Kita hidup di zaman postmodern, zaman di mana kebenaran direlatifkan. Setiap orang menentukan apa yang benar bagi dirinya sendiri. Akibatnya, kontras antara apa yang benar dan salah menjadi abu-abu dan kabur, tidak ada kebenaran mutlak, semuanya bercampur atas nama toleransi. Selain itu, kita juga hidup dalam budaya Timur, di mana tata krama dan sopan santun dijunjung lebih tinggi daripada kebenaran. “Biar salah, asal santun.” Tentu saja ini tidak berarti kita dapat berbuat sesuka hati atas nama kebenaran. Namun sering kali, kemutlakan kebenaran direlatifkan dengan gaya bicara, gestur tubuh, dan sikap ramah tamah. Tidak heran, pada zaman ini, orang yang menyatakan kebenaran dan menegur kesalahan akan dianggap tidak toleran dan tidak punya kasih sehingga tidak disukai, dijauhi, bahkan dibenci. Kalau kita ingin diterima, jadilah toleran (atau lebih tepatnya kompromi), jangan terlalu mengontraskan apa yang benar dan salah, ambillah jalan tengah. Itulah spirit zaman ini.
Faktanya, Alkitab membuat banyak kontras. Allah mengontraskan apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan oleh Adam dan Hawa (Kej. 2:16-17). Allah mengontraskan bangsa yang dipilih dan tidak dipilih oleh-Nya (Ul. 14:2). Berulang kali dalam kitab Injil, Kristus mengontraskan orang yang percaya dengan yang tidak percaya, yang tinggal di dalam Dia dengan yang di luar Dia, dan orang yang hidup dalam terang dengan yang hidup dalam gelap. Pada penghakiman terakhir, Allah akan memisahkan domba dari kambing dan orang-orang yang mengasihi-Nya dari orang yang tidak sungguh-sungguh mengasihi-Nya (Mat. 25:32-33). Alkitab mengajarkan tidak ada manusia yang berada di tengah-tengah, tidak ada alternatif ketiga, tidak ada yang netral. Hal ini juga yang diajarkan di dalam Mazmur 1 dan yang akan terus diajarkan dalam mazmur-mazmur berikutnya.
Mazmur 1 sering digunakan untuk menarik orang supaya membaca Alkitab. “Jadilah orang yang berhasil, yang mencintai firman Tuhan.” Tetapi kita tidak menemukan kalimat imperatif di dalam teks ini. Pasal ini tidak memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu. Keseluruhan pasal 1 adalah kalimat deskriptif yang mengontraskan kehidupan orang benar dengan orang fasik. Apa yang mengontraskan kedua kelompok orang ini? Apakah objek kesukaan mereka? Apakah buah dari pekerjaan mereka? Apakah nasib kekekalan jiwa mereka? Tidak. Hal pertama yang mengontraskan keduanya adalah orang benar diberkati oleh Tuhan. Titik awal orang benar adalah berkat Tuhan. Berkat atau anugerah mendahului ketaatan, bukan sebaliknya. Dari titik ini, pemazmur terus mempertahankan kontras antara orang benar dan orang fasik serta implikasi yang mengikutinya.
Bagian pertama (ay. 1-2) menjelaskan bahwa orang benar tidak akan berjalan menurut nasihat orang fasik, tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Pemazmur memulai dengan kata “nasihat”, yang berarti kefasikan awalnya tidak terlihat dengan jelas. Kemudian dilanjutkan dengan “jalan”, yang berarti cara pandang atau sikap hidup. Terakhir, pemazmur menggunakan istilah “pencemooh”, yang menunjukkan keterbukaan dosa, hilangnya rasa takut kepada Allah, dan komitmen berdosa tanpa penyesalan. Peningkatan keberdosaan ini juga ditunjukkan dengan kata “berjalan”, “berdiri”, dan “duduk”. “Berjalan” menunjukkan kita mulai kompromi dengan dosa. Perlahan, kita mulai menikmati dosa, hati kita mulai keras, yang ditunjukkan dengan istilah “berdiri”. Terakhir, kita sudah benar-benar tegar terhadap dosa, yang ditunjukkan dengan istilah “duduk”.
