Sebagian orang Kristen[1] menganggap dan memikirkan hal-hal eskatologis hanya berkaitan dengan hal-hal mendatang belaka (kedatangan Kristus kedua kalinya, penghakiman, dan lain-lain) yang masih “jauh”. Cara pandang seperti ini mirip dengan cara pandang Saulus yang dididik sebagai seorang Farisi yang tentunya memiliki cara pandang layaknya orang Yahudi, yang melihat sejarah manusia terbagi menjadi “zaman sekarang” (“the present age”) dan “zaman yang akan datang” (“the age to come”). Di mana “zaman sekarang” adalah zaman yang didominasi oleh dosa (sin), kejahatan (evil), dan kematian (death). Sedangkan “zaman yang akan datang” adalah masa di mana Allah akan kembali untuk Israel dan memerintah dalam Kerajaan-Nya.[2] Bagi mereka, “zaman yang akan datang”[3] itu belum tiba.
Memang benar, dilihat dari istilahnya[4] sendiri, eskatologi berkaitan dengan hal-hal yang terakhir. Namun ketika kita meneliti lebih cermat, kita akan mendapati bahwa hal-hal terakhir adalah termasuk masa kini, di sini dan sekarang, yang tidak lain adalah “zaman akhir” (“hari-hari akhir”)[5]. Ini yang diungkapkan oleh rasul Paulus setelah ia bertobat, karena cara pandangnya telah diubahkan. Dalam hal ini, Ridderbos mengatakan,
The whole content of Paul’s preaching can be summarized as the proclamation and explication of the eschatological day of salvation inaugurated with Christ’s advent, death, resurrection.[6]
Dengan kata lain, khotbah-khotbah Paulus mengungkapkan bahwa sejak saat inkarnasi Kristuslah, zaman yang dipahami oleh orang-orang Yahudi sebagai “zaman yang akan datang” atau zaman akhir itu telah diinaugurasikan.[7] Dan dari seluruh misi Tuhan Yesus sejak dari kelahiran sampai kenaikan-Nya ke sorga, yang diungkapkan para penulis Perjanjian Baru — yaitu inaugurasi mulainya zaman akhir — kita melihat bahwa tema sentralnya adalah Kerajaan Allah. Berita tentang Kerajaan Allah diproklamirkan baik dalam ucapan maupun karya-Nya. Dan karya-Nya di atas salib merupakan karya penebusan, yang bukan hanya menebus kaum pilihan-Nya dari dosa dan maut, namun juga menebus seluruh ciptaan (creation) dari efek dosa.[8] Kita perlu mengingat bahwa ciptaan mencakup dunia materi dan semua yang ada di dalamnya, yaitu kehidupan beserta segala aspeknya.
Simaklah beberapa pernyataan Tuhan Yesus yang dicatat dalam kitab-kitab Injil,[9] yang menyatakan bahwa Kerajaan Allah telah datang, seperti,
“But if it is by the Spirit of God that I cast out demons, then the kingdom of God has come upon you.” (Matthew 12:28)
“The time is fulfilled, and the kingdom of God is at hand; repent and believe in the gospel.” (Mark 1:15)
“. . . the kingdom of God is in the midst of you.”[10] (Luke 17:21)
Ridderbos mengingatkan kita akan hal ini ketika mengungkapkan bahwa Yesus sendiri dalam khotbah-khotbah-Nya mengatakan bahwa kedatangan Kerajaan-Nya adalah suatu realitas yang telah digenapi,[11] Ia pun menegaskan bahwa fakta ini merupakan penyataan (revelation) yang paling utama dalam Perjanjian Baru tentang keselamatan. Khotbah-khotbah Yesus tersebut berbeda secara fundamental dibandingkan dengan semua nubuatan dan pengharapan tentang Kerajaan Sorga[12] sebelum Dia.[13] Saat Akhir Zaman itu tiba, hari yang disebut sebagai Hari Tuhan (the Day of the Lord), Bavinck mengatakan bahwa pada hari di mana Tuhan Yesus Kristus datang kembali yang kedua kalinya itu akan terjadi kebangkitan orang-orang percaya, penghakiman orang-orang tidak percaya, dan pembaruan seluruh ciptaan. Orang-orang percaya akan menerima penebusan atas tubuh ini dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan yang penuh dengan sukacita. Pada saat kebangkitan yang terakhir tersebut akan terjadi kelanjutan (continuity) antara tubuh duniawi (earthly body) yang kita miliki saat ini dengan tubuh kebangkitan yang akan dimuliakan (glorified resurrection body), meskipun bagaimana akan terjadinya tidak kita ketahui dan tidak boleh menjadi spekulasi. Namun identitas setiap pribadi tetap tidak berubah. Yang pasti, akan ada kesatuan/kesamaan substansial sekaligus perbedaan kualitatif antara “tubuh alamiah” dan “tubuh rohaniah” tersebut (1Kor. 15).[14]
