Pembukaan
Salah satu tanda dari gereja yang sejati adalah mengabarkan Injil yang sejati ke dunia yang jatuh dalam dosa. Ini merupakan sebuah perintah langsung dari Tuhan Yesus yang tercantum dalam the Great Commission atau Amanat Agung pada Matius 28. Gereja Reformed Injili Indonesia tentu tidak dapat dipungkiri merupakan satu gereja dan gerakan yang sangat menekankan pentingnya penginjilan, karena pendiri gereja kita adalah Pdt. Dr. Stephen Tong yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabarkan Injil ke daerah-daerah yang paling sulit dijangkau di Indonesia maupun tempat-tempat di mana para cendekiawan berkumpul di luar negeri. Zaman bergulir terus dan keperluan untuk menginjili tidaklah berkurang, oleh sebab itu penulis ingin mengajak kita bersama-sama untuk merefleksikan suatu hal yang gereja kita harus lebih kembangkan, yaitu pemuridan atau discipleship.
Untuk memberikan gambaran betapa pentingnya pemuridan ini, kita dapat melihat dengan detail ucapan Tuhan Yesus yang tertulis pada Matius 28:19:
“… Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…”
Ternyata Amanat Agung yang diberikan oleh Tuhan Yesus tidak berhenti pada mengabarkan Injil sekali saja pada seseorang, lebih jauh lagi Tuhan Yesus menginginkan kita memuridkan orang tersebut juga. Namun, jika kita gali lebih dalam lagi, apa sih arti dari pemuridan itu? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kita adalah murid Kristus?
Apa itu Pemuridan
Pemuridan. Kata ini mungkin sering kali terucap dari mimbar atau dalam kelompok kecil kita. Tapi sering kali kita juga tidak jelas mengenai aplikasi konsep pemuridan ini dalam keseharian kita. Secara singkat, jika kita menyimpulkan beberapa ayat kunci dalam Alkitab mengenai pemuridan, sebenarnya kita dapat mereduksi konsep pemuridan dalam kekristenan dalam satu frase, yaitu “be like Christ” atau jadilah seperti Kristus. Konsep ini sebenarnya tidak asing pada zaman itu karena konsep murid yang menggunakan kata disciple (bukan student) bertujuan untuk meresapi kehidupan sang guru seutuhnya dengan mengikuti sang guru dari hari ke hari. Oleh sebab itu pemuridan yang berhasil adalah ketika sang murid dapat menjadi serupa dengan sang guru dalam segala aspek hidup mereka.
Tapi frase ini tetaplah menjadi suatu frase yang sulit dijabarkan, terlebih lagi diterapkan dalam hidup kita, karena ini adalah frase yang sangat umum. Alhasil, frase ini menjadi slogan yang sering kali mati karena begitu abstrak. Padahal, jika kita melihat hidup Kristus setiap hari melalui pembacaan Alkitab dengan sungguh-sungguh, mustahil jika kita tidak menangkap paling tidak satu atau dua aspek yang dapat langsung kita terapkan dalam hidup kita secara pribadi, seperti misalnya taat kepada Allah Bapa atau mengampuni orang yang menyangkal-Nya. Tetapi kenyataannya, banyak orang yang menganggap diri mereka Kristen dan pergi ke gereja setiap hari Minggu atau bahkan mengikuti beberapa pelayanan, sebenarnya mungkin bukanlah orang yang mengikuti jejak Kristus dalam hidup mereka.
Potensi Masalah dalam Gereja
Sebelum kita membahas mengenai pentingnya pemuridan, kita harus terlebih dahulu membahas masalah apa yang sedang dihadapi di gereja kita. Tanpa mengenal betapa besarnya potensi masalah yang ada, kita tidak akan memahami pentingnya pemuridan.
Salah satu fenomena yang paling nampak pada zaman ini adalah konsumerisme, di mana orang cenderung mengonsumsi segala sesuatu sampai cenderung berlebihan. Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya hal yang dapat dikonsumsi oleh seseorang pada zaman ini. Mulai dari konten di media sosial, mudahnya mengakses konten dari telepon genggam, sampai bahkan papan iklan yang ada di jalan-jalan sekitar kita, semuanya memberikan stimulus terus menerus kepada diri kita. Lambat laun, diri kita akan merasa kita hanya dapat dipuaskan ketika mengonsumsi sesuatu.
Seberapa parahkah dampak konsumerisme ini pada gereja? Salah satu indikator yang dapat menggambarkan hal ini adalah berapa persen orang yang terlambat datang pada saat ibadah. Tentu kita dapat berpikir positif pada orang-orang yang terlambat ini, bahwa mereka memiliki alasan yang penting. Namun jika kita melihat fakta bahwa orang-orang yang sama secara konsisten terlambat, tentunya mereka memiliki masalah dalam pengertian mengenai ibadah. Kita tentu sudah akrab mendengar alasan, “Yang penting tidak melewatkan khotbah.” Sebagai alasan yang dipakai karena terlambat sekali, mungkin hal ini menjadi penghiburan karena memang komponen terpenting dalam ibadah adalah khotbah yang disampaikan. Namun jika kalimat yang sama digunakan sebagai alasan berkali-kali, tentu pengertian orang tersebut akan gereja harus dipertanyakan. Hal ini merupakan suatu tanda awal akan hal yang jauh lebih menyedihkan.
