Pluralitas masyarakat pasti ada dalam kehidupan bernegara di zaman modern ini. Globalisasi dan digitalisasi adalah dua gerakan yang sangat memengaruhi pluralitas tersebut. Hal ini dijelaskan dengan sangat menarik oleh Thomas L. Friedman di dalam bukunya The World is Flat. Walaupun ia menjelaskannya dalam konteks persilangan usaha, tetapi kita dapat mempelajari kehidupan sosial saat ini yang seolah-olah menjadikan batasan ruang dan waktu tidak lagi relevan. Dalam satu hari kita bisa memijakkan kaki dalam dua atau lebih negara yang berbeda. Dalam hitungan detik kita bisa langsung berkomunikasi dengan orang lain atau mengakses informasi dari belahan dunia yang lain. Akibatnya, di dalam satu negara kita berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang sangat kompleks.
Pluralitas yang kompleks menjadikan kehidupan bernegara semakin rentan terhadap pertikaian. Hal ini dikarenakan perbedaan ideologi, suku, agama, dan budaya. Apalagi ditambah dengan semangat sekularisme yang mendorong manusia untuk hidup secara independen dan bebas dari otoritas. Orang yang seperti ini mungkin bisa terlihat sangat menghargai pluralitas, tetapi di sisi lain mereka juga sangat benci kepada hal-hal yang mengusik preferensi pribadi mereka. Bagi mereka privasi adalah hal yang harus dihargai sebagai bagian dari hak asasi manusia. Arus ini bisa kita sebut sebagai arus radikal sekularisme yang sangat mengedepankan kebebasan dan anti terhadap otoritas. Bagi mereka kehidupan bernegara yang benar adalah saat kebebasan setiap pribadi dihargai. Pada sisi ekstrem yang lain, terdapat arus radikalisme agama. Kelompok ini sangat menekankan keseragaman dengan menjadikan agama sebagai dasar ideologi mereka. Bagi mereka kehidupan bernegara adalah saat semua lapisan masyarakat tunduk terhadap satu ideologi yang sama dari satu agama.
Diperhadapkan dengan kondisi pluralitas seperti ini, bagaimanakah kita harus berespons sebagai orang Kristen? Kita menyadari bahwa dosa menjadi alasan utama kondisi yang begitu rumit ini. Namun, kita juga harus menyadari bahwa kita tidak bisa duduk berpangku tangan dan hanya menyaksikan saja, apalagi melarikan diri dan hidup di tempat yang terisolasi dari masyarakat yang plural seperti ini. Sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk menjalankan misi Allah di dalam konteks bernegara, khususnya menghadapi kondisi pluralitas seperti ini. Di dalam artikel ini kita akan mengulas pandangan kekristenan terhadap pluralitas masyarakat dan respons kita terhadap hal ini sebagai wujud nasionalisme kita secara Kristen yang bertanggung jawab.
Religion and Community
Beribu-ribu tahun manusia terus berjuang untuk memikirkan, mencari, dan membentuk komunitas yang ideal bagi kesejahteraan umat manusia. Namun, manusia berdosa selalu jatuh ke salah satu dari dua ekstrem, antara memperjuangkan perbedaan tanpa persamaan sehingga tidak ada kesatuan, dan memperjuangkan kesamaan demi kesatuan tanpa bisa menerima perbedaan. Di satu sisi menyadari bahwa dunia ini memang ada perbedaan, tetapi demi memperjuangkan perbedaan, sering kali kesatuan harus dikorbankan untuk menjaga kebebasan masing-masing individu yang berbeda satu dari lainnya. Di sisi yang lain menyadari perlunya kesatuan, tetapi harus mengorbankan perbedaan, karena dalam pandangan ini tidak mungkin ada kesatuan dengan adanya perbedaan. Kegagalan ini berasal dari kesalahan manusia dalam mengenal Allah dengan benar. Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan, “All failure in any aspect is rooted in the failure of theology.” Dengan kata lain, pengenalan akan Tuhan menjadi dasar bagi manusia untuk membangun semua aspek dalam kehidupan manusia termasuk dalam membangun komunitas.
