Introduksi
Sedikit mewakili konteks redaksi editorial Buletin PILLAR, artikel ini ditulis untuk menggarap topik-topik terkait “Alkitab dan theologi”. Terkait dengan konteks ini, penulis tergerak untuk menulis tentang “harapan”. Dalam konteks keseharian dan pelayanan, penulis banyak merenungkan dan menggumulkan topik ini. Terutama jika kita juga melihat dan mempertimbangkan berbagai kondisi dan tantangan di sekitar kita. Dalam penjelasan artikel ini dan di bagian akhir, penulis akan merujuk kepada beberapa referensi buku jika ada pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh. Secara spesifik, penulis sangat dibentuk melalui buku kisah hidup Yohanes Calvin yang ditulis oleh Herman Selderhuis berjudul “John Calvin: A Pilgrim’s Life”.
Jika kita melihat kondisi sekeliling kita (kota, negara, dunia), sangat banyak kondisi yang bisa membuat kita pesimistis dan kehilangan harapan. Memang dunia sudah melewati kondisi pandemi global yang begitu menyulitkan. Namun per tahun ini (2024), sangat banyak dinamika yang terjadi, seperti intrik pemilihan umum di Indonesia (presiden dan legislatif) dan berbagai negara, potensi krisis ekonomi, peperangan di berbagai negara, gelombang pemecatan oleh banyak perusahaan, sampai dengan potensi dan risiko terkait perkembangan kecerdasan buatan.
Meskipun tahun ini terkesan berat dan mengkhawatirkan, kalau kita telusuri konteks sejarah, sepertinya zaman-zaman sebelumnya tidak kalah menantang. Generasi yang lahir tahun 1900–1960 mengalami banyak sekali tantangan mengerikan seperti Perang Dunia 1 dan 2, pandemi influenza yang luar biasa, krisis ekonomi The Great Depression, dan dampak sosial-ekonomi pada periode pasca Perang Dunia. Dalam periode lebih jauh lagi, dalam konteks hidup Yohanes Calvin (era Reformasi), kita juga dapat melihat tantangan-tantangan semacam ini. Penulis akan menjabarkan poin-poin ini mengenai Yohanes Calvin dalam sub-topik selanjutnya.
Cuplikan Hidup Yohanes Calvin
Dalam konteks hidup penulis, penulis cukup intens melakukan eksplorasi dan mempelajari kisah hidup Yohanes Calvin. Perjalanan hidup, dinamika pelayanan, jatuh bangun, dan kesulitan hidup Yohanes Calvin menjadi poin-poin perenungan mendalam bagi penulis. Salah satu momen berkesan adalah ketika tahun 2017 saat memperingati Reformed 500 (periode 500 tahun setelah momen Martin Luther memakukan 95 tesis). Pada bagian artikel ini, penulis akan sedikit merangkum cuplikan kisah hidup penuh tantangan dari Yohanes Calvin. Penulis merujuk pada buku John Calvin: A Pilgrim’s Life dari Herman Selderhuis.
Herman Selderhuis memberikan istilah “first class pessimist” bagi Yohanes Calvin. Perjalanan hidup Yohanes Calvin memang penuh dengan tantangan dan kesulitan. Tidak heran, raut muka Calvin cenderung murung. Dalam konteks pribadi, Calvin pernah disalahmengerti, diprotes secara keras, diusir, tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas, merasakan langsung dampak perang, dan hidup terombang-ambing sebagai pengungsi (refugee). Sama seperti kita, Yohanes Calvin juga adalah “manusia normal” yang memiliki cita-cita dan gambaran akan kehidupan yang baik. Di waktu muda, Calvin punya mimpi untuk menuliskan karya/buku yang nantinya dapat dijadikan rujukan oleh berbagai universitas terkemuka di Eropa pada waktu itu. Namun sayang, angan-angan dan usaha ini tidak mendapat respons yang baik. Yohanes Calvin juga sebenarnya ingin hidup tenang, menikmati pemandangan indah, sambil terus berkarya sebagai seorang penulis dan akademisi (scholar). Namun, melihat kehidupan Calvin, agaknya perjalanan hidupnya justru jauh dari ketenangan.
Meskipun mengalami kesulitan bertubi-tubi, Calvin tetap setia mengikut Tuhan dan menaruh harapan kepada-Nya. Ada momen-momen di mana Calvin merasa hidupnya seperti berputar-putar, atau kembali ke titik nol tanpa ada hasil. Dalam periode akhir hidupnya, Calvin juga mengalami berbagai komplikasi penyakit yang membuat tubuhnya begitu lemah. Di tengah-tengah kondisi seperti itu, Tuhan dengan nyata telah bekerja dan memakai hidup seorang Yohanes Calvin. Karya-karyanya seperti Institutes of the Christian Religion dan pembahasan (commentary) hampir semua kitab sungguh menjadi berkat besar bagi orang Kristen dalam zaman-zaman setelah Calvin. Pemikiran dan dampak Calvin telah menyentuh begitu banyak segi kehidupan (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, politik, seni, dll.). Sebagai penutup sub-topik ini, berikut adalah cuplikan mengenai kisah hidup Yohanes Calvin:
“Calvin runs the race of this life, falling all the while, picking himself up again and again, and looking forward to the finish… The race wears him out, often seeming to pointlessly bring him back to the place where he started, and yet there remains something to look forward to. Calvin stays on the course in faith that the God who makes the race so difficult also secures the runner’s finish. At times, Calvin understands nothing of his God, but still hews closely to Him and calls others to do the same. Without that God, life is nothing… There is so much he wants to do, but cannot.”
