno belajar untuk menggenapkan diri sendiri. Bagi dia, ini adalah upaya menjadi diri yang berkarakter tinggi. Di dalam kitab yang lain, Konfusius mengatakan bahwa seseorang harus belajar empat hal: a) berminat dan bertekad bulat untuk menemukan firman; b) berpegang kuat pada moral dan berintegritas—orang yang berpengetahuan tinggi tetapi bermoral rendah dianggap seperti binatang; c) bersandar pada Kebajikan atau loving kindness; dan d) berkecimpung masuk dan tenggelam di dalam seni. Dia akan memupuk karakternya dengan musik yang tinggi, dengan seni lukisan, ukiran atau seni yang lain. Inilah empat karakter manusia agung (gentleman).
Menuntut Mencapai Summum Bonum
Seorang yang agung akan menuntut diri mencapai kebajikan tertinggi (summum bonum). Tujuan terakhir dari pengertian yang sesungguhnya adalah bisa mencapai kebajikan yang tertinggi. Ini dianggap sebagai pencapaian sempurna dari karakter seorang manusia di dalam mengejar kebajikan yang paling tinggi. Summum bonum berarti kebaikan yang paling tinggi, di mana tidak ada lagi yang bisa lebih tinggi lagi, lebih baik lagi.
Ada orang yang berbuat baik karena itu nanti bisa dipuji orang. Maka dia berbuat baik karena ingin dipuji orang; itu bukan berbuat baik. Berbuat baik itu bukan tujuan akhirnya, tetapi tujuan akhirnya adalah mendapat pujian. Summum bonum berarti berbuat baik itu menjadi tujuan akhir dan tidak ada apa pun lainnya yang mengikuti. Berbuat baik hanya karena alasan untuk berbuat baik. Kalau berbuat baik untuk dipuji orang, maka berbuat baik itu hanya menjadi alat saja. Sesuatu yang menjadi alat belum pernah mencapai titik maksimal, karena masih berupa alat. Engkau yang memperalat kebajikan, sehingga kebajikan itu hanya alat. Jika kebajikan hanya alat, engkau memakai kebajikan untuk memancing sesuatu, sesuatu itulah yang menjadi tujuanmu, maka engkau belum berbuat baik.
Kebajikan tertinggi terjadi ketika semua yang saya perbuat adalah karena saya sudah bersatu dengan kebajikan itu sendiri, sehingga kebajikan bukan menjadi alat untuk mencapai sesuatu yang lain; kebajikan itu menjadi tujuan di mana saya menuju kepada dia untuk bersatu dengan dia. Di dalam kekristenan, mengasihi Allah adalah mengasihi kasih itu sendiri, karena Allah adalah kasih. Allah adalah kasih, sehingga engkau mengasihi Allah berarti engkau mengasihi kasih. Dengan demikian, ketika engkau mengasihi seseorang, tidak boleh ada motivasi lain selain engkau mengasihi dan mau mengorbankan diri karena kasih. Itu yang disebut summum bonum, kebajikan yang tertinggi.
Konfusius mengatakan bahwa kita mencari kebenaran, lalu kita memupuk diri untuk menjadi seseorang yang berkarakter tinggi, lalu setelah itu bagaimana kita bisa berjuang untuk melakukan kebajikan yang tertinggi. Namun, semua ide dan kerinduan yang sangat baik ini pada akhirnya tidak pernah mungkin tercapai, kecuali Roh Kudus bekerja di dalam diri orang tersebut. Namun masalahnya, justru doktrin Roh Kudus hari ini ditafsirkan secara tidak beres, sehingga yang dikatakan kepenuhan Roh Kudus justru banyak penipuan dan penuh dengan gejala yang tidak beres. Akibatnya, seluruh kekristenan dipermainkan tidak karuan. Hal ini membuat kita sedih luar biasa. Orang-orang di luar Kristus memikirkan summum bonum begitu serius, memikirkan bagaimana bisa memiliki karakter yang baik, akhirnya mereka tidak mampu mencapainya karena mereka tidak memiliki Roh Kudus. Sebaliknya, Tuhan memberikan Roh Kudus kepada umat Tuhan, tetapi yang berkhotbah tentang Roh Kudus menyelewengkan doktrin ini sedemikian kacaunya, sehingga akhirnya yang berpotensi memiliki Roh Kudus juga tetap tidak bisa mencapai kehidupan yang berkarakter baik. Sungguh betapa menyedihkan hal seperti ini.