Secara umum, kita mengenal dua kategori dalam agama, yaitu agama yang percaya kepada Allah yang Esa atau disebut dengan agama monotheis, dan agama yang percaya banyak allah atau dewa yang disebut dengan agama politheis. Namun, Alkitab menyatakan bahwa hanya ada satu Allah, namun bukan juga hanya satu Allah seperti yang dipercayai monotheisme dan bukan juga banyak allah seperti dipercayai politheisme. Allah yang dinyatakan dalam Alkitab adalah Tritunggal, artinya satu esensi Allah dan tiga pribadi yang berbeda. Dari sini kita mengenal konsep one and many, bukan one or many. Pengembangan konsep ini akan memengaruhi cara berpikir kita dalam berkomunitas dan berelasi satu dengan lainnya.
Monotheisme
Agama monotheis seperti Islam dan Yahudi percaya kepada satu pribadi Allah yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Mereka juga percaya manusia diciptakan oleh satu pribadi Allah. Maka, manusia hanya boleh menyembah dan berbakti kepada Allah tersebut. Kepercayaan kepada Allah yang hanya memiliki satu pribadi berimplikasi terhadap konsep kesatuan (oneness) tanpa diversitas dari diri Sang Pencipta. Akibatnya, kesatuan yang dimengerti oleh monotheisme bersifat seragam (uniform) tanpa perbedaan, sedangkan dunia ini mempunyai sangat banyak perbedaan. Pandangan monotheisme yang diradikalkan menuntut adanya kesamaan tanpa ada perbedaan, sehingga untuk menjaga konsistensi, seluruh perbedaan yang ada harus ditiadakan. Pikiran monotheisme radikal telah terkunci dalam konsep yang merusak keindahan diversitas ciptaan Allah. Maka, muncullah paham-paham radikal monotheisme yang menggunakan dominasi dan kekerasan untuk menuntut kesamaan kepercayaan dan meniadakan atau menghancurkan semua yang berbeda dengannya. Cara pandang demikian, sulit untuk membangun sebuah kehidupan bernegara yang plural.
Politheisme
Di sisi yang lain kita melihat agama politheis yang sulit untuk mempersatukan. Kepercayaan politheisme seperti agama Hindu yang percaya kepada banyak dewa tidak menuntut manusia untuk tunduk dan menyembah kepada satu dewa saja. Agama Hindu tidak mengklaim adanya wahyu dari Allah sendiri seperti yang diklaim oleh agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Konsekuensinya, dewa-dewa yang dipercaya oleh agama Hindu adalah proyeksi dari imaginasi manusia dalam melihat dunia ini yang ditransendensikan. Dalam dunia ciptaan yang penuh dengan diversitas ini, tidak heran jika kita menemukan banyak dewa-dewa yang dibuat oleh manusia. Pandangan politheisme sulit untuk menentukan otoritas yang mutlak. Di antara begitu banyak dewa tidak ada satu pun yang berhak berada di posisi paling tinggi untuk mengatur segala sesuatunya. Sebaliknya, dewa-dewa sendiri menunjukkan sifat keberdosaan dan kerusakan manusia, sehingga banyak konsep peperangan antardewa. Jika dewa-dewa yang disembah manusia tidak dapat menunjukkan keteraturan dan keharmonisan, maka tidak mungkin manusia yang dikuasai dewa-dewa tersebut dapat memunculkan hal tersebut dalam komunitasnya. Akibatnya, pandangan politheisme tidak dapat menjadi dasar untuk membangun komunitas yang utuh untuk mencapai kesejahteraan.
Trinitarianisme
Di antara dua pandangan one or many, kekristenan memberikan sebuah fondasi bagi manusia untuk membangun komunitas yang utuh dengan konsep one and many. Kekristenan memiliki konsep one and many yang berasal dari konsep Allah Tritunggal. Manusia, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah, hidup berkomunitas karena Allah sendiri hidup berkomunitas. Kita percaya kepada satu Allah yang Esa sekaligus memiliki tiga pribadi yang saling mengasihi, saling mempermuliakan, dan saling mengutamakan satu dengan lainnya. Ketiga pribadi Allah tersebut tidak mungkin terpisah, tetapi juga tidak bercampur. Dengan demikian, ketiga pribadi Allah tersebut memiliki kesatuan (unity) dalam perbedaan (diversity). Kita akan melihat pemaparan yang lebih detail pada bagian berikutnya.