Demikian pula halnya dengan pembaruan seluruh ciptaan. Di satu sisi, dunia ini tidak akan berkelanjutan selamanya, namun di sisi lain, juga tidak akan dihancurkan dan digantikan dengan dunia yang baru secara total. Namun, dunia ini akan ditahirkan dari dosa dan diciptakan kembali (re-created), dilahirkan kembali (reborn), diperbarui (renewed), dan dibuat menjadi utuh (made whole).[15] Maka kita boleh melihat lebih jelas bahwa Kerajaan Allah telah hadir dan diinaugurasikan pada Adven Pertama yang bersifat spiritual dalam hati kaum pilihan-Nya. Dan pengharapan menjelang Adven Kedua — yang berakar pada inkarnasi dan kebangkitan Kristus — pun bersifat creational, this-worldly, visible, physical, dan bodily hope. Kelahiran kembali (rebirth) umat manusia akan digenapi secara utuh di dalam kelahiran kembali seluruh ciptaan. Itulah Yerusalem Baru yang dirancang dan dibangun oleh Allah sendiri. Pada hari itu, persekutuan dengan Allah dan dengan sesama kaum pilihan — yang di zaman akhir ini merupakan berkat-Nya — akan disempurnakan dan dimuliakan dengan berkelimpahan. Saat perhentian terakhir (final rest) itulah, kaum pilihan-Nya akan dengan penuh sukacita — secara bersama-sama dan di dalam keragaman masing-masing pribadi — melayani Dia siang dan malam dengan tidak henti-hentinya. Dalam kekekalan itu, keragaman tidak akan dilenyapkan, namun ditahirkan dari dosa dan dilayakkan untuk digunakan dalam persekutuan dengan Allah dan dengan sesama kaum pilihan.[16]
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa realitas seluruh ciptaan (termasuk manusia) yang akan datang adalah ciptaan yang akan diperbarui, di mana akan ada kelanjutan dari substansi yang ada sekarang dengan yang akan datang, sekaligus akan ada realitas ciptaan yang baru secara kualitatif; ada kesamaan/kesatuan sekaligus ada perbedaan. Terjadi semacam transformasi. Ibarat seekor kupu-kupu yang mengalami transformasi sejak dari kepompong. Kupu-kupu tersebut memiliki substansi yang sama dengan diri sebelumnya. Para penulis Perjanjian Lama secara tepat dan indah memberikan gambaran “kehancuran” ciptaan yang sekarang ini dengan pakaian dan jubah yang usang, daun pohon anggur dan ara yang gugur, dan asap yang lenyap (Mzm. 102:27; Yes. 34:4; 51:6); serta “menciptakan” ciptaan yang diperbarui (yaitu langit yang baru dan bumi yang baru, Yes. 65:17) dengan tindakan ilahi di mana Allah menjadikan sesuatu yang baru yang berasal dari sesuatu yang lama (Yes. 41:20; 43:7; 54:16; 57:18). Sering kali juga digambarkan dengan menanam, meletakkan dasar, dan membuat (Yes. 51:16; 66:22). Demikian halnya dengan para penulis Perjanjian Baru. Mereka tidak pernah mengatakan akan terjadi kehancuran substansi dari ciptaan yang sekarang ini, mereka menyatakan bahwa langit dan bumi akan berlalu (Mat. 5:18; 24:35; 2Ptr. 3:10; 1Yoh. 2:17; Why. 21:1), akan usang dan binasa seperti pakaian (Ibr. 1:11), akan lenyap (2Ptr. 3:10), akan hangus dalam nyala api (3:10), dan diubah (Ibr. 1:12).[17]
