Cerita asal mula alam semesta selalu menarik untuk dikaji. Mulai dari para ilmuwan dengan teori-teori saintifik mereka hingga para filsuf dengan filsafatnya. Berbagai macam teori dikemukakan untuk mengatasi permasalahan kosmologi[1] ini. Filsuf Yunani, Anaximander (610-546 SM) mengatakan bahwa fase awal bumi berbentuk air, maka hewan-hewan pertama tinggal di air. Kemudian manusia lahir dari hewan di air dan baru menjalani sebagian masa hidupnya di darat.
Hal ini berbeda dengan Epicurus yang mengatakan bahwa pada masa lampau bentuk kehidupan timbul secara spontan dari Gaia, tetapi hanya bentuk paling fungsional yang bertahan. Sementara itu, di kebudayaan Timur, ada Taoisme yang mengekspresikan gagasan perubahan spesies biologis. Filsafat tersebut berspekulasi tentang spesies yang mengembangkan atribut yang berbeda-beda di dalam menanggapi lingkungan yang berbeda. Taoisme menganggap manusia, alam, dan sorga hadir di dalam keadaan transformasi yang konstan.
Orang Kristen tentu percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan dan bukan sekadar mitos yang diajukan oleh para filsuf. Tetapi, kita sering kali tidak yakin dengan ide penciptaan tersebut. Kita justru sering kewalahan dengan para ilmuwan sekuler yang menyerang validitas ide penciptaan. Berbagai argumen disampaikan oleh mereka seperti, ide penciptaan hanya sebagai klaim sepihak dari orang Kristen, itu hanyalah mitos belaka yang tidak bisa dibuktikan. Terakhir mereka menganggap ide penciptaan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang “valid”.
Baik para ilmuwan maupun filsuf sekuler mengklaim teori mereka tentang asal muasal alam semesta ini lebih ilmiah dibanding doktrin penciptaan. Jadi, bagaimanakah kekristenan menghadapi serangan-serangan seperti ini? Apakah betul ide penciptaan tidak dapat dibuktikan? Atau justru para ilmuwan mempunyai kerangka berpikir yang salah baik mengenai bukti maupun fakta alam semesta ini?
Kant’s Argument About Creation
Sebelum kita membahas bagaimana membuktikan ide penciptaan, ada baiknya kita membahas apa yang membuat ide penciptaan begitu sulit diterima oleh para filsuf dan ilmuwan sekuler. Salah satu filsuf tersebut bernama Immanuel Kant (1724-1804). Kant mengkritik bukti-bukti theistik yang diklaim orang Kristen, yang dalam hal ini doktrin penciptaan sebagai solusi atas permasalahan kosmologi. Ia berpendapat bahwa doktrin penciptaan adalah bukti yang tidak valid oleh karena ide tersebut melampaui pengetahuan dan pengalaman manusia.
Hal ini berdasarkan filsafat Kant mengenai realitas yang dibagi ke dalam dua dunia, yaitu dunia phenomena dan dunia noumena. Dunia phenomena terkait dengan segala peristiwa yang ada di alam semesta ini, sedangkan dunia noumena terkait dengan dunia yang di luar pengalaman manusia. Ide penciptaan itu sendiri tidak terjadi di dalam dunia phenomena yang manusia mampu alami.
Kant mempunyai konsep bahwa prinsip kausalitas[2] pada setiap peristiwa alam hanya dapat dijelaskan oleh apa yang ada di alam itu sendiri. Sehingga untuk memahami penyebab munculnya alam semesta ini haruslah dari sesuatu yang dapat ditemukan pada alam ini dan dipahami oleh rasio manusia.
Ketika ide penciptaan dinyatakan sebagai penyebab alam semesta ini, maka Kant akan berkata bahwa kalimat tersebut saling berkontradiksi. Bagi Kant, rasio manusia tidak mampu memahami Allah seutuhnya yang berada di dunia noumena. Di saat yang sama, prinsip kausalitas Kant hanya berlaku pada dunia phenomena. Maka, tidak mungkin melekatkan konsep kausalitas pada diri Allah. Manusia tidak dapat mengenal Allah dan ide penciptaan-Nya melalui phenomena alam ini. Jika ide penciptaan benar adanya, bagi Kant, Allah yang semacam demikian adalah Allah yang merusak kebebasan manusia, karena Allah yang menjadi penyebab dan penentu segala sesuatu.