Kita hidup di zaman di mana informasi mengalir begitu deras melalui media-media yang begitu mudah kita akses. Informasi ini dikemas secara menarik dan menghibur sehingga secara tidak sadar, informasi-informasi ini perlahan-lahan membentuk pola pikir kita. Celakanya, pola pikir tersebut kita gunakan untuk membaca firman Tuhan sehingga menghasilkan interpretasi serta praktik-praktik yang ngawur. Pemazmur mengingatkan betapa mustahilnya seseorang bisa mengerti dan merenungkan firman Tuhan tanpa terlebih dahulu menarik dan memisahkan diri dari jalan orang fasik. Pikiran yang berpusat pada kedagingan dan keberdosaan adalah pemikiran yang bermusuhan dengan Allah, karena pikiran tersebut tidak takluk kepada hukum Allah (Rm. 8:7, ESV). “Apakah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menyebut-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu, padahal engkau berkawan dengan pencuri, bergaul dengan pezinah, penuh tipu daya, mengata-ngatai, dan memfitnah. Aku akan menghukum engkau” (Mzm. 50:16-21).
Pada ayat 2, dikatakan bahwa orang benar adalah orang yang menyukai firman Tuhan. Kata yang digunakan adalah “delight”, yang berarti level tertinggi dari kepuasan dan kesenangan. Ketaatan yang terpaksa sama sekali bukan ketaatan yang Tuhan inginkan. Hanya murid sejati yang akan mempelajari firman Tuhan dengan hati yang gembira, begitu menyukai perintah Allah, dan tidak ada hal lain yang lebih menggairahkan daripada mempelajari firman Tuhan. Kecintaan akan firman Tuhan inilah yang akan mendorong orang benar untuk merenungkan firman Tuhan siang dan malam. Sebagai orang yang berada dalam Gerakan Reformed Injili, hal ini perlu kita perhatikan secara serius. Kita memiliki banyak kegiatan mempelajari firman Tuhan: pemahaman Alkitab, seminar-seminar, kuliah theologi, pembacaan buku, dan kegiatan lainnya yang begitu padat. Kita perlu memikirkan apakah selama ini keikutsertaan kita didasari oleh sukacita dan gairah, atau karena keterpaksaan? Apakah selama ini kita merenungkan bagaimana firman tersebut dapat mengubah dan diterapkan dalam hidup kita, atau sebenarnya selama ini kita hanya memuaskan hasrat intelektual, tanpa mau diubah olehnya?
Bagian kedua (ay. 3-4) menunjukkan suatu metafora yang menggambarkan orang benar dan orang fasik. Orang benar digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air. Pohon tidak dapat menentukan di mana ia akan ditanam, orang yang menanamlah yang menentukannya. Ini menunjukkan bahwa berkat ilahi yang terus mengalir dalam hidup kita bukanlah karena keinginan atau hasil usaha kita melainkan karena belas kasihan dan pekerjaan Allah di dalam kita (Flp. 2:13). Aliran berkat dan anugerah ini pada waktunya akan menghasilkan buah. Bagian ini mengingatkan kita dengan Yohanes 15:1-8. Kita tidak mampu berbuah melalui usaha kita sendiri, sebab di luar Kristus kita tidak mampu berbuat apa-apa. Kita dapat berbuah karena kita tinggal di dalam Kristus yang memberikan air hidup (Yoh. 4:14, 7:38) dan kita berbuah bukan untuk diri kita sendiri, tetapi supaya nama Allah dipermuliakan.