Christian View on Relation in Diverse Community
Allah Tritunggal memiliki diversity di dalam relasi antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Hubungan yang ilahi ini muncul berulang kali dalam Injil Yohanes, di mana Yesus berbicara tentang hubungan-Nya sebagai Anak kepada Bapa. Misalnya dalam Yohanes 5:20 dan Yohanes 14:16, hubungan antara Bapa dan Anak mencakup meminta, memerintah, mengasihi, dan masing-masing “memuliakan” yang lain (Yoh. 13:31-32; 17:4-5). Relasi antarpribadi Allah Tritunggal menjadi archetype bagi relasi antarmanusia. Oleh sebab itu, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan pribadi dengan manusia lainnya yang melibatkan pengetahuan, mencintai, dan berkomunikasi dengan orang lain.
Hubungan antarmanusia memiliki hubungan yang erat dengan karakter Tritunggal Allah. Allah Tritunggal adalah titik awal yang paling dalam untuk memahami relasi antarpribadi.Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Allah yang Tritunggal berbicara antarpribadi dan menikmati relasi ini secara mendalam. Relasi antarpribadi Allah adalah landasan utama untuk melakukan hubungan dengan manusia lainnya. Seperti relasi antarpribadi Allah yang bersifat coinherence, interaksi sosial manusia juga mencerminkan koeksistensi tipikal dalam Tritunggal ini. Hal ini berarti di dalam relasi antarpribadi, seharusnya setiap pribadi dapat tetap menjadi unik tetapi juga memiliki relasi yang harmonis antarpribadi. Relasi tidak menjadikan pribadi yang berinteraksi melebur menjadi entitas yang baru tetapi setiap pribadi dapat tetap berada dalam keunikan masing-masing dan berelasi secara harmonis. Hal ini bisa terjadi karena relasi kita sebagai manusia mencerminkan relasi antarpribadi Allah Tritunggal.
Bagaimana dengan keadaan kita saat ini yang diperhadapkan dengan banyaknya budaya dalam dunia ini sehingga menghasilkan perspektif yang berbeda? Budaya memang memiliki kekuatan besar untuk membentuk atau menghancurkan kita. Budaya yang berdosa bisa memikat hati seseorang, sehingga mereka melihat dunia dengan cara yang menyimpang. Dampaknya, hubungan manusia yang pada awalnya merupakan pemberian yang baik dari Allah, menjadi rusak dan cenderung kepada kejahatan belaka. Alkitab mencatatkan peristiwa saat manusia membangun budaya yang melawan Allah, sehingga akhirnya Allah pecahkan relasi manusia tersebut. Peristiwa itu dikenal dengan kisah Menara Babel (Kej. 11:1-9). Keberagaman yang tadinya begitu indah, di dalam dosa justru menjadi aspek yang sering kali menimbulkan permasalahan dan perpecahan sepanjang sejarah manusia. Ini membuktikan bahwa manusia yang berdosa cenderung menuju kepada perpecahan. Namun, ketika dosa manusia diatasi dan orang-orang datang kepada Kristus, manusia dipersatukan dalam satu tubuh. Kesatuan yang tidak menghilangkan keberagaman, namun dipersatukan dalam satu iman, satu pengharapan, dan juga satu Allah (Ef. 4:4-6).
Bagi kekristenan, keanekaragaman adalah anugerah yang Allah ciptakan bagi kita. Namun, realitas dosa menyadarkan kita bahwa dengan kekuatan sendiri manusia selalu menuju kepada perpecahan, tetapi di dalam Kristus keanekaragaman ini akan menjadi berkat yang besar bagi umat manusia. Apresiasi terhadap keanekaragaman tidak berarti “toleransi” terhadap semua jenis perbedaan. Kita tidak bisa toleransi terhadap dosa, kejahatan, dan segala bentuk perlawanan kepada Allah. Keanekaragaman yang kekristenan apresiasi adalah keanekaragaman yang diciptakan oleh Allah dengan prinsip harmoni di dalamnya. Keanekaragaman seperti inilah yang mencerminkan ke-Tritunggal-an Allah.