Sampai di sini kita boleh melihat beberapa hal, yaitu: (a) Allah yang merancang, mencipta, memelihara, menebus, dan melibatkan diri dalam ciptaan-Nya; (b) sejarah[18] yang sedang dan masih berlangsung sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya; dan (c) umat-Nya yang hidup pada zaman akhir ini. Namun persoalannya adalah bagaimana kaum pilihan Allah hidup menyongsong/menyambut Adven Kedua? Atau dengan kata lain, bagaimana umat Allah boleh terlibat dan “berbagian” dalam rencana dan misi Allah di tengah-tengah dunia ini? Perlu kita ingat, bahwa kisah sejarah alam semesta merupakan juga kisah umat Allah. Sejarah yang berujung pada Konsumasi adalah sejarah yang diisi oleh kehidupan umat Allah yang hidup menyambut kedatangan Kristus yang kedua kalinya dengan kualitas yang memuliakan Dia sekaligus menjalaninya dengan menikmati-Nya sampai selama-lamanya.[19] Jika demikian, seperti apa hidup yang memuliakan dan menikmati Allah itu? Kita perlu menggumulkan hal ini lebih serius. MacIntyre berpendapat,
I can only answer the question “What am I to do?” if I can answer the prior question “Of what story do I find myself a part?[20]
Selanjutnya bagi Wright,
“The whole point of Christianity is that it offers a story which is the story of the whole world. It is public truth.”[21]
Dengan demikian, sebuah kisah akan menentukan tindakan seseorang dan hanya kekristenan (baca: Alkitab) adalah kisah yang benar tentang dunia secara keseluruhan. Pertanyaan kita kemudian adalah, apakah tidak ada kisah lain selain Alkitab? Jika ada, mengapa harus Alkitab? Dalam hal ini, Newbigin mengingatkan realitas bahwa bagi kaum pilihan yang telah dipanggil dan ditebus-Nya, tidak ada kisah lain[22] yang cocok, selain daripada Alkitab. Ia mengatakan,
To be elect . . . means to be incorporated into his [God’s] mission to the world, to be the bearer of God’s saving purpose for his whole world, to be the sign and the agent and the first fruit of his blessed kingdom which is for all.[23]
Alkitab mengatakan, kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini[24], sekaligus juga, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia ini[25]. Kisah umat Allah adalah kisah pengutusan umat Allah (kembali) ke dalam dunia sebagaimana “. . . Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”[26]. Pengutusan gereja[27] ke tengah dunia adalah panggilan untuk menjadi saksi Kristus, panggilan yang juga disertai janji penyertaan Roh Kudus.[28] Jika kita perhatikan Kisah Para Rasul lebih lanjut, maka tampak banyak pemaparan berupa kesaksian para rasul. Dicatat pula pada saat hidup berkomunitas mewujudkan karya Roh Kudus yang berkuasa, maka hal tersebut menjadi kesaksian akan kebenaran berita Injil. Hidup yang saling berbagi dan yang berapi-api — yang menjadi karakteristik komunitas tersebut — sebagai perwujudan hidup yang telah diperbarui, telah menarik begitu banyak orang dari luar komunitas untuk bergabung dengan mereka. Jelaslah bahwa kesaksian para rasul “bergantung” pada komunitas yang menghidupinya dengan suatu pola/gaya hidup yang sesuai dengan dan memberi kesaksian akan kebenaran berita Injil.[29] Di sini kita melihat hidup yang baru dan ketaatan yang baru dari Gereja adalah demi dunia ini, sehingga ketika hidup baru yang dikaruniakan dalam Roh Kudus menjadi semacam bukti bagi orang-orang yang belum percaya, maka mereka pun diyakinkan akan kebenaran berita Injil, lalu akhirnya mereka akan ditarik kepada Kristus.[30] Bahkan jemaat-jemaat di Yudea, Galilea, dan Samaria menikmati hidup yang damai, yang dibangunkan dan senantiasa berjalan dalam takut akan Tuhan dan dalam penghiburan Roh Kudus. Jumlah mereka pun terus bertambah-tambah.[31]
Panggilan menjadi saksi Kristus ini adalah panggilan mulia yang merupakan misi global yang menjangkau sampai ke ujung bumi, sampai seluas ciptaan.[32] Menjadi saksi Kristus berarti berbagian dalam misi dan karya Allah dalam penebusan ciptaan-Nya, dan bukan semata-mata menjangkau sesama kita, namun juga menjangkau semua bidang (art, science, marketplace, media, dan sebagainya) dan aspek (individual, sosial) kehidupan.[33] Bagi kita, setiap individu dipanggil sesuai dengan keunikan dan porsi yang harus ditunaikan masing-masing.