Sebaliknya, orang fasik digambarkan seperti sekam yang diterbangkan angin. Pada saat itu, pengirikan gandum dilakukan di bukit di mana terdapat banyak angin sepoi-sepoi. Gandum hasil panen akan dihancurkan dengan kaki binatang atau alat pengirikan yang ditarik oleh binatang itu. Kemudian, gandum yang telah dihancurkan itu dilemparkan ke atas. Inti gandum yang dapat dimakan akan jatuh ke tempat semula karena memiliki bobot yang lebih berat, sedangkan sekam, karena memiliki bobot yang lebih ringan, akan terbawa angin. Sekam ini akan tersebar atau dikumpulkan kemudian dibakar. Orang fasik digambarkan seperti sekam yang tidak berbobot, sia-sia, kosong, tidak berharga.
Pada bagian yang terakhir (ay. 5-6), pemazmur mengajak kita untuk merefleksikan akhir yang akan dituju oleh orang benar dan orang fasik. Allah akan menjalankan penghakiman-Nya dengan memisahkan orang benar dari orang fasik selama-lamanya. Sepanjang sejarah, kita melihat orang fasik menang. Orang-orang benar dipermainkan, dipermalukan, ditindas, dan dibunuh oleh orang-orang fasik. Orang fasik menikmati dosa dan hidup dalam hawa nafsu dengan nyaman dan aman, seakan-akan tidak ada ganjaran bagi perbuatan mereka. Pemazmur mengatakan orang fasik tidak dapat lari dari penghakiman Allah, di dunia ini atau pada penghakiman terakhir, di mana keadilan Allah akan dinyatakan dengan sempurna. Pada saat itu, orang fasik akan terbangun dan tersadar dari kesenangan-kesenangan yang menidurkannya. Karena itu, orang benar akan bertahan di dalam tekanan dengan mengarahkan pandangannya kepada Allah.
“Orang” atau dalam bahasa Inggris “the man” adalah terjemahan dari bahasa Ibrani ha’ish yang merupakan bentuk tunggal. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan satu orang yang menjadi representatif atau contoh yang menggenapi Mazmur 1 ini. Siapakah orang benar yang dimaksud dalam pasal ini? Manusia yang tidak pernah berjalan menurut nasihat orang fasik, tidak berdiri di jalan orang berdosa, atau tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Manusia yang kesukaannya adalah firman Tuhan, merenungkannya siang dan malam, serta selalu menjadi berkat bagi orang lain. Manusia yang sama sekali tidak berdosa. Apakah orang ini adalah Abraham? Tidak, Abraham berbohong (Kej. 20:2). Apakah orang itu adalah Daud? Tidak, Daud berzinah (2Sam. 11). Apakah orang itu adalah Musa? Tidak, Musa kehilangan kesabarannya di Meriba (Bil. 20:11-12).
Hanya ada satu Pribadi yang menggenapi seluruh Mazmur 1, yaitu Kristus Yesus, yang mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan-Nya. Ketika kita memandang Kristus dengan iman sebagai the blessed Man, maka di dalam Dia kita memiliki jaminan untuk memperoleh seluruh berkat dalam Mazmur ini. Kita menjadi orang yang diberkati, karena Kristus telah menebus dosa kita, sehingga kebenaran-Nya menjadi bagian kita. Kita diberikan hati yang baru, afeksi yang baru, dan fokus yang baru. Bukan karena kita yang memilih-Nya, tetapi karena Bapa yang memilih kita dan menempatkan kita di tepi aliran air hidup, menjadikan kita blessed men. Mari kita terus mengucap syukur untuk anugerah yang besar ini dan berespons dengan tidak menjadikan diri kita serupa dengan dunia ini (maintaining the contrast), tetapi bertumbuh di dalam pembaruan akal budi kita melalui pembelajaran dan perenungan akan firman Allah dengan penuh ketekunan, sukacita dan gairah, dan di setiap waktu dalam hidup kita. Amin.
Marthin Rynaldo
Pemuda MRII Bogor