Konsep Allah Tritunggal memiliki aspek kesamaan, perbedaan, dan kesatuan secara utuh yang tidak ditemukan dalam konsep monotheisme yang tidak memiliki aspek perbedaan atau politheisme yang tidak memiliki aspek kesatuan. Konsep mengenai Allah Tritunggal yang Trinitarian ini menjadi satu-satunya dasar bagi manusia untuk dapat berkomunitas secara utuh karena memiliki tiga aspek fundamental dalam berkomunitas. Pertama, aspek kesamaan menyatakan bahwa seluruh manusia adalah sama di hadapan Allah sebagai ciptaan. Kedua, aspek perbedaan menyatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan unik dan berbeda satu dari lainnya untuk saling mengisi kekurangan dan mempertumbuhkan. Ketiga, aspek kesatuan menyatakan bahwa semua manusia berada secara harmonis di dalam tangan Allah yang berdaulat. Dengan demikian, hanya konsep kekristenan (Trinitarian) yang dapat menjadi dasar yang konsisten bagi terbentuknya sebuah komunitas utuh dengan relasi yang harmonis.
Christian View on Pluralism
Lalu bagaimana kekristenan memandang pluralisme? Pluralisme menginginkan penerimaan terhadap setiap perbedaan yang ada karena semua orang berbeda dan masing-masing adalah pribadi yang unik. Bagi kaum pluralis, kebenaran dipandang secara subjektif dan relatif. Kita tidak dapat mengatakan bahwa prinsip dan pandangan saya adalah yang paling benar, karena itu adalah yang benar menurut saya. Orang lain bisa saja memiliki pandangan lain dan kita harus menerimanya. Pandangan pluralisme seperti ini hanya melihat sisi keberagaman dari Allah Tritunggal dan mengabaikan kesatuan. Kesatuan dalam pluralisme dicapai melalui penerimaan keberagaman dengan menoleransi segala bentuk perbedaan termasuk dosa dan kejahatan. Tetapi pada kenyataannya, pemikiran ini hanya ilusi saja, kesatuan tidak mungkin dapat dicapai dengan cara seperti ini. Jika dengan cara seperti yang ditawarkan oleh pluralisme, masing-masing akan berjalan menurut pemikirannya sendiri yang berbeda-beda dan cepat atau lambat pasti akan timbul konflik. Kebebasan yang dibiarkan menjadi liar akan berujung dengan kehidupan masyarakat yang barbar. Oleh karena itu, konsep pluralisme yang diajarkan dunia ini hanya akan membawa kita kepada kehidupan sosial yang penuh kekacauan.
Pada kenyataannya baik perbedaan maupun kesatuan ada di dunia ini. Pluralisme tidak bisa memberikan dasar yang cukup untuk menjadi fondasi bagi pluralitas masyarakat. Hal ini karena dunia memang bukan dicipta berdasarkan ide pluralisme modern melainkan berdasarkan Allah Tritunggal yang one and many. Pdt. Stephen Tong menyatakan Allah sebagai the subjectivity of truth in Person yang merupakan standar kebenaran yang absolut. Implikasinya, dalam perbedaan kita masih bisa melihat ada yang benar dan ada yang salah. Di dalam perbedaan tetap ada kesatuan dasar yang mengikat setiap keunikan yang ada. Prinsip ini berlaku juga dalam pluralitas masyarakat.
Paulus menggambarkan orang-orang percaya sebagai satu tubuh Kristus, di mana Kristus adalah Kepalanya. Masing-masing anggota berbeda di dalam satu tubuh. Sebagai satu tubuh, maka seluruh bagian atau anggota tubuh bergerak sesuai dengan perintah dari Sang Kepala. Pergerakan setiap anggota yang berbeda ini membawa kepada suatu keindahan karena adanya kesatuan di dalamnya. Sama seperti keindahan tubuh yang memiliki anggota berbeda-beda dalam mengerjakan suatu hal yang sama. Semua perbedaan pribadi manusia diberikan untuk menjalankan rencana kekal Allah Bapa yang satu. Pada akhirnya kita tidak mungkin menghilangkan kesatuan ataupun perbedaan. Setiap perbedaan dan kesatuan ini merupakan anugerah Allah yang diberikan untuk menggenapkan rencana kekal-Nya. Dengan kata lain, baik kesatuan maupun perbedaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai ciptaan Allah.