Seorang saksi adalah seorang yang menyaksikan — atau berbagian di dalam — suatu peristiwa atau kehidupan satu atau sekelompok orang, kemudian memberitakan atau membagikan apa yang ia saksikan atau alami itu kepada orang atau pihak lain. Kita tahu bahwa sebagai orang Kristen, kita adalah saksi Kristus, ini adalah identitas yang begitu mulia. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita melihat identitas kita ini? Apakah sikap hidup kita berpadanan dengan identitas kita? Kalau melihat diri kita sendiri dengan sejujurnya, lebih tuntas, dan lebih dalam, maka akan kita dapati ternyata ada (banyak) hal-hal di dalam aspek hidup dan pribadi kita yang sesungguhnya tidak layak dan tidak boleh menjadi bagian atau disandang kita sebagai saksi Kristus. Mari kita melihat dan bercermin, salah satunya yaitu kesalehan.
Cukup banyak orang Kristen yang melihat kesalehan atau “kerohanian” sebagai jalan keluar untuk melarikan diri dari kehidupan beserta kesulitan dan penderitaan yang ada di dalamnya. Kesalehan menjadi jalan menuju kepada ilah (yang diimajinasikan dan diciptakan) yang berada di atas semua realitas kehidupan sehari-hari yang menyesakkan. Kesalehan digambarkan seperti suatu “road to heaven,” semacam penghargaan (reward) di saat akhir dunia ini karena telah mengasingkan atau melepaskan diri dari dunia.[34] Sementara esensi dari kesalehan itu sendiri adalah hidup dalam relasi dengan Allah dan hidup yang ditransformasikan melalui relasi tersebut.[35] Karena Allah kita adalah Allah yang pada diri-Nya sendiri saling berelasi antar-Pribadi, maka kita — yang diciptakan segambar dan serupa-Nya — pun menemukan kemanusiaan di dalam relasi.[36]
Seorang Kristen meneladani Kristus. Pada saat Adven-Nya yang pertama, Kristus mengenakan rupa dan tubuh manusia. Sang Hidup mengenakan tubuh yang dapat binasa, Yang Kekal mengenakan yang fana. Ada perjumpaan kekekalan dengan kesementaraan. Allah menghampiri dan diam di antara umat-Nya. Allah menegaskan relasi Kovenan-Nya dengan ciptaan-Nya. Ini menjadi teladan bagaimana Allah yang kudus justru menghampiri dan berelasi dengan ciptaan-Nya[37] yang sudah cemar dan rusak karena dosa.
Hal ini menegaskan kepada kita tidak boleh ada dikotomi antara sakral dan sekuler, rohaniah dan jasmaniah, sorgawi dan duniawi dalam dunia ciptaan. Paling tidak, ada dua catatan dalam Perjanjian Lama mengungkapkan hal ini.[38] Pertama, pada saat Yakub sedang dalam perjalanan dari Bersyeba menuju Haran, di tengah perjalanan ia tidur dan bermimpi ada tangga yang didirikan sampai ke langit di mana para malaikat turun naik di tangga tersebut dan Tuhan memberikan janji tentang keturunan dan berkat. Ketika ia terbangun, ia mengatakan, “Inilah tempatnya — di sini, pintu gerbang sorga, yang melaluinya dapat menghampiri Allah.” Ia menamakan tempat tersebut “Beth-El” (“Rumah Allah”), tempat yang menjadi persimpangan (titik temu) antara sorga dan bumi. Kedua, dalam penglihatan pemazmur, bahwa tangga yang menghubungkan sorga dan bumi ada di mana saja, bukan hanya di tempat tertentu saja. Bukan lagi “di atas” atau “di bawah”. Sorga telah turun ke bumi dan bumi telah dinaikkan ke sorga. Semua tempat dan setiap saat adalah Beth-El.[39] Oleh sebab itu, kita perlu menyadari bahwa Allah ada di balik selubung rutinitas, keseharian, yang biasa-biasa. Allah ada di balik selubung ciptaan, di balik orang-orang yang kita kasihi, di balik sesama kita.[40] Luther mengatakan bahwa Allah mengenakan selubung hal-hal yang ordinary, karena jika Ia memperlihatkan kemuliaan-Nya kepada kita, maka mata kita akan terbutakan.[41]
Kiranya panggilan dan identitas kita sebagai saksi-saksi Kristus boleh senantiasa kita jalani di dalam keutuhan (baca: integrity) secara esensial. Utuh tidak terpilah, terpecah, atau terserak antara satu aspek dengan aspek lain yang ada pada diri dan hidup kita. Utuh menjalani hidup bersaksi. Tidak lagi sambil menyaksikan Kristus, sambil berusaha melarikan diri dari realitas hidup yang dipenuhi dengan kesulitan dan penderitaan. Utuh bersaksi dalam konteks this-worldly, dengan tidak “terbang” memimpikan sorga di awang-awang imajinasi kita.[42] Dan utuh bersaksi dalam totalitas hidup dengan keragaman konteks hidup masing-masing. Amin.