Jadi kita harus memiliki motivasi menuntut kebajikan tertinggi, yaitu menggenapkan diri, untuk kemudian boleh memengaruhi untuk menggenapi orang lain. Penggenapan diri sendiri menjadi pangkalan untuk dapat menggenapi orang lain. Di dalam buku Yongyue, Konfusius mengatakan, “Dirimu ditegakkan untuk boleh menegakkan orang lain.” Dirimu harus mampu mencapai sesuatu, barulah dapat menolong orang lain untuk mencapai sesuatu itu juga. Sejauh mana dirimu mencapai sesuatu, maka sejauh itu juga engkau dapat menolong orang lain. Jika dirimu sudah ditegakkan secara moral, berkarakter tinggi, barulah engkau bisa menegakkan karakter orang lain. Orang yang sendirinya berdiri mau jatuh, akan sulit untuk membantu orang lain untuk tidak jatuh. Kalimat ini mirip dengan kalimat Tuhan Yesus, “Apa yang engkau inginkan, lakukan itu kepada orang lain.” Kita telah bicarakan perkataan Konfusius, “Hal yang engkau tidak inginkan, jangan engkau lakukan itu kepada orang lain.” Tetapi perkataan yang ini lebih mirip dengan ajaran Kristen: yang engkau sendiri bisa tegakkan, engkau harus menegakkan diri, dan dengan itu engkau bisa menegakkan orang lain. Ketika engkau ingin mencapai suatu kesuksesan, baru kemudian menolong orang lain mencapai kesuksesan. Hal ini mirip dengan bagaimana mengasihi orang lain berdasarkan mengasihi dirimu sendiri. Jadi mencintai orang lain sama seperti engkau mencintai diri sendiri, ini diterapkan dalam pikiran Konfusianisme. Ini adalah pemikiran yang besar sekali.
Beberapa kali saya mendengarkan biksu-biksu berkhotbah di televisi, dan juga beberapa kali mendengarkan khotbah pendeta-pendeta Kristen di televisi. Saya melihat perbedaan yang cukup besar. Rata-rata para biksu ketika berkhotbah di televisi banyak memperkenalkan agama dan doktrin mereka dengan tegas; sementara banyak pendeta Kristen hampir tidak tahu kekristenan itu apa, yang dikhotbahkan begitu dangkal dan hal praktis yang tidak terlalu penting.
Konfusius dengan sikap yang sangat rendah hati mengajak orang mempelajari sesuatu dari orang lain. Selalu mempelajari sesuatu dari orang lain. Selalu mau belajar sesuatu dari orang lain ini adalah sikap yang sangat rendah hati. Tidak perlu ada kecongkakan, tetapi belajar, mau belajar dari orang lain. Dia mengatakan, “Jika ada tiga orang berjalan bersama, di antara mereka salah satunya pasti bisa jadi guru saya.” Tidak perlu banyak orang, jika ada tiga orang berkumpul, pasti salah satu dari mereka bisa menjadi guru bagi saya. Banyak orang berpikir kalau mau belajar harus pergi ke luar negeri, pakai banyak uang dolar, baru bisa belajar. Konfusius mengatakan tidak perlu demikian. Ke mana saja ketemu tiga orang, maka salah satunya pasti bisa jadi guru kita. Seorang guru adalah orang yang bisa merangsang saya untuk memikirkan sesuatu, atau seseorang yang bisa memberikan peringatan tertentu untuk kehidupanku. Maka kalau berjalan bertiga, pasti ada orang yang bisa memberikan sesuatu untuk saya pelajari. Bahkan dari orang yang lebih buruk atau lebih bodoh dari kita, kita tetap bisa belajar dari padanya, yaitu bisa menjadi peringatan bagi kita.
Semua yang baik dari seseorang kita bisa pelajari dan ikuti, yang tidak baik dari seseorang bisa menjadi peringatan untuk tidak kita lakukan. Jadi setiap kali kalau tiga orang berjalan bersama, pasti ada yang bisa menjadi guruku. Bisa melihat apa yang baik atau yang tidak baik. Dengan demikian engkau perlahan-lahan bisa menggarap kehidupanmu untuk mendapatkan suatu perubahan untuk mengubah diri.
Semua yang baik dari seseorang kita bisa pelajari dan ikuti, yang tidak baik dari seseorang bisa menjadi peringatan untuk tidak kita lakukan.
Ketika kita bergaul dan berelasi dengan orang lain, kita baru bisa menemukan ada beberapa kebiasaan di rumah tangga kita yang kurang baik. Hal ini bisa membuat kita mengoreksi diri. Setiap keluarga menjadi suatu “cultural village” (kampung budaya). Jadi jika kumpulan orang banyak menjadi kampung kultural yang besar juga. Setiap kampung memiliki budayanya sendiri, demikian juga setiap keluarga merupakan satu kampung budaya sendiri yang bersifat eksklusif.
Di dalam satu kampung budaya (cultural village) ada kesamaan di dalam setiap anggotanya, kalau satu bilang ya, dua juga bilang ya, semua bilang ya, lalu mereka mengonfirmasikan diri. Suami istri kalau beda pendapat itu puji Tuhan. Kalau selalu sehati, besok menjadi kampung kebudayaan yang eksklusif, susah bekerja sama dengan orang lain. Suami bilang benar, istri bilang benar, semua benar, maka semua yang lain tidak benar. Makin suami istri mudah kerja sama, makin sulit mereka bekerja sama dengan orang lain. Jadi kalau pendapat suami begini, pendapat istri begitu, berbeda, itu ada baiknya. Lalu waktu dengar orang lain, akhirnya bisa melihat lebih luas. Berbeda pendapat itu tidak masalah, tetapi tidak boleh memaksakan diri. Amin.