Bagi kekristenan, pluralitas juga adalah bagian yang krusial dalam pembentukan pribadi manusia. Seseorang dapat menjadi pribadi yang signifikan bukan saat ia menonjol secara individu tetapi saat dapat bersinergi dalam sebuah komunitas. Sebuah tangan berfungsi dengan baik sebagai tangan saat berada dalam satu tubuh, tetapi tangan akan menjadi keberadaan yang tidak berguna saat terlepas dari tubuh. Inilah prinsip yang kita percaya sebagai natur dari kehidupan sosial manusia. Maka, kekristenan tidak pernah memandang pluralitas sebagai ancaman tetapi sebagai anugerah yang Tuhan berikan bagi umat manusia.
Christian View on Tolerance
Cara pandang kekristenan yang sangat menghargai pluralitas, seharusnya menjadikan kekristenan sebagai cara pandang yang sangat toleran terhadap perbedaan. Dasar pemikiran dari toleransi yang kekristenan berikan bisa dilihat dari beberapa sudut pandang:
Manusia diciptakan sebagai gambar Allah Tritunggal dengan prinsip Unity in Diversity
Manusia diciptakan dengan dignitas dan martabat sebagai gambar Allah. Kekristenan yang sangat menghormati bahkan mengagumi karya Allah, tidak mungkin menginjak-injak martabat manusia hanya karena perbedaan yang sepele. Bahkan seorang yang berbuat jahat pun harus tetap kita perlakukan sebagai manusia. Serusak-rusaknya seorang manusia, kita harus tetap memandang mereka sebagai manusia. Oleh karena itu, toleransi kita terhadap segala perbedaan adalah bentuk apresiasi kita terhadap karya penciptaan Allah yaitu manusia sebagai gambar Allah. Selain itu keberagaman adalah hal yang seharusnya kita apresiasi juga. Perbedaan yang kita jumpai adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan kehidupan kita sebagai manusia. Seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, perbedaan ini pun tetap ada. Hal ini karena kita diciptakan dengan prinsip unity in diversity. Sebagaimana kita ingin keunikan kita dihargai dan diapresiasi oleh orang lain, maka kita pun harus mengapresiasi setiap keberagaman yang kita jumpai. Toleransi ini diberikan bukan sebagai sebuah kompromi tetapi sebagai ucapan syukur dan apresiasi terhadap karya Allah yang begitu indah di dalam keberagaman. Penghargaan terhadap manusia sebagai gambar Allah maupun elemen keberagaman yang tidak terpisahkan dari hidup manusia, seharusnya mendorong kita sebagai orang Kristen memiliki toleransi yang sejati.
Manusia diciptakan sebagai keberadaan yang relatif dan terus bertumbuh
Sebagai ciptaan, keberadaan manusia bersifat relatif dan dalam posisi yang dependent terhadap Allah. Dengan kondisi ini, maka manusia tidak bisa memutlakkan dirinya. Manusia tidak bisa menjadi poros di dalam relasi karena pada dasarnya manusia harus terus bertumbuh dan berkembang semakin dekat kepada kebenaran. Secara umum seluruh umat manusia diberikan tugas untuk menggali wahyu umum Allah sehingga kita mengerti kebenaran yang Allah tanamkan di dalam ciptaan ini. Relasi antarmanusia adalah salah satu bagian dari wahyu umum Allah, sehingga melalui relasi manusia belajar dan bertumbuh semakin mengenal kebenaran. Maka toleransi seorang Kristen diwujudkan sebagai manifestasi kesadaran bahwa yang kita mengerti masih di dalam proses pertumbuhan. Melalui relasi di dalam keberagaman, kita akan semakin belajar dan bertumbuh karena keberagaman adalah bagian dari pernyataan diri Allah yang harus kita gali dan pelajari.