Ev. Sanny Erlando
Hamba Tuhan GRII
Endnotes:
[1] Khususnya kalangan yang berpandangan futuristik.
[2] Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical History (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 188.
[3] Istilah “zaman yang akan datang”, “zaman akhir”, dan “hari-hari akhir” memiliki arti yang sama.
[4] Yun. eschatos, “hal-hal terakhir”.
[5] Sebelum Hari Akhir, Hari Tuhan, atau Akhir Zaman itu tiba. Ketiga istilah itu memiliki arti yang sama.
[6] Bartholomew dan Goheen, 188 (cetak miring ditambahkan); dikutip dari Herman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), 44.
[7] Tentunya dalam pengertain “already but not yet”.
[8] Bartholomew dan Goheen, 171.
[9] Kutipan Alkitab terjemahan bahasa Inggris diambil dari versi English Standard Version (ESV); cetak miring ditambahkan.
[10] Atau “within you”, atau “within your grasp”.
[11] Herman Ridderbos, The Coming of the Kingdom (Philadelphia: The Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1962), 47.
[12] Istilah “Kerajaan Allah” dan “Kerajaan Sorga” memiliki arti yang sama.
[13] Ridderbos, 48.
[14] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, vol. 4, Holy Spirit, Church, and New Creation, ed. John Bolt, terj. John Vriend (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 691.
[15] Bavinck, 715.
[16] Bavinck, 715.
[17] Bavinck, 716-17.
[18] Khususnya sejarah keselamatan.
[19] Bdk. Katekismus Singkat Westminster, T/J 1.
[20] Bartholomew dan Goheen, 18-19; dikutip dari Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 216.
[21] Bartholomew dan Goheen, 20; dikutip dari N.T. Wright, New Testament and People of God (London: SPCK, 1992), 41-42.
[22] Dalam pengertian metanaratif yang fundamental dan memberi pengertian akan dunia secara keseluruhan. Setiap individu memiliki kisah masing-masing yang beragam.
[23] Bartholomew dan Goheen; dikutip dari Lesslie Newbigin, The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), 27.
[24] Lih. Roma 12:2.
[25] Lih. Matius 5:13-16.
[26] Yohanes 20:21.
[27] Yaitu umat Allah yang dipanggil keluar dari dunia dan diutus kembali ke dalam dunia.
[28] Lih. Kisah Para Rasul 1:8.
[29] Bartholomew dan Goheen, 178.
[30] Bartholomew dan Goheen, 194.
[31] Lih. Kisah Para Rasul 9:31.
[32] Lih. Kisah Para Rasul 1:8.
[33] Yaitu mandat Injil dan mandat budaya. Sehingga kesaksian kita bukanlah hanya ketika menginjili saja, namun seluruh hidup kita adalah sebuah kesaksian.
[34] Michael L. Lindvall, The Christian Life (Louisville: Geneva Press, 2001), 46.
[35] Lindvall, 46.
[36] Lindvall, 85.
[37] Pertama dan terutama yaitu manusia sebagai ciptaan yang paling Ia kasihi.
[38] Lih. Kejadian 28:16-19a dan Mazmur 139:7-10a.
[39] Lindvall, 48-49.
[40] Bdk. Matius 25:31-46.
[41] Lindvall, 50.
[42] Tentunya dengan kesadaran bahwa Kerajaan Sorga sudah turun, meskipun belum digenapi seutuhnya.