Kira-kira, apakah penyebab dari keterlambatan orang dalam ibadah? Kemungkinan adalah karena orang tersebut tidak terlalu mengerti pentingnya beribadah. Karena jika orang mengerti betapa berharganya sesuatu, maka kemungkinan besar orang tersebut akan menginginkan kepenuhan di dalam hal tersebut dan tidak akan melewatkan sedikit pun dari hal yang dihargai itu. Sama seperti ketika kita jatuh cinta dengan pasangan kita, rasanya kita tidak ingin menyia-nyiakan waktu bertemu dengan pasangan kita sedikit pun. Jadi, jika orang terlambat secara konsisten dalam ibadah, berarti dapat diasumsikan bahwa orang tersebut tidak melihat betapa berharganya seluruh tatanan ibadah dari saat teduh sampai doa berkat. Ditambah lagi, jika kita melihat saat teduh sebagai masa di mana Sang Raja memasuki ruang takhta-Nya dan kita tidak menghargai itu dengan datang terlambat, maka sudah pasti kita tidak menghargai Raja tersebut. Lalu bagaimanakah pandangan yang tidak menghargai ibadah ini berdampak pada seseorang?
Jika kita menganggap ibadah sebagai salah satu elemen sentral dari gereja Tuhan di mana kehadiran Allah secara spesial ada, maka jika seseorang tidak menghargai ibadah, akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk berakar di dalam suatu gereja dan mengasihi orang-orang percaya atau invisible church yang ada di gereja tersebut. Orang-orang seperti ini mungkin masih menyapa orang yang dia kenal, atau bahkan memperhatikan teman-teman mereka yang bergereja di gereja yang sama, namun hampir tidak mungkin orang seperti ini memperhatikan orang-orang asing di sekeliling mereka. Bahkan mungkin, orang seperti ini tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk mengenal orang-orang lain dalam gereja yang sama, apalagi harus mengasihi orang-orang asing tersebut. Jika kita mengaitkan hal ini dengan bagian Alkitab dari 1 Yohanes 4:20, maka kita dapat menduga bahwa ada kemungkinan mereka tidak mengasihi Tuhan sendiri. Tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan dan pasti ada orang-orang yang begitu tulus mengasihi Tuhan walaupun tidak selalu terlihat di depan orang-orang. Namun argumen yang sama dapat digunakan untuk menyatakan bahwa tidak mungkin tidak ada orang yang tidak mengasihi Tuhan.
Jadi dapat diduga bahwa permasalahan serius dalam gereja adalah kemungkinan banyak orang yang datang ke gereja berbondong-bondong bukan karena mereka mengasihi Tuhan. Bukan berarti mereka bukanlah orang yang pasti tidak diselamatkan, justru kemungkinan besar mereka adalah orang-orang yang diselamatkan namun mengalami kesulitan untuk bertumbuh. Lalu di mana peran pemuridan dalam mengatasi masalah yang akut ini?
Peran Pemuridan dalam Mengembangkan Iman Jemaat
Permasalahan konsumerisme yang akut ini sebenarnya dapat dikurangi jika kita cukup memperhatikan jemaat dan membuat mereka merasa bagian dari gereja lokal. Karena dengan menjadi perpanjangan kasih Allah kita, kita dapat membuat orang lain merasakan kasih Allah kepada mereka. Melalui perjuangan kita di gereja, orang-orang yang kita perhatikan akan melihat jejak orang yang mereka pedulikan. Dengan menjadi saksi bagi orang-orang di dalam gereja secara aktif, maka orang dapat melihat Allah melalui diri kita. Inilah ide pemuridan pada zaman Tuhan Yesus dulu, di mana seorang guru akan membagikan seluruh hidupnya dalam keseharian mereka yang disaksikan langsung oleh para murid. Melalui kesaksian hidup yang dekat inilah para murid dibentuk secara keseluruhan hidup mereka.
Jika kita melihat jajaran penatua gereja kita dan mungkin mendengar kesaksian dari anak-anak mereka, kita akan mendengar cerita-cerita bagaimana mereka secara langsung melihat perjuangan dan hidup seorang Stephen Tong dari dekat. Pengalaman inilah yang membuat mereka begitu giat berjuang mati-matian untuk berbagai acara yang diadakan gerakan kita. Namun, generasi muda yang tidak menyaksikan perjuangan beliau secara langsung dari dekat karena hidup di zaman yang berbeda maupun karena jarak dengan beliau, akan sulit untuk dimuridkan dengan cara seperti ini. Fenomena ini ibarat kita melihat seorang idola kita di layar kaca yang begitu mengagumkan namun kita mungkin tidak akan mengikuti hidupnya sepenuhnya.