Manusia diciptakan untuk menyatakan kasih sebagai ikatan yang menjaga keharmonisan
Relasi antarmanusia di dalam keberagaman tentu saja harus memiliki ikatan yang menjaga keharmonisan. Relasi antarpribadi yang mempertahankan keunikan masing-masing dapat terjadi saat adanya kehadiran kasih di dalam relasi ini. Allah Tritunggal adalah Allah yang saling mengekspresikan kasih-Nya. Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus saling mengasihi satu dengan lainnya, sehingga relasi antarpribadi Tritunggal menjadi relasi yang harmonis. Hal ini jugalah yang seharusnya terjadi di dalam relasi antarpribadi manusia. Melalui kasih, manusia dapat menyangkal keegoisan diri dan mengapresiasi pribadi yang lain di luar diri. Saat manusia menyangkal diri dan memberikan perhatian kepada pribadi lain, justru manusia tersebut semakin mendapatkan makna dari dirinya. Inilah salah satu sifat paradoks dari kasih, yaitu semakin memberi diri tetapi juga diri semakin bertambah. Oleh sebab itu, toleransi yang sejati adalah toleransi yang menyatakan kasih karena melalui hal inilah keharmonisan komunitas dapat terjaga.
Ketiga sudut pandang ini adalah dasar yang sangat penting dalam membangun sikap toleransi berdasarkan cara pandang Kristen. Kita dalam melihat setiap sudut pandang ini sebagai perspektif yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Kita bisa menyebut cara pandang ini sebagai triad of tolerance in human relationship. Triad ini merupakan penerapan triad of human interaction (Particle, Wave, and Field perspectives) yang Vern Poythress kemukakan dalam bukunya Redeeming Sociology. Namun, pada artikel ini kita terapkan kerangka ini untuk mengerti toleransi kekristenan di dalam konteks pluralitas.
Dengan appreciation perspectives, kita menghargai pluralitas sebagai natur dari manusia yang adalah ciptaan Allah. Perspektif ini bisa diasosiasikan dengan prinsip unity. Melalui learning perspective kita menyadari bahwa toleransi dinyatakan sebagai wujud kerendahan hati untuk mau belajar dari relasi dengan pribadi lain sebagai perwujudan kerinduan mempelajari kebenaran. Hal ini bisa diasosiasikan dengan prinsip diversity. Perspektif yang terakhir adalah harmonization perspective yang memandang toleransi sebagai upaya dalam membentuk komunitas yang harmonis. Perspektif ini dikaitkan dengan prinsip yang mengikat kedua perspektif sebelumnya sehingga menjadi keutuhan prinsip unity in diversity. Setiap perspektif ini saling mempresuposisikan perspektif lainnya, sehingga saat kita bertoleransi sebagai apresiasi bagi natur manusia, maka pada saat bersamaan kita ingin belajar dari pribadi yang lain dan kita pun menyatakan kasih terhadap pribadi tersebut. Hal ini juga berlaku di dalam kedua perspektif lainnya. Dengan cara pandang yang menjaga keseimbangan seperti ini kita akan terhindar dari cara pandang yang hanya ingin mengutamakan kesatuan atau perbedaan saja. Kita belajar untuk memandang kesatuan maupun perbedaan sebagai anugerah dari Allah.
Christian View as Basis of True Nationalism in Plural Society
Indonesia adalah negara yang memiliki konteks keberagaman yang sangat kental, sehingga kesatuan adalah hal yang sangat krusial. Hal ini tidak terlepas dari berbagai konteks sejarah Indonesia, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam sampai kepada zaman penjajahan. Salah satu peristiwa yang menyatukan Indonesia di dalam konteks zaman kerajaan adalah pada masa Kerajaan Majapahit, di mana Panglima Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan memakan palapa sampai dia menyatukan Nusantara (hal ini dikenal sebagai Sumpah Palapa). Peristiwa yang lain adalah pada masa penjajahan, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) mengadakan Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda di mana seluruh isinya menyatakan kesatuan Indonesia secara tumpah darah, bangsa, dan bahasa. Konteks-konteks sejarah inilah yang menjadi prinsip pemersatu Negara Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak terlepas dari keberagaman yang begitu dahsyat. Bisa dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman terbesar di seluruh dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku, 1.211 bahasa, dan 6 agama resmi yang memiliki banyak denominasi. Fakta-fakta ini menjadikan prinsip unity in diversity sebagai prinsip yang krusial dan foundational bagi keberlangsungan Negara Indonesia.