Brute Fact as the Problem of Modern Science
Walaupun Kant terkesan menolak ide penciptaan, tetapi konsep nuomena-nya seolah-olah mengimplikasikan pemikiran yang terbuka bagi ide penciptaan. Bagi Kant, Allah mungkin saja ada, tetapi hanya berada di dunia noumena. Sehingga ide “penciptaan” dapat saja diterima oleh Kant, tetapi ia kategorikan ide itu sebagai limiting concept[3]. Van Til melalui bukunya yang berjudul Christian Theistic Evidences menyatakan bahwa letak permasalahan yang sebenarnya ada pada presuposisi di dalam melihat fakta alam semesta ini. Baik para filsuf maupun ilmuwan sekuler selalu mempresuposisikan alam ini sebagai brute fact, termasuk juga Kant yang mengutarakan doktrin penciptaan sebagai limiting concept, oleh karena ia sebenarnya mau mempertahankan prinsip brute fact. Jadi prinsip Kant mengenai limiting concept tidak hanya menipu kekristenan, seolah-olah menerima ide penciptaan, tetapi Kant juga salah di dalam melihat fakta alam semesta ini.
Kemudian, apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Van Til mengenai brute fact? Van Til mendefinisikan brute fact demikian, “Fact that is uninterpreted (by God, man, or both) and therefore the basis of all interpretation.”[4] Salah satu muridnya, John Frame memakai sinonim brute fact sebagai objective fact yang berarti fakta yang tidak bergantung kepada apa yang dipikirkan oleh manusia.[5] Sehingga boleh kita katakan bahwa mayoritas para filsuf dan ilmuwan sekuler memahami alam ini sebagai fakta yang netral, yang keberadaannya tidak bergantung kepada manusia bahkan kepada Allah sendiri. Konsep brute fact mengimplikasikan bahwa fakta itu belum memiliki makna apa pun sampai manusia dan Allah menginterpretasikan fakta itu.
Konsep semacam demikian memiliki implikasi yang sangat fatal. Para ilmuwan ini mengklaim bahwa manusia dengan rasionya mampu menginterpretasi alam ini secara benar tanpa terkait dengan kebenaran dari Allah. Mereka bahkan memosisikan Allah setara dengan manusia di dalam melihat alam ini sebagai brute fact. Implikasinya adalah kuasa Allah menjadi terbatas, pemikiran manusia dianggap setara dengan pemikiran Allah.
Para ilmuwan ini boleh saja memberi ruang “khusus” bagi ide penciptaan, tetapi sebenarnya mereka tidak memercayai ide tersebut secara konsisten dan radikal sesuai dengan prinsip Alkitab. Mereka menerima konsep Allah yang menciptakan, tetapi manusia juga mempunyai posisi untuk menentukan bagaimana alam ini harus dimengerti tanpa campur tangan Allah. Pada akhirnya, ide penciptaan hanya dianggap sebagai limiting concept, sebagai jawaban atas persoalan yang belum dapat diselesaikan oleh sains. Ide penciptaan tidak punya posisi sebagai pedoman bagaimana seharusnya alam ini diinterpretasi.
Pada akhirnya, konsep brute fact ini membuat para ilmuwan sekuler mengabaikan ide penciptaan dan menggagas teori mereka sendiri tentang asal mula alam ini. Salah satunya adalah seorang ahli astronomi dan ilmu fisika bernama James Jeans, yang memelopori ide bahwa alam ini berasal dari materi di luar angkasa. Dia mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk secara kebetulan. Ia secara gamblang menolak ide penciptaan. Kemudian seorang yang bernama J. Arthur Thomson mengatakan konsep agama yang merujuk kepada sang pemerintah spiritual, yang hanya bisa dilihat secara spiritual. Thomson tidak dapat menerima konsep pemeliharaan Ilahi karena adanya bencana alam yang membawa penderitaan bagi manusia. Kalau Allah berdaulat, harusnya tidak ada bencana alam.
Adapun penyebab lainnya mengapa para ilmuwan sekuler terus mempertahankan konsep brute fact adalah karena mereka menolak konsep supernatural dalam dunia sains modern. Mereka menganggap jika ide penciptaan diterima sebagai Allah yang memberi makna kepada ciptaan, hal itu sama dengan menerima konsep Allah yang berdaulat dan transenden. Tentu konsep tersebut adalah konsep yang bersifat supernatural. Mereka menganggap Allah seolah-olah “mendikte” mereka soal memahami alam ini melalui ide penciptaan. Penyebabnya tentu tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar mereka yang melihat alam ini sebagai brute fact. Bukan hanya kepada manusia saja, tetapi juga Allah pun harus memandang alam ini sebagai brute fact, menurut mereka.