“Calvin has often been viewed as first class pessimist… How much cause for optimism was there really? Calvin’s time was one of high infant mortality and great political and social uncertainty. Europe was ready to buckle under a refugee crisis, poverty and threats of religious wars. It is no wonder that Calvin was so gloomy at times. What is remarkable, in fact, is that he still had a lot to say about the goodness of this life.”
Harapan
“Karena masa depan akan ada dan harapanmu tidak akan hilang.” (Amsal 23:18)
“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5: 4-5)
“Oleh karena pengharapan, disediakan untuk kamu di surga. Tentang pengharapan itu telah lebih dulu kamu dengar dalam firman kebenaran, yaitu Injil.” (Kolose 1: 5)
Pdt. Stephen Tong pernah menyatakan kalau manusia tidak bisa hidup tanpa iman, pengharapan, dan kasih. Kebutuhan manusia bukan hanya kebutuhan fisik/materi saja. Timothy Keller juga pernah membahas rangkaian khotbah mengenai berbagai kebutuhan dasar manusia, yakni: hope, identity, joy, meaning, community. Manusia yang sudah kehilangan harapan sangatlah mungkin untuk mengakhiri hidupnya.
Topik mengenai harapan sendiri adalah topik yang bisa dibahas dengan rumit dan mendalam. Ada buku-buku yang membahas topik spesifik mengenai harapan, misalkan saja The Church’s Hope: The Reformed Doctrine of the End (David Engelsma) dan Theology of Hope (Jürgen Moltmann). Topik mengenai harapan juga sangat berkaitan dengan eskatologi (kedatangan Kristus yang kedua). Dan apa yang menjadi pengharapan kita juga akan sangat memberikan pengaruh terhadap cara kita memikirkan dan menjalani hidup sekarang ini. Dalam periode-periode akhir, bagaimanakah kondisi dunia dan orang Kristen? Apakah penderitaan dan ketidakpastian akan makin meningkat dengan intens? Akankah makin banyak orang yang percaya dan diselamatkan? Akankah anugerah dan penopangan Tuhan masih terus bisa dirasakan dalam periode-periode yang sulit?
Orang Kristen bukanlah kelompok orang yang takut akan kesulitan. Orang Kristen sadar bahwa dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, pasti akan ada berbagai penderitaan dan kesulitan. Dalam konteks pengharapan Kristen, pengharapan itu juga sangat terkait dengan ketekunan dan tahan uji. Terlebih lagi, Allah terus memberikan penopangan, penghiburan dan Roh Kudus yang juga sudah dikaruniakan kepada kita. Tentu orang Kristen juga tidak bodoh/naif. Kita bisa saja sangat menghayati dan memahami kelamnya dunia, gelapnya pemikiran filsafat nihilisme, rusaknya instansi pemerintah, rakusnya para pengusaha, kejamnya peperangan, dll. Berbeda dengan respons para kaum stoik, Kekristenan tetap membuka ruang untuk bersedih, menangis, meratap, dan bahkan bertanya kepada Tuhan.
Merujuk pada buku Theology of Hope, kita menolak gerakan pengunduran diri (escapism) orang Kristen dari dunia ini sebagai akibat dari penekanan yang terlalu condong akan kehidupan yang akan datang. Di sisi lain, kita juga menolak pengharapan yang dangkal dan terlalu ideal (utopis) akan dunia ini. Dalam konteks Yohanes Calvin, kita bisa tetap menghargai keindahan/kebaikan dunia ini (di sini dan sekarang), dan sekaligus tetap mengarahkan pandangan kita pada kehidupan yang akan datang (meditation of future life). Kembali kepada buku Theology of Hope, pengharapan orang Kristen diawali dengan kebangkitan Kristus. Melalui iman, orang percaya terikat kepada Kristus, dan oleh karena itu kita memiliki pengharapan akan kebangkitan Kristus dan pengetahuan bahwa Kristus akan kembali. Orang Kristen memiliki pengharapan yang menopang dan membawa setiap orang percaya melalui kehidupan, bahkan dalam konteks kehidupan yang begitu kelam dan penuh kesulitan.
Penutup
Dalam bagian akhir artikel ini, penulis hanya mau mengajak pembaca Buletin PILLAR untuk merenungkan kembali kondisi kita masing-masing. Pasti banyak kesulitan dan tantangan yang kita hadapi dalam hidup. Bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya? Apakah kasih, penghiburan, dan penopangan Tuhan adalah hal yang nyata kita kecap dan rasakan dalam perjalanan hidup kita? Penulis berdoa agar kita bisa terus makin bertumbuh dan makin menaruh pengharapan kita kepada Kristus, yang sudah mengalami penderitaan begitu rupa, bangkit, dan berhak menjadi dasar pengharapan kita yang tidak tergoncangkan.
In Christ alone, my hope is found
He is my light, my strength, my song
This Cornerstone, this solid ground
Firm through the fiercest drought and storm
(In Christ Alone, Keith Getty and Stuart Townend)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith and vocation)
Bacaan dan eksplorasi lebih jauh:
John Calvin: A Pilgrim’s Life (Herman Selderhuis)
The Church’s Hope: The Reformed Doctrine of the End (David Engelsma)
Theology of Hope (Jürgen Moltmann)
https://reflections.yale.edu/article/seeking-light-notes-hope/teologies-hope
https://www.thegospelcoalition.org/themelios/article/the-biblical-basis-of-hope