Lalu bagaimanakah cara kita menyelesaikan masalah pemuridan ini? Karena begitu banyak orang yang harus dimuridkan sedangkan tidak mungkin semua penatua memperhatikan begitu banyak jemaat. Sarang Church di Korea Selatan membagikan bagaimana mereka mencoba menyelesaikan masalah ini dengan sistem kelompok kecil. Tentu konsep kelompok kecil tidaklah asing bagi orang-orang Kristen di Indonesia juga, walaupun ini bukanlah konsep yang cukup umum di gerakan kita. Namun hal yang menarik dari bagaimana gereja di Korea Selatan ini menjalankan kelompok kecil mereka adalah bahwa kelompok kecil ini bukanlah sekadar wadah untuk bercerita dan bersenang-senang bersama. Pada kelompok kecil ini orang dituntut untuk berkomitmen dan dibentuk dengan pengajaran yang berkelanjutan.
Kelompok kecil menjadi inti penting dalam keseluruhan gereja mereka sehingga begitu banyak pelayanan yang dibuat untuk mendukung berjalannya kelompok kecil ini, mulai dari tim pembuat kurikulum sampai hamba Tuhan yang didedikasikan untuk memimpin kelompok-kelompok kecil ini. Tapi di dalam kelompok kecil ini para jemaat diproses melalui berbagai tahap dari orang yang bahkan belum percaya, bertobat, bertumbuh, melayani sampai menjadi pemimpin kelompok kecil lainnya.
Lalu bagaimanakah program kelompok kecil ini dapat mengembangkan iman dan mengikis racun pada gereja seperti konsumerisme yang dibahas sebelumnya? Sama seperti konsep pemuridan Tuhan Yesus dalam Alkitab, melalui kelompok kecil orang dapat membagikan contoh hidup dengan lebih intens dan rutin. Walau tidak seperti zaman Tuhan Yesus di mana para murid benar-benar mengikuti hidup guru mereka setiap hari, melalui pertemuan yang rutin dalam konsistensi jangka panjang dengan grup yang beranggota sama, maka kelompok kecil sedikit banyak menjadi tempat yang baik untuk orang menjadi contoh dan membagikan diri termasuk imannya.
Melalui contoh hidup dan komunitas yang mendukung, hal-hal duniawi seperti konsumerisme dapat ditekan karena orang-orang baru yang masih belum dewasa secara rohani dapat mencontoh dan diperhatikan oleh orang-orang yang lebih dewasa rohaninya. Hal ini akan sulit dicapai dalam kelompok yang terlalu besar karena kualitas perhatian kita pada orang lain pastinya akan berkurang jika harus memperhatikan orang lebih banyak.
Dengan menjalankan program pemuridan melalui kelompok kecil ini secara konsisten dalam jangka waktu yang lama, maka orang yang baru di gereja dapat bertumbuh dan perlahan-lahan terlibat dalam pelayanan dengan dasar yang benar. Melalui pelayanan dengan dasar yang benar, maka orang akan dibentuk lebih lanjut dalam pelayanan dan juga dalam kelompok kecil yang ada. Para pelayan-pelayan inilah yang menjadi cikal bakal para pemimpin yang akan memimpin pelayanan-pelayanan strategis gereja di kemudian hari.
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa gereja zaman sekarang sedang diserang dengan berbagai hal-hal duniawi dan salah salah satu racun yang paling berbahaya adalah konsumerisme yang diterapkan terhadap hal-hal rohani. Masalah ini sudah tidak lagi dapat diatasi hanya dengan firman yang baik yang diberitakan dari mimbar pada hari Minggu, namun membutuhkan usaha pemuridan untuk meresapkan setiap firman yang diberitakan di mimbar. Salah satu pendekatan melaksanakan pemuridan pada gereja yang besar dapat dicontoh dari gereja di Korea Selatan, yaitu dengan melakukan gerakan kelompok kecil dengan tujuan untuk mendekatkan firman dan contoh hidup pada jemaat yang masih baru dalam kekristenan. Melalui program pemuridan seperti ini, diharapkan gereja dapat menumbuhkan jiwa untuk melayani dan memimpin dengan menanamkan bibit dan menyiramnya dengan rutin.
Tetapi tentu tata cara pelaksanaan kelompok kecil secara mendetail ini tetap merupakan tantangan yang harus menjadi pergumulan setiap gereja lokal, karena setiap gereja lokal memiliki konteks dan tantangan masing-masing. Dari lokasi gereja lokal, demografi jemaat sampai pergumulan jemaat, semua hal ini haruslah menjadi pertimbangan ketika hendak menjalankan program kelompok kecil. Kiranya setiap gereja lokal dapat bergumul akan bagaimana memuridkan jemaat mereka masing-masing.
David Kurniawan
Pemuda GRII Pusat Sore