Theological Evidence-Creation
Lalu bagaimana dengan kekristenan? Tentu kita sebagai orang Kristen percaya bahwa Allah yang menciptakan semua fakta, Ia juga yang memberikan makna bagi seluruh fakta ciptaan-Nya. Tidak ada yang namanya brute fact di hadapan Sang Pencipta alam semesta ini. Allah adalah fondasi utama dari seluruh fakta. Manusia sebagai keberadaan yang dicipta dalam bentuk gambar dan rupa Allah (imago Dei) seharusnya tunduk kepada Allah. Seluruh keberadaan hidup manusia, termasuk rasio manusia, harus ditundukkan kepada rasio yang tertinggi, yaitu Allah Alkitab. Ia yang mencipta, Ia juga yang memberi makna di dalam setiap fakta ciptaan. Maka dari itu, manusia sebagai gambar Allah seharusnya menyinkronkan pemikirannya dengan interpretasi Allah. Tidak ada satu pun bagian dari rasio manusia yang dapat menginterpretasikan alam ini di luar dari interpretasi Allah.
Jika sebelumnya Kant menerima ide penciptaan hanya sebagai limiting concept, Alkitab justru berkata sebaliknya, bahwa ide penciptaanlah yang menjadi penyebab adanya sains modern. Para filsuf dan ilmuwan sekuler tidak dapat menjelaskan bagaimana antara masing-masing fakta dapat saling terkait satu sama lain. Mereka mengklaim korelasi antarfakta adalah sesuatu yang sudah dari sananya. Namun, melalui ide penciptaan ini segala sesuatu menjadi jelas, bahwa setiap fakta ini ada penyebab. Setiap fakta alam ini ada Oknum yang memberi makna yang saling berkorelasi dan berfungsi sesuai dengan kehendak-Nya. Tentu saja Oknum ini adalah Allah Tritunggal yang menciptakan langit dan bumi ini. Tanpa Allah yang menciptakan dan memberikan makna bagi alam semesta ini, tidak mungkin ada sains modern.
Van Til berpendapat bahwa para ilmuwan sulit menerima ide penciptaan karena sebenarnya mereka tidak mau menerima self-sufficiency Allah.[6] Jika prinsip ini diterima, tidak ada lagi tempat bagi manusia yang menjadikan dirinya sebagai yang absolut dan self-sufficient. Manusia berdosa tidak ingin diatur oleh Tuhan. Ia hanya ingin mengetahui kebenaran melalui kacamata dirinya, bukan melalui kacamata Allah. Konsep Allah yang menciptakan dan menopang alam semesta ini tidak sesuai dengan pemahaman manusia berdosa. Mereka lebih menyukai Allah yang perlu bantuan manusia untuk memahami bagaimana fakta dan realitas alam ini bekerja. Inilah konsekuensi yang pasti terjadi jika manusia membangun konsep ilmu pengetahuan atas dasar brute fact.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ide supernatural dan transendensi Allah juga menjadi hambatan bagi para ilmuwan sekuler untuk menerima ide penciptaan. Bagi mereka, segala sesuatu yang menjadi penyebab alam ini harus dibuktikan melalui penelitian dan metode ilmiah. Hal ini tentu tidak benar. Justru penelitian dapat dilakukan oleh karena adanya korelasi antarfakta alam ini. Korelasi ini tentu tidak hadir dengan sendirinya, melainkan ada Allah yang menghadirkan fakta beserta interpretasinya. Allah menciptakan, barulah ada yang namanya penelitian dan sains modern. Allah tidak mungkin tunduk kepada penelitian manusia. Justru Allah yang menghadirkan itu semua sehingga manusia dapat meneliti dan memahami korelasi antarfakta alam ini.
Revelation as Evidence of Creation
Jadi, kembali kepada pertanyaan pada bagian awal artikel ini yaitu, “Bagaimana membuktikan ide penciptaan dalam kisah Alkitab?” Harus diakui dari sekian banyak teori mengenai asal mula alam semesta ini, kekristenan yang paling banyak mendapat kritik dan serangan baik dari para filsuf maupun ilmuwan sekuler. Apalagi orang Kristen yang paling teguh mempertahankan kebenaran yang ada di Alkitab, termasuk asal muasal alam semesta ini yang adalah ciptaan Tuhan, seperti yang Rasul Petrus katakan bahwa kita harus siap sedia memberi jawaban atas persoalan iman Kristen kita (1Ptr. 3:15). Jawaban yang bukan sekadar memuaskan pertanyaan mereka, melainkan menyatakan kebenaran dari Tuhan supaya setiap pikiran dari dunia ini dapat tunduk kepada Allah, Sang Pemilik Kebenaran (2Kor. 10:5).
Hal pertama yang mesti dicamkan adalah tidak mungkin membuktikan ide penciptaan Alkitab dengan kerangka berpikir sains modern. Pembahasan sebelumnya telah memberikan gambaran yang jelas bagaimana sains modern menggunakan kerangka berpikir yang tidak alkitabiah sama sekali. Setiap metode sains yang berkembang saat ini, di baliknya selalu ada prinsip brute fact. Hal ini jelas sekali tidak memberi ruang bagi Allah baik sebagai Pencipta maupun Pemberi Makna atas alam semesta ini. Konsep brute fact mengimplikasikan manusia yang mempunyai peran untuk memberi arti atas alam semesta ini, termasuk asal muasalnya. Adalah hal yang mustahil membuktikan ide penciptaan dari Allah melalui kerangka berpikir manusia, yang mana manusia itu sendiri adalah bagian dari ciptaan.