Sebenarnya semboyan Negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, adalah semboyan yang sejalan dengan prinsip unity in diversity yang dinyatakan Alkitab. Semboyan ini menghargai setiap perbedaan yang ada di Negara Indonesia tetapi juga menyatakan bahwa persatuan juga sangat penting. Namun, setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, semboyan ini masih sulit untuk diwujudkan secara ideal. Masih banyak kelompok-kelompok yang memiliki ideologi berbeda dengan semboyan ini. Oleh sebab itu, semangat nasionalisme masih belum dengan baik terwujud di dalam setiap lapisan masyarakat.
Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa tanpa prinsip Tritunggal, tidak mungkin kita dapat menjalankan kehidupan bernegara yang sejati. Di luar konsep Trinitarian, sebenarnya kita sedang menjalankan suatu sistem kehidupan bernegara yang inkonsisten. Ekstrem yang menekankan sisi persamaan akan gagal karena adanya fakta perbedaan. Ketidakmampuan pihak ini untuk menerima perbedaan akan menutup pintu bagi ruang toleransi sehingga tidak mungkin ada kasih yang sejati yang dapat dihidupi di dalam negara itu. Pada akhirnya negara hanya akan terus dihantui dengan teror, ketidakadilan, penindasan kaum minoritas, dan perpecahan yang tidak ada habis-habisnya. Ekstrem yang menekankan perbedaan juga akan gagal karena pihak ini terlalu mengagungkan keunikan masing-masing pribadi. Negara dengan cara pandang ini hanya akan menghasilkan rakyat-rakyat yang egois dan individualis. Setiap orang hanya memikirkan kepentingan masing-masing, kerajaan kenyamanan mereka, serta pengejaran akan nilai-nilai yang memiliki standar yang berbeda-beda. Hasilnya adalah seluruh rakyat menjadi orang yang dingin dan tidak bisa saling membantu satu sama lain.
Nasionalisme yang sejati hanya dapat dihidupi melalui cara pandang yang mengakui adanya pesatuan di dalam keberagaman dan keberagaman di dalam persatuan yaitu melalui kacamata Allah Tritunggal. Melalui kacamata inilah kita dapat hidup berdampingan meskipun di dalam perbedaan. Perbedaan kita pandang sebagai kesempatan untuk menyatakan toleransi berdasarkan wawasan dunia Kristen. Melalui paham ini, kita juga dapat menyadari peran kita masing-masing sebagai suatu elemen di dalam negara sehingga di dalam keberbedaan peran tiap individu, kita dapat melayani bersama demi suatu tujuan yang satu. Di dalam konteks Negara Indonesia, tujuan negara ini tercantum di dalam alinea keempat dari Pembukaan UUD 1945 yaitu “1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Inilah tanggung jawab utama kita sebagai orang Kristen dan juga Warga Negara Indonesia ketika kita telah memahami Tritunggal sebagai dasar konsep bernegara bagi kita sebagai orang Kristen. Secara positif marilah kita terus mempraktikkan sikap kasih, hormat, adil, dan toleransi di dalam interaksi kita dengan komunitas yang plural. Secara negatif, kita perlu terus memerangi dosa yang menghasilkan radikalisme, baik itu radikalisme sekuler maupun agama. Kita perlu menjadi orang-orang yang berlari di depan zaman ini dengan mempresentasikan kebenaran yang sejati agar dunia dapat melihat suatu pengharapan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiranya artikel singkat ini membangkitkan hati kita untuk berani berdiri di tengah zaman ini sebagai teladan warga negara dengan nasionalisme yang sejati.
Abraham M. Manurung, Ben Hanan,
Evan Jordan, Ira P. Hutabarat,
Simon Lukmana, Violeta N. Wijaya
Pemuda/i FIRES – REDS
(Reformed Evangelical Discussion Society)