Kunci untuk membuktikan ide penciptaan ada pada diri Allah itu sendiri. Van Til pernah mengatakan bahwa “all creation is revelational”, semua ciptaan ini adalah wahyu dari Allah. Penciptaan bahkan adalah wahyu pertama yang Allah nyatakan. Allah sendiri yang menghadirkan bukti bahwa dunia ini diciptakan oleh-Nya, melalui alam ciptaan ini yang biasa kita sebut sebagai wahyu umum, dan melalui Alkitab yang biasa kita sebut sebagai wahyu khusus. Membuktikan asal muasal alam semesta ini bukan melalui kacamata manusia, melainkan wahyu dari Allah, sehingga bukti pertama ide penciptaan terletak pada konsep wahyu Allah (revelation). Apa yang Allah nyatakan, itulah bukti dari seluruh keberadaan ini. Allah yang mewahyukan, barulah seluruh ciptaan ini dapat hadir secara nyata.
Ketika manusia menolak wahyu dari Allah yang menyatakan dunia ini diciptakan oleh-Nya, manusia hanya akan terjebak di dalam spekulasi belaka. Seperti pada paragraf awal artikel ini, bagaimana sepanjang sejarah manusia terus berusaha membuktikan asal mula alam semesta ini, tetapi tidak ada satu pun yang dapat memberikan jawaban yang komprehensif. Justru melalui wahyu Allah, manusia mendapat kejelasan tentang siapa dirinya, dari mana dunia ciptaan ini berasal, dan untuk apa manusia ada di tengah-tengah dunia ini. Pertanyaan semacam demikian hanya dapat dijawab melalui apa yang Allah wahyukan di dalam Alkitab.
Setelah Allah selesai menciptakan dunia ini, Ia tidak meninggalkannya begitu saja. Melalui pemeliharaan Ilahi (providence of God), Ia terus menopang fakta keberadaan ciptaan ini. Melalui penciptaan, Ia memberi makna bagaimana seharusnya alam semesta dimengerti oleh manusia. Hal tersebutlah yang memungkinkan adanya sains modern. Tanpa Allah yang mencipta dan memberi makna atas seluruh alam semesta ini, tidak mungkin manusia dapat memahami dan menarik kebenaran dari alam ciptaan ini. Melalui wahyu Allah kita dapat mengerti dan percaya bahwa dunia ini adalah ciptaan-Nya.
Akhir kata, bukan tugas yang mudah untuk memberi kesaksian tentang kebenaran Tuhan kepada orang-orang yang tidak percaya karena, seperti yang Van Til katakan, ada titik acuan atau presuposisi yang berbeda antara umat Tuhan dan orang yang tidak percaya. Dengan demkian tentu ada kesulitan tersendiri untuk meyakinkan mereka bahwa wahyu Allah cukup dan sah sebagai presuposisi di dalam memahami seluruh kebenaran dan realitas alam semesta, termasuk ide penciptaan. Kiranya usaha yang kita kerjakan saat ini baik di dalam menyatakan kebenaran maupun berapologetika tidak hanya sekadar memenangkan perdebatan saja, melainkan berusaha semaksimal mungkin membawa setiap orang yang tidak percaya kembali kepada Allah yang sejati, sekaligus menyatakan Allah yang cukup pada diri-Nya sendiri dan Allah yang berdaulat atas segala sesuatu, karena segala kebenaran hanya berasal dari Dia dan manusia harus tunduk di hadapan kuasa-Nya.
Susan Doelia (Pemudi FIRES)
Trisfianto Prasetio (Pemuda FIRES)
Referensi:
1. Cornelius Van Til. Christian Theistic Evidences. 2nd edition. (P&R Publishing, 2016)
Endnotes:
[1] Kosmologi (cosmology): studi mengenai asal muasal alam semesta.
[2] Kausalitas (causality): prinsip bahwa segala sesuatu pasti ada penyebab; prinsip sebab akibat.
[3] Limiting concept: konsep tentang segala sesuatu (objek aktual yang tak terhingga) yang tidak ada (atau tidak dapat dibuktikan bahwa itu ada), tetapi yang dapat melayani tujuan yang berguna dalam ranah pemikiran. https://frame-poythress.org/a-van-til-glossary/ diakses pada tanggal 1 Juni 2020.
[4] Frame, John M. “A Van Til Glossary”. https://frame-poythress.org/a-van-til-glossary/ diakses pada tanggal 24 Mei 2020.
[5] Ibid.
[6] Self-sufficieny: sifat Allah yang cukup pada diri-Nya sendiri.